Author: Sumanto Al Qurtuby
•12:27 PM

Dilema Politisasi Agama

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Agama dan demokrasi adalah dua persoalan klasik namun tetap menarik untuk diperdebatkan. Dalam konteks Islam, tema itu telah menyita energi para intelektual Muslim di seluruh penjuru dunia. Dari pemikir fundamentalis konservatif sampai intelektual Muslim liberal-progresif terlibat debat soal itu. Kelompok fundamentalis-konservatif berpendapat bahwa Islam sebagai "paket ilahi" yang sakral harus dipisahkan secara ketat dengan ide demokrasi yang merupakan produk Barat yang profan dan sekuler.

Sementara itu, kalangan liberal-progresif berpandangan bahwa Islam merupakan "produk sejarah" yang tentunya sangat terbatas dengan ruang dan waktu, dan karena itu tidak memadai untuk menjawab persoalan kekinian dan kedisinian.

Perbedaan yang tajam antara kedua kelompok itu sebetulnya bermula dari perbedaan tafsir atas Islam. Bagi kelompok fundamentalis-konservatif, Islam merupakan sebuah agama yang lengkap (kamil), universal ('alami), serba mencakup (syamil) serta bisa diterapkan pada setiap masa dan tempat. Islam adalah sebuah totalitas (kaffah) yang mengklaim serba tahu dan serba mencakup. Singkatnya, Islam adalah jalan hidup yang mengatur perbuatan manusia dari bangun tidur, keluar rumah, masuk kamar mandi, bersetubuh dengan istri, pembagian harta waris hingga persoalan politik kenegaraan.

Pandangan demikian membuat kelompok itu menolak secara tegas produk modernitas dan sekularisme Barat termasuk demokrasi yang dianggapnya hasil dari "produksi kebudayaan setan".

Sikap Apologetik

Pandangan yang apologetik dan inward looking atas Islam itu selain lemah secara metodologis, juga tidak memadai untuk menjawab problem kemanusiaan dan kemodernan. Slogan "Islam adalah solusi" hanya enak didengar di telinga tapi tidak "bunyi" jika sudah berurusan dengan dunia nyata. Propaganda "kaum Islamis" yang memproyeksikan syariat sebagai deus ex machine (baca, obat bagi semua penyakit masyarakat) pada kenyataannya hanyalah hukuman-hukuman kaku yang didasarkan pada sejumlah hukum kuno untuk menumpas apa yang me- reka sebut "musuh-musuh Islam".

Maka, gagasan ideologisasi Islam (termasuk formalisasi syari'at) di mana pun (termasuk Indonesia) tidak hanya utopis tapi juga tirani. Utopis karena dalam sejarah keislaman kontemporer terutama sejak berdirinya Ikhwanul Muslimin tahun 1928 yang getol mengampanyekan ideologi Islamisme di seluruh pelosok dunia Islam dengan syariat Islam sebagai basis utamanya, tidak pernah terealisasi dalam kehidupan politik umat Islam. Kebebasan, persamaan dan keadilan yang dikampanyekan rezim Islam hanyalah isapan jempol. Aplikasi syariat Islam dikatakan tirani karena dalil syariat seringkali hanyalah dalih untuk melakukan penindasan atas nama Islam yang seringkali bertabrakan dengan hak-hak dasar manusia yang paling fundamental seperti kebebasan, equality dan kemerdekaan.

Di sisi lain, ulama fundamentalis terbukti tidak mampu mencapai kesepakatan dalam masalah-masalah paling mendasar mengenai identitas politik dan identitas Islam. Mereka memang dapat menyatukan suara mengenai siapa yang dianggap "aliran sesat, non-Muslim dan musuh Islam", tetapi berselisih tajam mengenai masalah-masalah yang begitu mendasar seperti: apakah Islam itu? Siapa yang bisa disebut Muslim dan apakah hakikat negara Islam? Mereka hanya mengambang dan akhirnya terjengkang ke dalam politik sektarianisme elitis.

Implikasi lebih buruk lagi adalah terjadinya "involusi" dalam sikap dan pikiran yang ditandai dengan terjadinya gerakan pikiran dan sikap yang melingkar-lingkar, tak menentu, di sana-sini mengesankan artikulasi baru namun jika ditilik lebih jauh, artikulasi itu secara kualitatif dan substantif tidak menunjukkan perubahan. Di tengah kerumitan konseptual dan keruwetan operasional itu, maka "politik Islamisasi" konstitusi tak pelak akan memperpanjang daftar kekalutan politik kenegara-an.

Para pendukung politik Islamisasi konstitusi selalu menolak pandangan seperti itu. Mereka mengklaim bahwa Piagam Madinah yang menjadi sandaran utama validitas penegakan konstitusi Islam terbukti (katanya) mampu menghadirkan sebuah tatanan kenegaraan secara egaliter dan berkeadilan bagi seluruh warga Madinah. Klaim itu jelas tidak akurat dan salah alamat, justru dari sudut pandang Islam sendiri. Yang (sengaja) diabaikan di sini adalah fakta bahwa traktat konfederasi itu dibuat ketika Islam belum selesai, belum sempurna sebagai agama akhir zaman. Di samping itu, upaya penegakan "Piagam Madinah" dikotori oleh sejumlah kekerasan terhadap warga Yahudi dari Bani Quraizhah, Qunaiqa dan Bani Nadhir. Karena itu, menjadikan Piagam Madinah sebagai "proyek percontohan" adalah fabrikasi ideologis yang ahistoris.

Implikasi

Politik Islamisasi konstitusi yang begitu marak di sejumlah negara Islam (termasuk Indonesia) paling tidak memiliki tiga implikasi. Pertama, akan makin memperluas dan memperdalam jurang disintegrasi baik internal umat Islam sendiri maupun antar-kolektivitas yang ada dan hidup di negara bersangkutan. Kedua, akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru akibat keharusan watak diskriminatif dalam konstitusi berbasis agama (Islam). Ketiga, politik islamisasi konstitusi juga akan membuka lebar-lebar pintu otoritarianisme penguasa.

Salah satu efek program Islamisasi konstitusi yang tidak diharapkan adalah meningkatnya sektarianisme dan partikularisme di antara berbagai kelompok dan aliran keagamaan yang ada dalam negara. Suasana umum yang ditimbulkan oleh politik Islamisasi konstitusi telah membuka peluang bagi berbagai kelompok untuk menegaskan kembali identitas masing-masing, dan karenanya mempertegas batas antara "kita" dan "mereka".

Strategi Islamisasi melalui penguasaan aparat negara justru bisa menimbulkan dampak negatif yang menyebabkan tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat semakin jauh. Sekali aparat negara dikuasai, agenda berikutnya adalah menerapkan regulasi-regulasi hukum kriminal fiqih, mempertahankan kekuasaan di tengah gempuran oposisi yang tidak loyal, menangani berbagai isu kebijakan yang rumit dan mengurus birokrasi. Tarikan-tarikan geopolitik seperti itu tidak hanya dapat menyita waktu tetapi juga menciptakan musuh dan isolasi.

Bahkan para sahabat Nabi telah memperagakan politik Islamisasi melalui panggung negara dengan amat sempurna mengerikannya. Intrik politik, teror dan kekerasan berdarah-darah harus mereka pilih sebagai pintu tunggal. Hal itu diawali hanya selang dua dasawarsa setelah wafatnya Nabi SAW. Karena itu, fenomena penyebukan (pemenuhan) Islam dengan politik/negara seringkali justru menelikung pihak muslim sendiri. Ajaran-ajaran Islam yang mestinya mengatur kehidupan politik tetapi yang terjadi justru sebaliknya: eksploitasi habis-habisan atas Islam oleh para elite negara dan partai politik. Hasilnya pun mudah diduga, bukannya politik yang diilhami oleh moral yang mewujud di masyarakat akan tetapi politik "hasutan omong kosong" yang menampak dalam panggung negara sehari-hari.

Slogan "agama dan politik dalam Islam adalah tak terpisahkan" digunakan untuk menipu umat Islam agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai politik.

Penulis sangat merindukan tampilan agama yang manusiawi. Bukan agama yang mempermak pemeluknya sebagai "topeng" tetapi agama yang mampu membimbing ke arah terbentuknya manusia-manusia otentik. Saya ingin manusia berbondong-bondong mendekap erat agamanya dengan tulus, bukan dengan ketakutan.

Source: http://www.suarapembaruan.com/News/2003/02/14/
This entry was posted on 12:27 PM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: