Author: Sumanto Al Qurtuby
•8:08 PM
Mendesain Kembali Format Dialog Agama
Kompas, Senin, 8 September 2008

Sumanto Al Qurtuby

Salah satu pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya selama ini adalah mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah memprakarsai pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan, dan kekerasan? Adakah yang salah dalam desain dialog agama selama ini?

Pertanyaan ini penting saya tekankan mengingat relasi antaragama dan kepercayaan di negeri Muslim terbesar di planet ini sedang dalam kondisi mengkhawatirkan yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi kekerasan berbasis agama pasca tumbangnya Orde Baru. Istilah kekerasan agama atau kekerasan berbasis agama (religious-based violence) ini tidak hanya mengacu pada pengertian apa yang oleh Johan Galtung disebut direct/physical violence seperti kerusuhan, penyerangan, perusakan, pembakaran, dan lain-lain terhadap pengikut dan properti komunitas agama tertentu saja, tetapi juga cultural violence atau symbolic violence (ini istilah Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, atau penyesatan terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.

Seperti ditunjukkan dari hasil riset The Wahid Institute (WI) yang dilakukan dari Juli 2007 sampai Juni 2008, yang kemudian diterbitkan dalam buletin bulanan Monthly Report on Religious Issues, sedikitnya telah terjadi 109 kasus keagamaan di Indonesia yang terbagi dalam enam kategori. Deputi Direktur WI Rumadi yang juga sebagai penanggung jawab riset ini mengelompokkan kasus-kasus kekerasan agama itu ke dalam enam kategori. Keenam kategori itu adalah (1) kasus-kasus terkait kekerasan berbasis agama 39 kasus, (2) kebebasan beragama dan berkeyakinan 28 kasus, (3) kebebasan menjalankan agama dan keyakinan 9 kasus, (4) isu hak sipil warga negara 8 kasus, (5) kebebasan berpikir dan berekspresi 11 kasus, dan (6) terkait isu-isu moralitas 14 kasus” (lihat www.wahidinstitute.org).

Menariknya, masih menurut Rumadi, dalam peristiwa kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan. MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok keagamaan yang terbelah justru menjadi ”polisi agama” yang ikut menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan ”oase spiritual” bagi umat manusia—apa pun agama dan keyakinan mereka seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—justru ikut menjadi pembakar amarah massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang antidialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang ”dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri.

Proses komunikasi

Sejumlah fakta di atas tentu saja sangat mengkhawatirkan masa depan hubungan agama-agama dan interfaith dialog di Indonesia padahal dialog agama, seperti dikatakan Richard Solomon, Presiden United States Institute of Peace (USIP), adalah salah satu basis utama bagi terciptanya pembangunan perdamaian abadi (enduring peacebuilding). Dialog agama yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja bukan face-to-face conversations dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik formal yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan, melainkan proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders).

Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik dalam konteks dialog antaragama atau dialog intra-agama) adalah simpel: setiap individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah sesimpel yang kita bayangkan karena syarat dari sebuah dialog agama—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antaragama dari Temple University—adalah setiap partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran di mana-mana.

Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan ”yang lain” bukan sukses argumen melawan yang lain seperti umumnya dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strengths yang bisa dijadikan sebagai pedoman bersama atau solusi bersama untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan tiap-tiap kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat.

Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus setiap individu/kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan ”kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Harap dicatat bahwa materi dalam dialog agama ini tidak hanya mengungkapkan persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) setiap kelompok keagamaan, baik menyangkut nilai, doktrin, tradisi, kultur, teks, simbol, wacana, sejarah, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap-tiap kelompok keagamaan. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh di dalam laci, diletakkan di bawah meja, dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik, kekerasan, dan pertikaian.

Banyak praktisi dialog agama yang menganggap perbedaan-perbedaan agama (religious differences) tadi sebagai sesuatu yang tabu dan haram untuk diungkap ke permukaan karena menganggap hal ini bisa menghambat proses relasi antaragama. Sebaliknya, mereka lebih mengapresiasi sisi persamaan-persamaan keagamaan (religious commonalities) karena beranggapan hal ini bisa menjadi perekat, dasar, dan fondasi untuk membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan peaceful. Menjadikan persamaan dan commonalities sebagai basis dialog agama adalah perlu tetapi membicarakan perbedaan, sekali lagi dengan sikap elegan, saling menghargai, dan komitmen yang tulus untuk mencari ”permahaman dari dalam”, juga sangat vital dalam desain dialog agama. Selama ini memang telah dilakukan upaya penyingkapan perbedaan-perbedaan keagamaan dan keberagamaan itu. Akan tetapi, hal itu dilakukan dalam format monolog atau, kalau tidak, ”debat kusir” yang diiringi sikap sinisme dan semangat penuh kebencian untuk menjatuhkan kelompok keagamaan lain di satu sisi dan meneguhkan kebenaran dan superioritas kelompok keagamaannya sendiri di pihak lain. Model dialog semacam ini tentu saja kontra produktif dengan spirit dialog agama itu sendiri.

Perlu juga diketahui bahwa definisi dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antarkelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian dan lain sebagainya. Model dialog agama ini oleh Mohamed Abu-Nimer, Direktur Salaam Institute of Peace di Washington DC, disebut sebagai humanity model sementara Leo Swidler seorang sarjana dan praktisi dialog agama menyebutnya sebagai practice model (selanjutnya lihat di David Smock, ed, Interfaith Dialogue and Peacebuilding).

Banyak dialog agama jenis ini yang mampu mentransformasi para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan kemudian menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dialog agama untuk kemanusiaan yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.

Monolog

Sejauh yang saya amati format dialog agama di Indonesia belum menunjukkan perubahan berarti. Memang lembaga-lembaga dialog agama menjamur di mana-mana, dari Jakarta sampai kota-kota kecil kabupaten. Namun, desain lembaga atau forum antaragama itu sebetulnya bersifat monolog karena lembaga/forum interfaith tadi hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman keagamaan seragam. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut dialog agama dalam pengertian yang sesungguhnya seperti yang saya paparkan di atas dengan melibatkan ”the others” atau ”out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interest, dan tujuan.

Akibatnya, tiap-tiap kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: ”moderat-progresif” vs ”militan-konservatif”. Dua gerbong kelompok keagamaan ini berjalan dalam rel mereka sendiri dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Setiap kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Ke depan, desain dialog agama harus diubah.

Tantangan utama kaum moderat-progresif di Indonesia adalah mendesain kerangka dialog agama yang konstruktif dan produktif dengan melibatkan kelompok militan-konservatif atau radikal-fundamentalis. ”One cannot build a bridge starting in the middle,” seru John Paul Lederach, intelektual dan praktisi perdamaian global, sebagai kritik atas model konvensional dialog dan pembangunan perdamaian berbasis agama (religious peacebuilding) yang hanya melibatkan faksi moderat. Antropolog Cynthia Mahmood yang pernah menulis buku tentang kaum militan Sikh, Fighting for Faith and Nation: Dialog with Sikh Militants, suatu saat mengatakan ”inviting the religious millitant groups in the peace process are fruitful and strategic, particularly when religious identities become main root causes for violent acts” (Science, vol 264: 1018-1019).

Di pihak lain, kelompok militan-konservatif juga harus mau membuka diri untuk terlibat dalam desain dialog agama ini serta menghentikan provokasi-provokasi menyesatkan yang bisa menyakitkan pihak lain dan memicu timbulnya kekerasan. MUI sebagai salah satu institusi keislaman penting di Tanah Air juga sudah saatnya mengubah model monolog yang selama ini diterapkan dalam setiap upaya penyelesaian masalah keagamaan untuk diganti dengan format dialog agama yang membangun dan produktif dalam bingkai keragaman dan semangat untuk mencari solusi konstruktif yang tidak merugikan pihak lain. Sebagai wadah perkumpulan para ulama, sementara ulama sendiri adalah ”waris para nabi” seperti dikatakan dalam sebuah hadis, MUI semestinya menjadikan perilaku Nabi Muhammad SAW yang terbuka, peaceful, toleran, dan pluralis sebagai tauladan, memberikan fatwa-fatwa yang menyejukkan dan menyatukan semua komponen keagamaan, dan bukannya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memicu perpecahan dan kekerasan.

Untuk bisa mewujudkan idealisme dialog agama ini memang tidak mudah. Mantan guru saya, seorang sarjana Muslim dan aktivis dialog agama yang juga profesor resolusi konflik dan peace studies di American University, Washington DC, Mohammed Abu-Nimer, jauh-jauh hari mengingatkan bahwa dialog agama adalah ”bisnis yang sangat berbahaya” (Abu-Nimer dalam Smocks, ed, 2002: 15). Akan tetapi, ia buru-buru mengingatkan bahwa dialog agama dalam kerangka (framework) seperti yang saya paparkan di atas adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama serta medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut ”satu dunia”, yakni sebuah persepsi tentang semua makhluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apa pun latar belakang etnis dan agamanya— mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep ”satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada ”stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements”.

Mampukah tiap-tiap kelompok keagamaan dan keislaman di Indonesia mewujudkan desain dialog agama seperti ini?

Sumanto Al Qurtuby Sekjen KNU AS-Kanada dan Mahasiswa PhD di Bidang Cultural Anthropology, Boston University, Massachusetts, United States

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01103538/mendesain.kembali.format.dialog.agama
Author: Sumanto Al Qurtuby
•11:09 AM
Menyambut Pendirian KNU AS-Kanada

NU, Islam, dan Barat

Oleh Sumanto Al Qurtuby
Sekjen KNU AS-Kanada

Di Boston, Massachusetts belum lama ini, sejumlah aktivis dan intelektual NU di Amerika Serikat (AS) mendirikan sebuah organisasi bernama Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS). Setelah sejumlah kader NU di Kanada bergabung, organisasi ini kemudian berubah menjadi KNU AS-Kanada. Para kader NU yang terlibat proses pendirian organisasi ini, selain saya sendiri, adalah Achmad Munjid, Ulil Abshar-Abdalla, Achmad Tohe, Prof. Kustim Wibowo, Ph.D., Salahuddin Kafrawi, Ph.D., Mohammad Abdun Nasir, Ahmad Sahal, Ahmad Rafiq, Syamsul Ma’arif, Munajat, Saiful Umam, Dadi Darmadi, dan Hasan Basri. Dalam deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla ini, juga dihadiri sejumlah mahasiswa non-NU dari Indonedia yang sedang studi di area Boston, aktivis perempuan NU dan non-NU, kader muda Muhamamdiyah Sukidi Mulyadi dan tokoh muda “NU kultural,” Jajang Jahroni.

Seperti organisasi ke-NU-an pada umumnya, KNU AS-Kanada juga mengikuti tradisi Sunni-Ash’ari dalam teologi dan empat mazhab dalam fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). Meskipun KNU AS-Kanada ingin mempertahankan tradisi Islam klasik Sunni-Ash’ari dan mazhab empat yang sangat kaya itu tetapi para penggagas dan pendiri organisasi ini menginginkan agar tradisi ini terbuka pada kemungkinan tafsir baru. KNU AS-Kanada juga menggarisbawahi perlunya membuka diri terhadap aliran pemikiran, sekte, dan kemajemukan internal dalam Islam dan masyarakat Muslim dimanapun berada. Sikap keterbukaan ini sebagai sebuah konsekuensi logis atas fakta pluralitas Islam itu sendiri baik dalam pengertian sejarah, tradisi, tafsir, wacana, simbol, doktrin, dan teks-teks keislaman maupun kebudayaan umat Islam (Muslim cultures) yang memang beraneka ragam dan warna-warni.

***

Ada tiga faktor atau masalah mendasar yang menjadi keprihatinan para founding father KNU AS-Kanada yang sekaligus melatarbelakangi terbentuknya ormas ke-NU-an di wilayah Amerika Serikat dan Kanada ini. Ketiga faktor dimaksud menyangkut sejumlah masalah internal NU, keislaman Indonesia, serta relasi Islam-Barat. Ketiga “latar belakang masalah” ini selanjutnya menjadi fokus gerakan KNU AS-Kanada.

Pertama, dari aspek internal NU, KNU AS-Kanada menilai PBNU khususnya dan kelompok struktural NU pada umumnya sekarang ini dipandang tidak berhasil dalam menerjemahkan dan mengtransformasi visi keislaman NU yang tawazun (balance), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan i’tidal (adil) dalam konteks masyarakat modern yang semakin kompleks, plural, dan meng-global. PBNU juga gagal menyikapi realitas kemajemukan keberagamaan masyarakat dewasa ini. Alih-alih ingin bersikap moderat, toleran, dan adil, (sebagian pengurus di) PBNU justru terlibat aktif dalam proses penyesatan dan peminggiran sejumlah kelompok dan aliran keagamaan dan keislaman. Alih-alih ingin mengapresiasi pluralitas keberagamaan, PBNU justru terlibat aktif melarang pluralisme yang diharamkan MUI tanpa mempelajari lebih dalam definisi dan makna pluralisme serta dasar-dasar pengharaman itu. Dan alih-alih ingin menegakkan Islam yang berwawasan moderat dan toleran, PBNU, sekali lagi, ironisnya justru ikut menabuh kendang yang dimainkan kelompok “Muslim” fundamentalis radikal! Sejumlah fakta ini cukuplah dijadikan alasan bahwa PBNU telah mengabaikan spirit, visi, dan “khittah” keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal tadi.

Berangkat dari realitas inilah, KNU AS-Kanada ingin mengembalikan NU ke dalam formasi awal sebagai ormas keagamaan yang berwawasan toleran-pluralis yang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Untuk mewujudkan (kembali) visi dan nilai-nilai keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal ini, KNU AS-Kanada akan mengapresiasi secara kritis kaedah yang juga dipegangi NU selama ini: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Terjemahan bebas teks ini kira-kira: “memelihara tradisi dan warisan lama yang masih baik dan relevan serta menggali kebudayaan baru yang lebih baik dan kontekstual.” Tantangan terbesar buat KNU AS-Kanada tentu saja bagaimana merumuskan kriteria “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah” itu. Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah”?

KNU AS-Kanada menilai PBNU selama ini lebih banyak mengapresiasi hanya pada aspek “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih.” Itupun tidak semua tradisi khazanah Islam klasik diapresiasi secara imbang, fair, dan adil. Banyak sejarah, tradisi, wacana, dan khazanah brilian intelektualisme Islam klasik diabaikan. Pula, PBNU kurang memberikan ruang pada aspek “wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Padahal “kebudayaan baru” inilah yang justru akan memperkaya visi keislaman yang dibangun NU selama ini. Kata “kebudayaan” (culture) yang dimaksud disini adalah “socially distributed knowledge and habits” untuk meminjam istilah Robert Hefner, bukan dalam pengertian produk-produk teknologi. Perkembangan pesat pengetahuan (knowledge), social sciences and humanities, dan aneka “habitual actions” individu, kelompok, dan masyarakat yang semakin rumit dan kompleks dewasa ini tidak direspons secara proporsional dan critical oleh PBNU.

Masalah internal NU lain yang juga turut mendorong proses berdirinya KNU AS-Kanada adalah fakta bahwa PBNU dan sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU (bahkan sampai tingkat kecamatan dan ranting di desa-desa) telah menggunakan institusi ke-NU-an untuk kepentingan politik praktis yang berlawanan dengan spirit “Khittah NU 1926” yang dicetuskan pada Mukmatar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Khittah 1926 ini secara tegas menyatakan NU sebagai “jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah” atau ormas sosial keagamaan bukan parpol (partai politik), orpol (organisasi politik), ataupun supplier partai politik. Tetapi ironisnya, sebagian pengurus NU dari tingkat pusat sampai ranting, rame-rame memperlakukan NU layaknya parpol atau orpol. Tulisan Syamsul Bakri tentang “Khittah 1926 atau Good Bye NU” (Suara Merdeka, 24 July 2008) adalah sangat layak untuk dicermati.

Sejumlah fakta inilah yang membuat para inisiator dan tokoh dibalik “Khittah 1926 Situbondo” seperti Rais Aam KH MA Sahal Mahfudh, Gus Mus, dan Gus Dur geram terhadap ulah sebagian pengurus NU yang besar syahwat politiknya tadi. Karena (sebagian) para pengurus NU ini sibuk berpolitik praktis—meskipun sering kali babak belur seperti kasus cawapres Hasyim Muzadi, cawagub Jateng Muhammad Adnan, dan cawagub Jatim Ali Maschan Moesa—urusan-urusan fundamental ke-NU-an yang justru menjadi “core bussiness” NU seperti masalah keagamaan (diniyah), sosial (mabarat), perekonomian (iqtishadiyyah), dan pendidikan (tarbiyah) menjadi terbengkelai. Aset-aset kultural NU yang melimpah-ruah (seperti potensi kader NU terdidik dan kalangan profesional di dalam dan luar negeri) juga tidak “dikelola” dengan baik bahkan dibiarkan terlantar. Padahal mereka inilah, cepat atau lambat, yang akan memegang kendali roda ke-NU-an di masa datang.

Melihat realtias ke-NU-an dewasa ini yang sudah “salah jalan” di tambah masalah sosial-kemasyarakatan dan kebudayaan yang semakin kompleks, KNU AS-Kanada saat ini sedang merumuskan dan mematangkan sebuah “Khittah Nahdliyah Amrikiyyah” yang diharapkan bisa menjadi sumbangan berarti buat NU dan “guideline” bagi warga NU dalam menyikapi masalah kebangsaan, keislaman, dan ke-NU-an.

***

Kedua, faktor “keislaman Indonesia” yang juga turut memicu proses pendirian KNU AS-Kanada adalah munculnya berbagai kelompok politik dan keagamaan termasuk kelompok keislaman tertentu yang ingin mengganti konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ideologi negara Pancasila, dan Konstitusi UUD 1945. Di tengah bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam pengertian segalanya: budayanya, keberagamaanya, etnik dan sukunya, dst, munculnya kelompok-kelompok eksklusif keislaman yang ingin menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara tentu merupakan ancaman bagi existensi pluralitas Indonesia. Buat KNU AS-Kanada Pancasila sebagai falsafah, ideologi, dan dasar negara bersifat final. KNU AS-Kanada tetap mengapresiasi keragaman kelompok-kelompok politik dan keislaman tersebut sebagai bagian dari dinamika internal umat beragama dalam kerangka demokrasi sepanjang dilakukan dalam konteks NKRI, mentaati konstitusi negara, dan tunduk pada UU dan peraturan yang berlaku yang menjadi acuan hukum berbangsa dan bernegara.

***


Faktor ketiga yang melatarbelakangi sekaligus menjadi fokus KNU AS-Kanada adalah masalah hubungan Islam-Barat.

Jamak diketahui bahwa relasi Islam-Barat sering berlangsung tidak harmonis serta penuh prasangka (prejudice), kecurigaan, dan ketegangan sehingga menimbulkan gap yang cukup serius antara dunia Muslim di satu sisi dan masyarakat Barat di pihak lain. Sikap saling curiga dan syakwasangka itu sendiri sebetulnya selain dipicu oleh sejumlah faktor sosial-politik-ekonomi kontemporer yang sangat kompleks juga memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Dari perspektif dunia Islam, ketegangan dengan “Barat” bermula sejak era kolonialisme ketika “Eropa yang Kristen” menjajah kawasan-kawasan berbasis Islam dari Arab, Timur Tengah, Afrika Utara, sampai Indonesia. Kolonialisme ini tidak semata-mata masalah politik (dominasi kekuasaan, kontrol pemerintahan, dll) dan ekonomi (eksploitasi sumber-sumber perekonomian) tetapi juga masalah agama dan budaya karena kolonialisme membawa sejumlah “penumpang gelap” berupa misionarisme, modernisme, dan westernisme.

Ketika luka-luka lama akibat kolonialisme ini pelan-pelan bisa diobati dengan pendirian negara-negara modern yang merdeka dan otonom atau semi-otonom di berbagai negara berbasis Islam, memori luka lama itu bangkit kembali ketika melihat sejumlah konflik kekerasan yang melibatkan non-Muslim seperti Israel v Palestine atau negara-negara di kawasan Balkan (Serbia, Bosnia-Herzegovina, dll). Ketegangan dan kecurigaan terhadap Barat itu semakin memuncak ketika AS, sebagai simbol utama Barat, sering intervensi urusan negara-negara lain terutama dunia Islam.

Hampir tidak ada negara yang luput dari campur tangan politik AS. Dengan dalih demokrasi dan didukung oleh dana yang kuat, AS selalu terlibat dalam proses-proses kepolitikan internal negara-negara lain termasuk kawasan Islam tentunya. Celakanya, AS selalu menerapkan politik “standar ganda” dalam setiap penyelesaian masalah kepolitikan dengan kawasan Islam. Sikap “standar ganda” AS itu terlihat sangat jelas dalam kasus konflik Israel versus Palestine, penegasian kemenangan Hamas di Palestine maupun Ikhwanul Muslimin di Mesir, penyelesaian konflik di Iraq, penanganan ketegangan di Iran, dan masih banyak lagi. Sejumlah sikap politik AS yang plin-plan ini menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) publik (sebagian) dunia Islam terhadap komitmen demokrasi yang diperjuangkan dan dimotori (pemerintah) AS.

Sementara itu dari sudut pandang Barat, terutama AS, masyarakat Muslim tidak bisa dilepaskan dari sejarah, doktrin, dan wacana keislaman yang bias, tidak egaliter, intolerant, anti-pluralisme, dan mendukung pendirian sistem kekhalifahan yang mengancam eksistensi masyarakat non-Muslim dan sendi-sendi demokrasi serta anti konsep citizenship di mana setiap warga memiliki hak yang sama dalam sebuah sistem kepolitikan. Selain itu ada persepsi yang kuat bahwa umat Islam mudah dibangkitkan untuk melakukan tindakan terorisme dan kekerasan global.

Salah satu organisasi berbasis Islam di AS yang bernama “The Notion of Islam” (NOI) sering dijadikan sebagai rujukan (sebagian) masyarakat AS dari kalangan elit politisi sampai warga biasa tentang “fakta keislaman” yang tidak bisa bersinergi dengan ide-ide dan konsep kewarganegaraan, demokrasi, liberalisme, kebebasan, dan pluralisme yang menjadi “ruh” kebudayaan Barat dan AS. Didirikan oleh Wallace Fard Muhammad pada tahun 1930 di Detroit, Michigan, NOI pada awalnya merupakan organisasi keagamaan yang bertujuan membangkitkan kembali mentalitas dan spiritualitas perempuan dan warga kulit hitam AS dari perilaku diskriminasi kulit putih di satu sisi dan mempromosikan Islam sebagai sistem keagamaan yang membawa perdamaian global. Spirit ini terus dilanjutkan ketika NOI dipimpin oleh tokoh spiritual Muslim AS berpengaruh, Elijah Muhammad (1897-1975), guru Malcolm X yang sangat populer itu. Namun ketika organisasi ini dipegang oleh Louis Farrakhan (lahir 1933) sejak 1973, NOI menjadi kental aura “politik Islam”-nya. Farrakhan-lah tokoh Muslim AS yang gencar menyuarakan sistem kekhalifahan Islam dan menjadikan NOI sebagai “kendaraan” untuk mewujudkan terciptanya “the real notion of Islam” di AS. Sejak itu, tokoh yang waktu lahir bernama Louis Eugene Walcott ini, kemudian dianggap sebagai simbol “Islam garis keras” yang membahayakan sistem kepolitikan AS yang dibangun di atas fondasi demokrasi liberal.

Kecurigaan AS terhadap dunia Islam yang tidak ramah dengan AS ini semakin menguat sejak terjadi insiden yang mengguncang dunia: tragedi 11 September, 2001. Insiden peledakkan gedung WTC dan Pentagon yang menjadi landmark ekonomi dan pertahanan AS ini menyebabkan sedikitnya 3,000 jiwa melayang, sebuah peristiwa yang masih menyisakan trauma mendalam di benak warga AS hingga sekarang ini. Tragedi inilah yang mendorong lahirnya kebijakan politik “war on terror” oleh pemerintah George W. Bush yang menjadikan umat Islam sebagai TO (“target operasi”). Atas nama “war on terror” ini, Bush membombardir Afghanistan, menggempur Iraq, dan menangkap kaum Muslim yang di-stemple teroris lalu dijebloskan dan disiksa di penjara paling mengerikan di jagat ini: Goantanamo.

Sejumlah fakta tadi tentu saja semakin memeruncing hubungan Islam-Barat.

***


Di tengah hubungan dunia Islam dan Barat yang penuh prejudice ini, kehadiran KNU AS-Kanada diharapkan bisa menjembatani ketegangan (bridging gaps) hubungan Islam-Barat sekaligus menjadi dialogue partner yang kritis dan cerdas terhadap Islam dan Barat sekaligus. Bagi KNU AS-Kanada perjumpaan kritis antara Islam dan Barat bersifat memperkaya khazanah keislaman. Kritis terhadap Islam diwujudkan dalam bentuk “cover both sides” atas wacana, tradisi, sejarah, dan praktek-praktek keislaman baik yang dikembangkan kelompok “moderat-progresif” maupun “militant-konservatif.”

Selanjutnya, selain mengapresiasi sisi-sisi positif “kebudayaan Barat” yang manfaatnya telah dirasakan oleh jutaan manusia di planet ini seperti konsep demokrasi, egalitarianisme, freedom, sekularisme, liberalisme, pluralisme, “philantropi-isme”, vulunterisme, dst, sikap kritis terhadap Barat ini akan dilakukan dalam bentuk kritik-konstruktif terhadap empat hal fundamental berikut ini. Pertama kebijakan politik AS yang double standard menyangkut hajat hidup dunia Islam termasuk masalah Palestine-Israel. Dalam hal ini KNU AS-Kanada mengusulkan solusi pembentukan dua negara: Negara National Palestina dan Israel sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik yang just-peace. Kedua, pemaksaan demokrasi lewat cara-cara kekerasan dan perang seperti kasus Iraq dan Afghanistan. Ketiga, ketidakadilan global kapitalisme di mana Barat turut andil dalam proses penciptaan keterbelakangan “dunia ketiga” termasuk dunia Islam. Terkait dengan masalah “ketidakadilan global kapitalisme” ini, KNU AS-Kanada akan terus mengupayakan terciptanya “global in justice” lewat kerja-kerja intelektual dan “soft diplomacy.” Keempat, prejudice yang dilakukan sebagain tokoh agama, orientalis, sarjana, politisi, media, dan warga AS atas wacana, doktrin, tradisi, sejarah, dan praktek cultural umat Islam. Untuk mengatasi masalah prasangka Barat atas Islam ini, KNU AS-Kanada akan terus mengembangkan model “dialog agama” yang sehat, kritis, dan cerdas.

Dialog agama ini memang “bisnis yang sangat berbahaya,” untuk meminjam istilah Mohammed Abu-Nimer dalam buku Interfaith Dialog and Peacebuilding yang diedit David Smock dari United States Institute of Peace (USIP) akan tetapi dialog agama yang kritis-konstruktif dan dilandasi spirit untuk mencari common ground dan mutual understanding ini adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama, kecurigaan dan sejumlah misundertanding Islam-Barat. Dialog agama dalam semangat dan framework seperti ini mampu menjadi medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut “satu dunia,” yakni sebuah persepsi tentang semua mahluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apapun latar belakang etnis dan agamanya—mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep “satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada “stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements.”

Mampukah KNU AS-Kanada mewujudkan idealisme ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.***
Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:26 AM
Pentingnya "Kekuatan Ramah" dalam Pergerakan Islam

[Sumanto Al Qurtuby]


Kekerasan demi kekerasan terus mewarnai kawasan Islam, mulai dari Arab Saudi sampai Indonesia. Teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, sweeping, penculikan, perusakan, dan pengeroyokan, seolah tidak berhenti, bahkan menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Kenyataan ini seolah membenarkan tesis sebagian orang Barat, yang mengatakan dunia Islam adalah "dunia kekerasan" dan barbarisme, dan Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan sekaligus pengekspor kaum teroris-militan (Edward Said, Covering Islam).

Fenomena ini menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, toleran, dan menjunjung tinggi keadaban (civility) menjadi redup, lumer, dan dipertanyakan banyak pihak. Slogan Islam rahmatan lil alamin dan peaceful religion, kalah populer dengan hiruk-pikuk berita kekerasan dan vandalisme yang dilakukan kaum Muslim radikal. Peristiwa kekerasan berbagai kelompok Muslim militan di Indonesia belakangan ini, juga meramaikan headlines koran-koran dan media Barat. Ini menambah daftar panjang tentang "fakta kekerasan dunia Islam."

Memang ada yang tidak fair dalam proses pemberitaan media Barat dan komentar-komentar (sebagian) orientalis, politisi, tokoh agama, sarjana, dan warga Barat umumnya. Ketika kekerasan terjadi di negara-negara berbasis Islam, mereka langsung "tunjuk hidung" dan mengaitkannya dengan "watak dasar" Islam sebagai violent religion (agama kekerasan) dan antipluralisme. Tapi, ketika kekerasan serupa terjadi di kawasan berbasis non-Muslim (misalnya Israel, Irlandia Utara, Eropa Timur, negara-negara bekas Uni Soviet, India, Tiongkok, dan Amerika Latin) mereka tak pernah mengaitkannya dengan agama tertentu. Saat menara kembar World Trade Center dan Pentagon diserang teroris 11 September 2001, banyak warga Barat (khususnya AS) yang berbondong-bondong memborong Alquran guna memeriksa hubungan Islam dan terorisme global.

Para komentator politik dan agama sibuk menguliti akar-akar terorisme Islam. Buku Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji akar-akar sejarah terorisme dan kekerasan di dalam Islam, menjadi rujukan kelompok "anti- Islam" guna menguatkan argumen tentang Islam sebagai violent religion. Buku-buku Angel Rabasa, analis politik di RAND Corporation, khususnya tentang jaringan terorisme global, sangat sering dikutip.

Uniknya, ketika rezim George W Bush membombardir Afghanistan dan Irak, tak ada kaum Muslim yang bergairah membeli Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme.

Faktor Kesenjangan

Beberapa penjelasan bisa dikemukakan untuk membaca fenomena kekerasan di dunia Islam saat ini. Secara sosiologis, aspek kesenjangan sosial (social gaps) yang begitu nyata antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, adalah salah satu faktor. Se- cara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar antara dunia Islam yang kering-kerontang dan dunia Barat yang makmur berlimpah.

Pada aspek kultural, kita juga menyaksikan dominasi budaya Barat yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi faktor penentu dominasi kebudayaan ini. Kawasan Islam yang miskin teknologi harus menjadi pemangsa dan pemamah kebudayaan asing yang diselundupkan lewat TV, film, internet, dan lain-lain.

Sementara itu, dari aspek politik, tampak adanya infiltrasi, dominasi, dan penekan-an AS (sebagai simbol Barat) terhadap dunia ketiga yang mayoritas kawasan Islam.

Inilah yang membuat kelompok multicultural liberal membagi dunia menjadi dua kategori ekstrem, the oppressors yang diwakili Barat-Kristen- Yahudi (terutama AS), dan the victims yang direpresentasikan kaum Muslim. Fakta keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang berpikiran pendek gusar dan panik, sehingga melampiaskannya dengan cara-cara kekerasan.

Dengan kata lain, kekerasan sebetulnya bisa dibaca sebagai cermin kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik dalam menghadapi dominasi, hegemoni, dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar tindakan mereka seolah-olah legal dan sesuai dengan spirit Islam, dipakailah sejumlah teks, doktrin, ajaran, tradisi, sejarah, dan wacana keislaman sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal. Doktrin jihad pun ditafsirkan secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka sebut "musuh- musuh Islam".

Karena itu, retorika kaum fundamentalis Muslim yang sering kita dengar adalah, mereka bertindak demi "membela Tuhan" dan "tegaknya Islam." Konfrontasi dan kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah satu-satunya jalan menunjukkan superioritas, keperkasaan, dan kedigdayaan Islam sebagai agama yang unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya (ya'lu wala yu'la alaih). Sebaliknya, sikap mengutamakan dialog, persuasi, dan gerakan damai (peaceful and nonviolent movements), dianggap sebagai bentuk kepengecutan dan ekspresi inferioritas.

Ini tentu logika yang menggelikan dan apologetik. Jika Islam memang agama yang superior dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, kebudayaan, dan ekonomi? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan, dan menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam yang masuk kelas dunia. Ini tentu masalah sosial yang kompleks.

Kekuatan yang Ramah

Ke depan, umat Islam harus menata diri, berbenah, sambil merumuskan strategi gerakan keislaman yang jitu, cerdas, santun, dialogis, peaceful, dan beradab. Kekerasan hanya akan menambah wajah buram Islam di mata dunia serta memperuncing ketegangan Islam versus non-Islam, serta Timur kontra Barat. Jalan kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru, sehingga umat manusia akan terjebak di dalam lingkaran setan kekerasan yang merugikan semua pihak.

Dari perspektif keislaman, tindakan kekerasan juga berlawanan dengan spirit dasar Islam sebagai agama damai. Kata "Islam" dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, selain bermakna "ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi" (terhadap keinginan Tuhan), juga berarti "perdamaian, keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan" (Cowan, ed. 1976: 425-426). Dengan demikian, tindakan dan jalan kekerasan, selain bertentangan dengan misi dan khittah Islam, juga bukan solusi terbaik untuk mengatasi aneka masalah di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam).

Untuk itu, gerakan Islam perlu mengedepankan pendekatan kekuatan yang ramah (soft power), melalui medium-medium komunikasi budaya, sarana pengetahuan, pendidikan, diplomasi, dan alat-alat politik yang diaktualisasikan dengan cara-cara nirkekerasan dan dialog lintas-peradaban dan kemanusiaan (Nye, Soft Power: the Means To Success in World Politics). Dalam rangka mengaktualisasikan strategi dan pendekatan soft power tadi, sejumlah intelektual Nahdlatul Ulama belum lama ini mendirikan Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (KNU AS-Kanada). KNU AS-Kanada (juga ormas-ormas keislaman sejenis) yang berwawas-an pluralis dan terbuka, diharapkan dapat menjembatani ketegangan dan jurang pemisah antara Islam-Kristen (juga agama lain) dan Timur-Barat. KNU AS-Kanada juga diharapkan menjadi bagian dari organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi menyelesaikan problem keumatan, keislaman, dan kemanusiaan.

Penulis adalah kontributor RePro Jakarta, Mahasiswa Boston University, Amerika Serikat.

Source: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/index.html

Author: Sumanto Al Qurtuby
•5:21 PM

Disclosing the Ambiguous Text


The prime theological challenge in recent religious life is this: How does someone who is religious define himself in relation to other religions? Or in contemporary theological terms: How does one theologize in the inter-religious context? There are fundamental questions at hand here: Why, despite both the inter-religious conventions recently held frequently and the spread of interfaith institutions, are there continuing clashes occurring between religious communities? Is there something wrong with the inter-religions dialogue’s “management” or with religion itself? The “idealist” would answer that these clashes are not due to religious teachings or texts, but due to the religious community. It is the fault of humans and not the teachings themselves. All religions promote peace and not war, teach rahmat (God’s mercy) and not violence, love and not hatred—and certainly not terrorism nor other idealist formulas of religious apologists.

Indeed, there is no religious text, which instructs directly in the use of hostility and terrorism. But, religious texts do nevertheless inspire violent behavior. Why? Because the text’s fundamental notion is ambiguous. On one hand, the text edifies the ideal universal value of humanitarianism, and on the other hand it also articulates and legalizes the exclusivity of primordial behaviors for the sake of preserving what is called as “belief”. One of the obscurities eroding the religious fundamentalism movement is the theological justification based on the “Holy Book”. Without deconstruction, the egalitarian and humanistic theological transformation could never have been manifested in the religious community’s life.

The Ambiguity of the Text.

One example of a religious text, which inspires the “religious adventurer” to commit violence is: “whoever curse you (Israel), he is cursed and whoever bless you, he is blessed” (Genesis27: 29). This verse has been applied by Jarry Falwell (a prominent figure in the American conservative church) in a campaign within the Christian community to support Zionism and to criticize Palestine. Whereas according to Norman Gottwald, the director of the Bible of Graduate Theological Union, the “Holy” concept (Israel as the Holy/sacred nation) and the “Blessed nation” referring to the ancient Jewish community is similar to a terrified person’s song while passing an old cemetery. It means that in the past, the Jewish elite utilized that concept because they were unable to face the political suppression of Egypt - then a superpower state. The concept has been utilized in order to consolidate the public sympathy to fight the Egyptian state’s hegemony. Gottwald remarks that those Biblical texts were “tactics” of the Jewish elite since King David’s era and were used to upgrade that regime’s supremacy. Subsequently, Gottwald went as far as to call the Bible “a trap of Jews”.

In addition to this text, which contains the early spirit of Jihad, there are other examples in the Holy Bible of this exclusive-primordial bias. For example, in John 14/6, “I am the way and the truth and the life. No one comes to the father but by me.” And also the verse “There is no salvation except in Him, because under this sky there is no man who could not be saved by us.” (Acts of the Apostles 4/12). This emerged as a popular saying amongst Christians,” No Other Name!” and it became the symbol of the impossibility of salvation outside of Jesus Christ. This verse also inspired Hendrick Kraemer –a theologian- to write The Christian Message in a Non-Christian World- a books which has been important for missionaries for many years. On the base of preserving the sacred nature of these texts, a lot of spokespeople within the Christian community have been instigating a Jesus militia to battle the Muslim or whoever else is considered to be disturbing the nobility of the Christian doctrine.

Islam also has many verses which are similarly “fundamentalist” and which are taken literally and used to incite confrontation and justify terrorism against both non-Muslims and even against Muslims who are see as not “enacting the authentic Islam”. In short, puritanism and authenticity, a common ideology in several Islamic countries (including Indonesia), are inspired by these primordial texts. For example,“And who seek religion other than al Islam it will not be accepted from him, and he will be a loser in the Hereafter ” (Q.S. 3/85). Or “Lo! Those who disbelieve, among the people of the scripture and the idolaters, will abide in the fire of hell. They are the worst of created being.” (QS 98: 7). And also the most popular verse of Qur’an, “ The Jews and the Christians would never acquiesce . . . unless you follow their religions.” These verses have inspired Muslims in their antipathy towards “Crusaders” and “Zionists.”

These verses are also used as the theological base for Islamic fundamentalist regimes in Muslim countries and as reasons for ethnic cleansing and violence against Christians, Jews and other non-Muslims. Other scriptural texts inspire discrimination, domination and subordination of both women and minority sects.

The classical Islamic text, even the Qur’an itself, can also be understood as “An Arabian’s (or Quraish) trap. It also cannot be detached from Quraish supremacy. For example, Khalil Abdul Karim in his book Quraish min al-Qabilah ila ad-Daulah al-Markaziyah, has shown how the Quraish nation has upheld its hegemony since the time of Quraish ben Kilab, the clan founder at the time of the emergence of the state of Medina. The Quraish hegemony over Islam resembles Israel’s hegemony in the Judaic tradition.

Deconstruction for Transformation

The religious textsin Islamic, Christian and Jewish tradition can be deconstructed through a socio-historical approach. In a socio-historical approach, each community abandons some assumptions which has influenced the collective perception of the Muslim community. The premise is that the “Holy Book” (Bilble or Qur’an) as “God’s word” is not to be seen as supra historic, or outside of history. A historical approach understands the sacred texts as profane, temporal and impermanent. Instead there is a long and complex historical process at work through which texts become “scientia sacra” – both sacred and mythic.

Such deconstruction can serve to build a transformed religious community. But this “religion’s transformation” can only occur if each community is prepared to “detach itself” from the Text’s hegemony over the critical logic of the Muslim community. Instinctively, the Text has been slithering beneath our consciousness, influencing every step of religious Muslim community behavior: do this, and don’t do that. We have acted like robots controlled by remote control. As long as our movement is positive and “humanist” there is no problem. The problem emerges when our actions are destructive. Though the text has been considered as sacred, containing positive “movement-principle” (for instance, the text regarding the freedom/liberation, the equality of rights, the teaching of love, social solidarity, emancipation, universal brotherhood etc) is also contains negative “movement principles” (such as texts supporting slavery, doctrines of supremacy, gender domination, and jihad etc). Thus the negative “movement principle” of the text creates narrow-minded humans who exploit other humans in the name of religion and God.

It is important to deconstruct the idea that one text and thus one religion is more superior to another. God is more magnificent than any text. He is beyond any text. The claim of supra-historical Godly verses reduces the greatness of the concept of God itself. So, through deconstruction, arthritic textual claims disappear - no one text or religion dominates another. These are the very latest efforts advocated by the inter-religion dialogue as explained by Leonard Swidler in After the Absolute The Dialogical Future of Religious Reflection. The idea is to disavow“ double standards”, the claims for unitary truths and single paths of salvation as these are all considered to be uncritical ways of thinking.

Arthur J D’Adamo argues that this uncritical “way of knowing” is at the root of inter-religious community conflict. Each religious group thinks it has the source of truth—(1) consistent and errorless; (2) complete and final, (3) the only source of salvation and enlightenment; and (4) directly given by God without human influence. It is a narrow minded way of thinking and not conducive for building a universal brotherhood. The religious dialogue’s activists should start discussing this “muharramat” (forbidden) topic without any hesitation or trepidation.

We should open ourselves to other belief systems and restrict our egoism, abandon “primordial identity”, and use self introspection to look into the double standards we apply to others. Only then, in widening our theologically inclusive view, would religions have significant positive roles for providing a spiritual foundation for our futures. This has been superbly portrayed by Bhagavan Das, ”all of us, the religion’s disciples, would meet in the same road of life. Who come from the far, who come from the near, all are hungry and thirsty, all are in the need of life’s bread and water which can be gained only through unity with the Supreme spirit.”

(Translated by Lanny Octavia, edited by Jonathan Zilberg)

Source: http://islamlib.com/en/article/disclosing-the-ambiguous-text/


Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:03 AM

Kekerasan Sektarian

dan Jalan Perdamaian di Iraq

Oleh Sumanto Al Qurthuby

Kekerasan sepertinya tidak pernah bosan menyapa Iraq. Siapapun yang membaca sejarah Iraq akan segera tahu bahwa di negeri tempat munculnya legenda “Taman Eden” itu selalu diwarnai konflik kekerasan. Maka tidak terlalu meleset jika Samir al-Khalil menyebut Iraq sebagai Republic of Fear. Sejak invasi AS 2003 lalu, negeri yang jaman dulu kala bernama Mesopotamia ini kembali dilanda kekerasan. Bahkan kekerasan di negeri ini semakin mengeras dan meruncing sejak beberapa pemimpin negara Islam (baik pemimpin politik maupun agama) ikut mengompori dan intervensi urusan dalam negeri Iraq dengan dalih keagamaan. Misalnya, para pemimpin Syi’ah di Lebanon, Syria, dan terutama Iran, ikut mem-back up kepemimpinan perdana menteri Iraq Nouri al-Maliki yang berafiliasi Syi’ah dan memberi support kepada “Tentara Mahdi”. Iran bahkan menuduh para pemimpin Sunni di kawasan Arab dan Timur Tengah sebagai sponsor gerakan kelompok militan jihadi yang berhaluan Sunni di Iraq. Iran juga menuding para tokoh agama Sunni sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas fatwa-fatwa yang menghalalkan pembunuhan atas pengikut Syi’ah.

Sementara itu para pemimpin Sunni Arab menyebut milisi Syi’ah, di bawah kontrol Iran, sebagai otak meruncingnya kekerasan di Iraq. Meskipun sebetulnya rezim Syi’ah Iraq saat ini merupakan “boneka AS”, di mata orang-orang Sunni Arab, pemerintahan Iraq tidak lebih merupakan representasi ekspansi kekuasaan politik Iran. Mereka pun kemudian ramai-ramai membangkitkan memori lama persetruan dengan Syi’ah terutama Iran. Raja Jordan Abdullah misalnya jauh-jauh hari telah memberi warning munculnya “bulan sabit” Syi’ah dari Iran lewat Iraq, Syria dan Lebanon. Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan orang-orang Syi’ah lebih loyal ke Iran ketimbang negara dimana mereka tinggal. Setali tiga uang, Raja Saudi Arabia Abdullah kepada sebuah surat kabar di Kuwait juga menganggap Iran yang ikut memperkeruh masalah politik di Iraq dan menuduh “negeri para mullah” itu telah menyebarkan paham Syi’ah di negara-negara berbasis Sunni.

Tidak sebatas para pemimpin politik, para juru dakwah dan ulama-ulama Sunni seantero Arab pun, seperti dilaporkan Time (February 22, 2007), juga ikut menyebarkan sentimen anti-Syi’ah dengan mengatakan bahwa rangkaian pembunuhan berdarah di Iraq sebagai ethnic cleansing yang dilakukan “orang-orang Persia.” Kata “Persia” adalah sebutan untuk kawasan yang sekarang bernama Iran sebelum ditaklukkan tentara Islam. Maka dengan menyebut nama “Persia” mengandaikan bahwa orang-orang Syi’ah sebagai “kafir dan terkutuk” (karena itu “halal darahnya”). Para pengikut Sunni, terutama sayap garis keras Wahabi dengan dukungan penuh kerajaan Arab Saudi, memang dikenal sebagai sponsor utama kaum militan Sunni Jihadi di Iraq.

Fenomena ini sebagai bagian dari ironi Arab-Sunni. Dulu semasa rezim Saddam yang Arab-Sunni dan otoriter itu masih berkuasa, mereka tinggal diam meskipun kekejaman demi kekejaman sering dilakukan mendiang Saddam baik terhadap Syi’ah maupun suku Kurdi. Kekerasan dan kekejaman terhadap suku Kurdi, meskipun mereka juga Sunni, dilakukan sebagai teror untuk melemahkan kekuatan politik mereka yang sejak dulu berniat mendirikan negara otonom Kurdistan. Selain itu politik represif Saddam juga dimaksudkan agar ia bisa mengontrol minyak yang sangat melimpah di kawasan yang dihuni suku Kurdi di Iraq utara. Sementara kekerasan terhadap kelompok Syi’ah dilakukan sebagai teror untuk melemahkan kekuatan politik mereka sehingga mau tunduk dibawah otoritas politik Sunni Saddam.

Relasi Sunni-Syi’ah

Pada awal-awal pemerintahan Saddam, hubungan Sunni-Syi’ah sebetulnya sempat terjalin dengan baik. Orang-orang Syi’ah sempat menikmati pemerintahan baru Saddam yang mengusung jargon “Kesatuan, Kebebasan dan Sosialisme.” Jargon yang dikibarkan Partai Ba’th ini di satu sisi untuk mewujudkan ide nasionalisme dan sosialisme Arab yang diidealkan oleh pendiri gerakan ini, yakni Michel Aflaq dari Syria, di pihak lain untuk melawan kekuatan apa yang mereka sebut “demokrasi borjuis” yang dikendalikan Barat. Jargon ini sempat mengantarkan era “bulan madu” antara Sunni-Syi’ah di Iraq, sebab meskipun mereka berbeda secara teologis keduanya sama-sama beretnik Arab yang berjumlah sekitar 75-80% di negeri itu.

Namun era bulan madu itu tidak berlangsung lama sebab Saddam khawatir gerakan “Revolusi Islam Iran” yang dipimpin Imam Khomeini pada bulan February 1979 akan merembet ke Iraq. Kekhawatiran itu beralasan sebab Syi’ah adalah kekuatan mayoritas di sana, yakni sekitar 60% dari total populasi Iraq yang berjumlah hampir 27 juta (census July 2006). Maka malapetaka pun datang. Saddam kemudian menghabisi para ulama berpengaruh Syi’ah termasuk Muhammad Baqir al-Sadr, paman Muqtada al-Sadr, pemimpin “Tentara Mahdi” saat ini. Ayah Muqtada sendiri juga dibunuh oleh Saddam. Tidak sebatas itu, Saddam juga mendeklarasikan perang melawan Iran yang berlangsung selama 8 tahun (1980-1988) yang menyebabkan ratusan ribu pengikut Syi’ah menjadi korban.

Sejak itu dendam kesumat antara keduanya seakan susah dihilangkan dari bumi Iraq. Kelompok Syi’ah sebetulnya beberapa kali berusaha mendongkel kekuasaan Saddam tetapi selalu gagal. Maka kehadiran tentara AS dan sekutunya untuk menggulingkan Saddam pada mulanya disambut dengan riang gembira baik oleh kelompok Kurdi maupun Syi’ah yang sama-sama tertindas. Kehadiran mereka dianggap sebagai “pahlawan” yang membebaskan mereka dari belenggu Saddam persis seperti orang-orang Indonesia yang “lugu” yang menyambut kehadiran tentara “saudara tua” Jepang dengan suka cita karena dianggap sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Namun bayangan “ratu adil” yang mereka impikan ternyata tidak kunjung tiba. Bahkan sebaliknya kedatangan tentara sekutu pimpinan AS ini justru membuat peta perdamaian Iraq bertambah runyam. Dengan kata lain, kehadiran AS bukan bagian dari solusi tetapi masalah itu sendiri.

Saddam memang berhasil ditaklukkan tetapi kekuatan “Saddamisme” masih menggurita. Kelompok Sunni yang tergusur terus melakukan penyerangan dan teror bom bunuh diri untuk melemahkan kekuatan AS dan otoritas Syi’ah. Penyerangan itu semakin brutal sejak peristiwa penggantungan Saddam yang sangat kasar dan tidak menghormati identitas keagamaan Sunni. Sebaliknya, Syi’ah juga melancarkan aksi serupa dengan target pengikut Sunni maupun tentara AS. Bagi pengikut Syi’ah (terutama faksi ekstremis), inilah saatnya untuk “balas dendam” dengan Sunni. AS juga menjadi target serangan sebab di mata Syi’ah, keengganan AS untuk hengkang dari Iraq dianggap sebagai bentuk intervensi masalah dalam negeri pemerintahan Iraq yang kini dikendalikan oleh “jaringan” Syi’ah.

Sementara itu di pihak AS, serangan terus dilakukan dengan target milisi Syi’ah maupun kelompok jihadi Sunni. Ambisi Bush adalah menjadikan Iraq sebagai negara boneka sebagaimana Afghanistan yang mau “diatur” terutama pengaturan masalah minyak. Selain itu Bush ingin menunjukkan “prestasi” di mata publik Amerika terutama para pendukungnya jika berhasil “mengendalikan” Iraq. Citra pemerintahan Bush yang kini sedang bopeng itu bisa “ditambal” kalau ia mampu mengontrol kekuasaan di Iraq dengan begitu peluang kubu Republik untuk mempertahankan Gedung Putih tahun 2008 mendatang masih terbuka. Itulah sebabnya kenapa Bush berusaha keras memaksakan kebijakan ndableg pengiriman 21 ribu tentara tambahan ke Iraq (surge) sekaligus usulan dana tambahan perang sebesar 2.100 trilyun meskipun gelombang protes terus mengalir deras ke Gedung Putih.

Menuju Perdamaian Iraq

Apa yang terjadi di Iraq saat ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut Johan Galtung sebagai “lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence) yang tidak hanya melibatkan kekuatan politik (baca, “kekerasan struktural”) tetapi juga otoritas agama (baca, “kekerasan kultural”). Lalu bagaimana mewujudkan perdamaian di negeri “1001 Malam” yang porak-poranda akibat kekerasan politik dan agama itu? Memang tidak ada “solusi magis” untuk menyelesaikan masalah konflik kekerasan (violent conflict) dimana pun termasuk Iraq. Tetapi jalan perdamaian selalu terbuka jika orang-orang yang berkompeten mempunyai komitmen kuat untuk merajut “perdamaian berbasis keadilan” di Iraq.

Jalan perdamaian dimaksud, al, pertama, bersihkan security forces Iraq, baik polisi maupun tentara, dari sektarianisme. Ada sekitar 311.000 tentara dan polisi Iraq yang dilatih AS. Masalahnya adalah mereka lebih taat dan loyal pada pemimpin sekte mereka atau para bos milisi ketimbang pada pemerintah Iraq. Maka tentara atau polisi yang terlibat kejahatan sectarian, seperti dikatakan analis politik Tahseen al-Shekhli, harus dihukum bukan malah dibiarkan di jalan yang justru semakin menambah kekerasan. Kedua, libatkan negara-negara tetangga Iraq seperti Iran, Syria, Kuwait, Turki, dan Jordan dalam process perdamaian. Seperti dikatakan Presiden Jalal Talabani kepada BBC bulan lalu, “if Iran and Syria were involved, it will be the beginning of the end of terrorism and securing Iraq within months.” Ketiga, organisasi-organisasi international yang relatif netral seperti PBB dan OKI harus secara aktif mendorong Sunni-Syi’ah-Kurdi agar menyelesaikan masalah “rumah tangga” mereka secara damai dan adil melalui jalan negosiasi politik yang konstruktif. Keempat, negara-negara berbasis Islam yang cukup moderat dan netral seperti Indonesia dan Malaysia juga harus terlibat secara aktif dalam proses perdamaian. Kehadiran negara-negara ini dalam proses perdamaian Iraq menjadi sangat bermakna di tengah meruncingnya kekerasan sectarian di sana. Kelima—dan ini yang sangat penting—sejak kehadiran AS merupakan bagian dari problem bukan solusi maka tidak ada jalan lain selain mengubah kebijakan dari “solusi militer” ke “solusi politik” dengan menekankan pada fungsi diplomacy, development, dan rekonsiliasi.

Dalam kerangka “solusi politik” ini, pemerintah AS harus (1) menarik militer secara bertahap dari Iraq seperti diinginkan oleh mayoritas publik AS; (2) mengimplementasikan rencana diplomatik untuk memadamkan kekerasan internal Iraq dengan melibatkan kelompok yang bertikai, terutama sayap garis keras Sunni dan Syi’ah baik di Iraq maupun negara-negara tetangga terutama Syria, Iran, dan Arab, ke meja perundingan; serta (3) mengalokasikan dana untuk program pengembangan ekonomi, asistensi, rekonsiliasi, dan rekonstruksi Iraq. Hanya dengan jalan non-kekerasan, kata Gandhi, kekerasan bisa diselesaikan.***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•9:06 AM

Antara Taize dan Mopuya:

Makna Perdamaian dan Pluralisme Agama

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Taize, sebuah desa kecil di jantung kota Burgundy, France, dikenal luas sebagai tempat “wisata rohani” atau “oasis spiritual” bagi individu dan komunitas pecinta perdamaian global, kebersamaan hidup, toleransi iman, ketentraman batin, dan pluralisme agama. Di tempat ini tinggal beberapa ratus orang dari berbagai agama, terutama Protestan dan Katolik, dan (masing-masing) hidup damai dan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Setiap orang dari berbagai agama dan tradisi bisa “merayakan” kebebasan iman dan perdamaian di sini. Karena wataknya yang unik, lintas-agama dan budaya, Taize menjadi tempat “jujugan” ribuan orang dari berbagai negara dan agama tiap tahun yang haus akan makna perdamaian dan pluralisme agama.

Didirikan oleh Roger Louis Schutz-Marsauche (pupuler Brother Roger, lahir 1915) pada tahun 1940, Taize pada mulanya didesain sebagai tempat semacam “rekonsiliasi” antara komunitas Protestan dan Katolik. Kita tahu, dua kelompok agama pengikut Jesus ini selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad hidup dalam permusuhan sejak Martin Luther mendeklarasikan 95 Tesis Reformasi yang ditempel di Gereja Wittenberg di akhir abad ke-15 sebagai tanda penabuhan genderang perang melawan Katolik. Tetapi kini, Taize menjadi milik bersama siapa saja dari agama, negara, dan etnik mana saja bisa merayakan kebebasan spiritualitas, berdoa bersama, menyanyikan lagu-lagu “rohani” bersama-sama dalam semangat perdamaian dan tetap menghargai keunikan dan keragaman masing-masing tradisi. Karena jasanya dalam menebarkan perdamaian, toleransi, dan pluralisme, kematian Brother Roger pada tahun 2005 diratapi banyak orang. Pope Benedict XVI menyebutnya sebagai “one of the best-loved Christian leaders of our time.” Sementara Jacques Chirac menggelarinya “one of the most remarkable servants of the values of respect and tolerance,” Gerhard Schroeder menyebutnya sebagai “one of the great contemporary personalities of religious life.”

Sebagaimana Taize yang damai dan pluralis, Mopuya, sebuah dusun terpencil di kecamatan Dumoga Utara, kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara juga memiliki karakter yang kurang lebih sama: damai, toleran, dan pluralis. Desa ini dihuni penduduk dari berbagai agama: Islam, Hindu, Katolik, dan Kristen dari berbagai denominasi. Uniknya mereka membangun tempat ibadah bersama-sama, dan bahkan di desa Mopuya Selatan tempat-tempat ibadah itu dibangun dalam satu komplek. Di komplek ini terdapat Masjid Jami’ al-Muhajirin, Pure Puseh Umat Hindu, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja Pantekosta, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, dan GMIBM PGI Jemaat Immanuel Mopuya (Jawa Pos, 18 Maret 2008). Tidak sebatas itu, komunitas agama di desa ini juga saling merayakan hari-hari besar agama masing-masing dalam semangat penuh kebersamaan dan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa ini pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada waktu itu, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khusunya komunitas Mopuya.

***

Saya sengaja memaparkan kehidupan keberagamaan komunitas Taize dan Mopuya karena melihat di Indonesia khususnya masalah perdamaian dan pluralisme berbasis agama saat ini sedang dalam tahap memprihatinkan. Banyak umat beragama baik Muslim maupun non-Muslim yang salah baca dalam menilai konsep pluralisme. Kelompok keislaman tertentu di Tanah Air misalnya merasa terancam dengan paham pluralisme yang mereka baca sebagai penegasian kebenaran agama Islam. Bahkan MUI secara serampangan menyamakan pluralisme dengan “sinkretisme”—sebuah pencampur-adukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial, menurut mereka, bertentangan dengan Islam sebagai “satu-satunya jalan kebenaran.” Kelompok Kristen konservatif juga menganggap wacana pluralisme sebagai ancaman atas identitas, sendi-sendi dan nilai-nilai kekristenan yang mereka yakini kebenarannya mutlak dari Tuhan, mengancam doktrin evangelisme dan missionarisme, dll, karena itu mereka juga menyerang kelompok Kristen moderat-pluralis dan menganggap mereka telah menyeleweng dari ajaran traditional Kristen.

Kedua kelompok konservatif Kristen dan Islam ini sejauh yang saya tahu telah “salah baca” (misreading) dan salah pengertian (misunderstanding) terhadap konsep dan paham pluralisme. Profesor Diana Eck yang sedang memimpin program “Pluralism Project” dari Harvard Divinity School, memberikan penjelasan menarik mengenai pemahaman pluralisme ini. Menurutnya pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity, keragaman. Diversity, kata Eck, adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya. Sementara pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masayarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas itu. Dia memberi contoh di salah satu negara bagian AS, Maryland, tepatnya di sebuah jalan di Silver Spring terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti the Vietnamese Catholic church, the Cambodian Buddhist temple, the Ukraine Orthodox church, the Muslim Community Center, the Disciples of Christ church dan the Mongol Mandir Hindu temple. Ini adalah contoh diversity atau plurality tetapi tanpa engagement (baca, dialog intensif atau pergumulan terus-menerus) antara satu komunitas dengan lainnya, kata Eck, maka plurality itu tidak akan menjadi pluralism. Jadi kata kunci dari pluralisme adalah “pergumulan kreatif-intensif” terhadap fakta pluralitas itu. Tidak seperti plurality yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given), pluralisme adalah sebuah “prestasi” (achievement) bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan apa yang oleh Eck disebut common society.

Lebih lanjut Eck yang juga penulis buku Encountering God ini memberi empat karakteristik tentang pluralisme. Pertama, pluralisme berbeda dengan keberagaman itu sendiri melainkan (pluralisme) adalah “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman. Kedua, pluralisme tidak sekedar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference). Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi “the encounter of commitments.” Dalam paradigma baru pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti dari pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain. Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama sebab perbedaan itu adalah nature (sunatullah) yang tidak bisa diabaikan, akan tetapi perbedaan agama itu dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu. Dalam konteks ini, seorang pluralis akan memandang agama sebagai “unite factor” ketimbang “divide one.” Empat, pluralisme dibangun diatas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, take and give, criticism and self-criticism. Dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus mengungkapkan common understanding dan fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai.

Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Inilah makna ketika Alqur’an menegaskan “bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal” (Q. 49:13). Kalimat “berbangsa-bangsa” dan “bersuku-suku” adalah fakta diversity atau plurality sementara “untuk saling mengenal” (ta’aruf) adalah pemahaman tentang pluralisme tadi. Karena itu fakta pluralitas itu baru bisa dipahami jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan ruh dari pluralisme. Sementara dialog bisa dimengerti sebagai “a way of knowing or understanding.” Dalam kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih tinggi dari toleransi. Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme mengsyaratkan keduanya. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antar-agama, tetapi tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antar-agama. Sebab “budaya toleransi” (culture of tolerance) ini masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.

***

Dalam banyak hal hubungan inter dan antar-agama di Indonesia dan dimanapun saat ini masih berada pada level toleransi ini belum sampai ke tahap pluralisme. Karena itu dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan dan kesalahpahaman antar dan inter umat beragama baik di tingkat elit lebih-lebih di level akar rumput. Program-program seperti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta serta Indonesian Consortium for Religious Studies yang didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Yogyakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di negeri ini juga perlu ada mata pelajaran cross-cultural or religious understanding yang melibatkan non-Muslim dalam proses pengajaran. Demikian juga perguruan tinggi-perguruan tinggi non-Islam perlu melibatkan para sarjana Muslim dalam proses pengajaran. Keterbukaan menjadi kata kunci sekaligus pra syarat religious encounter yang sehat dan dinamis serta jalan terciptanya perdamaian global antar umat beragama.

Di tingkat akar rumput, komunitas ekumeni Taize dan kelompok agama Mopuya juga bisa dijadikan contoh baik bagaimana agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak perdamaian, persatuan, toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor kekerasan, perpecahan, dan anti-pluralisme sebagaimana dilakukan kelompok konservatif dan fundamentalis agama. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, aplikasi paham pluralisme seperti dipaparkan dengan baik oleh Eck dan dipraktekkan dengan tulus oleh masyarakat Taize dan Mopuya adalah wajib ain hukumnya dan menjadi tanggung jawab masing-masing umat beragama.***

Source: Jawa Pos, 27-28 Mei, 2008, cek juga di http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/743/52/

Author: Sumanto Al Qurtuby
•11:05 AM

Rekonstruksi Sejarah Masuknya Islam ke Jawa



Oleh Muhammad Husnil

Eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture.

Judul buku: Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam Di Nusantara Abad XV&XVI

Penulis: Sumanto Al Qurtuby

Penerbit: INSPEAL dan INTI

Cetakan: II (edisi revisi), Nopember 2003

Tebal: 311 halaman + indeks

Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).

Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.

Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak --terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Nah, pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia mendapati bahwa pada nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun.

Dengan ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis Cina mendapatkan perlakukan yang proposional dari pihak pribumi, khususnya warga muslim. Sikap ramah perlu mereka tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sikap terhadap warga negara Indonesia asli keturunan Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi sepanjang sejarah dan saat ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai komunitas etnis, di mata masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung unsur peyoratif seperti kikir, eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu. Inilah sebagian pandangan yang diwariskan pihak Belanda kepada masyarakat Jawa di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan hegemoninya di negeri ini. Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari hubungan harmonis yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai menjajah Indonesia. Demi melihat itu semua, kontan Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, Jendral Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada bulan oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-Cina. Ini belum lagi ditambahkan berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina pada umumnya.

Tidak hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun “gettho-gettho” berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Kedua kebijakan tersebut bermaksud agar mereka mudah diawasi dan dikontrol. Inilah salah satu bentuk politik rasialisme anti-Cina pertama di Jawa, yang lambat laun menciptakan status “in-group” dan “out-group” dalam lapisan masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi Cina dengan pribumi.

Namun argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi etnis Cina --baik muslim maupun non muslim-- untuk meminta penghargaan atas kontribusi nenek moyang mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan yang layak tanpa memperbaiki sikap dengan cara menunjukkan iktikad baik dalam bersosialisasi dengan pribumi. Yang seharusnya terjadi di antara etnis Cina --muslim dan non muslim-- dengan pribumi adalah simbiosis mutualisme.

Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa, umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal (local tradition).

Daerah yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa. Satu hal yang membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini dengan Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Objek kajian yang diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor waktu yang diteliti oleh keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua tidak mengurangi nilai penting buku ini sebagai sebuah dokumen analisis sejarah. Buku ini mencoba memotret lebih jauh peranan yang dimainkan etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi Jawa pada bentangan abad XV dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan mengungkap sisi sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali. Semoga saja!

*** Mahasiswa program internasional Mesir-Indonesia Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf redaksi jurnal DIALOGIA, Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI cabang Ciputat.
Author: Sumanto Al Qurtuby
•12:15 PM

Baik Buruk Agama: Jalan Menuju Dialog


Oleh Sumanto Al Qurtuby

The most fanatical and cruelest political struggles are those that have been colored, inspired, and legitimized by religion,” demikian kata Hans Kung, Presiden Stiftung Weltethos (the Foundation for a Global Ethics), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk membangun dialog antar agama dan perdamaian global, dalam salah satu karyanya Christianity and the World Religion (1986, 442). Mungkin Hans Kung terlalu berlebihan ketika merumuskan agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan. Rasisme, ethnocentrism, dan ideology adalah dua anak kandung zaman yang kita tahu juga menjadi factor penting dalam proses penciptaan “sejarah kegelapan” yang menelan jutaan korban manusia.

Tetapi Hans Kung yang juga professor ecumenical theology di Universitas Tubingen, Jerman ini jelas tidak sedang berilusi ketika menyatakan agama sebagai “the most fanatical and cruelest struggles.” Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan bahwa agama menjadi elemen penting dalam munculnya konflik-konflik kekerasan komunal di tingkat internasional dewasa ini mulai Irlandia Utara, Arab, Timur Tengah, Balkan, Sudan, Afghanistan, India, Bangladesh, sampai Indonesia. Fakta “perang agama” ini belum termasuk countless data mengenai aksi-aksi vandalisme, terorisme, kerusuhan, penghinaan, pengrusakan, dan lain-lain seperti yang secara rutin dilakukan oleh anggota Front Pembela Islam (FPI) (juga Komando Laskar Islam). Juga data ini belum termasuk sejarah gelap “perang agama” yang terjadi dalam tradisi Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama besar lain.

Ahli Islam dan Timur Tengah, Mark Juergensmeyer dalam salah satu karyanya, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence telah mendokumentasikan dengan baik data-data kerusuhan kontemporer yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh “agama-agama dunia,” untuk meminjam istilah Max Weber, mulai Islam, Protentan, Katolik, Yahudi, Buddha, Hindu, Sikh, dll. Agama bisa menjadi mesin pembunuh dan pengrusak yang sadis, kata Juergensmeyer, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin, slogan, jargon, simbol, adat-istiadat, dlsb yang mampu mengilhami, mendorong, dan menggerakkan para pelaku agama untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan yang kejam dan brutal, meskipun, ironisnya, para pelaku kriminalitas itu sendiri menganggapnya sebagai “perbuatan mulia” yang berpahala dengan ganjaran surga.

Kasus-kasus kekerasan dan kerusuhan (berbasis) agama yang dilakukan beberapa organisasi Islam militan di Indonesia adalah salah satu contoh nyata bagaimana wacana dan ajaran keagamaan serta simbol-simbol keislaman telah “dieksploitasi” oleh para “oknum” Muslim untuk dijadikan sebagai “legitimasi teologis” guna melibas individu dan kelompok agama yang mereka anggap sesat, kafir, jahil, dlsb. Agama memang tidak memiliki tulang sehingga bisa dibolak-balik oleh para pelaku agama. Inilah yang saya maksud sebagai sisi buruk agama.

***

Tetapi harap juga dicatat bahwa selain agama memiliki “sisi buruk” atau “dimensi negatif” yang bisa mengispirasi lahirnya tindakan kejahatan dan kekerasan seperti yang saya paparkan di atas, agama juga memuat aspek-aspek baik dan positif yang bisa dijadikan sebagai “common ground” dan “fondasi teologis” untuk membangun hubungan antar dan intra agama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas, dan manusiawi yang penuh dengan semangat toleransi dan pluralisme seperti yang dengan tepat dikemukakan Richard Solomon, presiden the United States Institute of Peace: ”while religion can and does contribute to violent conflict, it also can be powerful factor in the struggle for peace and reconciliation” (Smock, ed. 2002: viii).

Pernyataan ini sekedar untuk menegaskan watak “ambiguitas” sebuah agama atau apa yang oleh sejarawan Scott Appleby disebut “the ambivalence of the sacred.” Satu sisi agama bisa dijadikan sebagai sumber kekerasan, perang, kerusuhan, kebencian, permusuhan dst tetapi pada saat yang sama ia bisa dijadikan sebagai medium untuk menggerakkan perdamaian, cinta-kasih, harmoni, dan aksi-aksi kemanusiaan yang mulia. Agama bisa berperang sebagai “faktor pembelah” (divide factor) yang mengerikan seperti dalam beberapa kasus tragis dewasa ini yang terjadi di Palestine, Israel, Sudan, Kashmir, Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo, Nigeria, dan masih banyak lagi, tetapi juga bisa berfungsi sebagai “elemen pemersatu” (unite element) yang powerful atas kelompok-kelompok agama yang terbelah dan tercerai-berai akibat perang dan kekerasan seperti yang dilakukan dengan tulus oleh Demond Tutu di Afrika Selatan, Mohandas Ghandi di India, Badsyah Khan di Pakistan, Abuna Elias Chacour di Israel dan Palestine, William Lowrey di Sudan, Roy Magee di Irlandia Utara, Father Sava Janjic di Kosovo, Imam Muhammad Ashafa di Nigeria, dlsb.

Agama bisa melahirkan tindakan kemanusiaan yang positif karena ia bisa menjadi “sumber makna” dan kebijakan (a source of meaning and wisdom). Agama menanamkan pada para pemeluknya apa yang oleh anthropolog Clifford Geertz disebut “vitalitas moral” yang hadir karena manusia (para pemeluk agama) yakin dan komitmen pada esensi “Realitas yang fundamental.” Keyakinan pada “Realitas yang fundamental” inilah yang menjadikan agama bisa menjadi “sumber makna” bagi pemeluknya yang pada gilirannya mampu menjadi kekuatan penggerak aksi-aksi kemanusiaan yang berbudaya dan beradab. Selain itu, agama juga berisi ajaran, doktrin, teks, dan simbol-simbol yang positif dan mencerahkan yang bisa dijadikan sebagai “common values” dan basis untuk membangun dialog peradaban antar kemanusiaan yang kondusif dan prospektif.

***

Ini penting saya tekankan mengingat relasi antar agama di Indonesia sedang dalam kondisi “sakit-sakitan” sementara format “dialog” antar dan intra agama tidak menunjukkan perubahan berarti. Masing-masing kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: “moderat-progresif” dan “militan-konservatif.” Dua kelompok agama ini berjalan dalam rel mereka sendiri dan dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Masing-masing kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut “dialog agama” dalam pengertian yang sesungguhnya dengan melibatkan “the others” atau “out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interes, dan tujuan.

Ke depan, para aktor agama baik di nasional maupun lokal perlu merumuskan desain “dialog agama” yang konstruktif dan produktif. Kata dialog dalam konteks ini bukan “face-to-face conversations” dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik yang formal, melainkan kata ini merujuk pada “proses komunikasi yang terus-menerus” untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup “komunitas lain” (outsiders). Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik antara komunitas agama yang berbeda atau dalam satu agama tetapi berbeda mazhab pemikiran) adalah simpel: masing-masing individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah se-simpel seperti dibayangkan karena syarat dari sebuah “dialog agama”—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antar-agama dari Temple University—adalah masing-masing partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen untuk belajar dan memahami perspektif kelompok lain.

Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan “yang lain” bukan kesuksesan argumen melawan yang lain seperti dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strenghts yang bisa dijadikan sebagai “pedoman bersama” atau “solusi bersama” untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan masing-masing kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat. Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus masing-masing individu/kelompok agama untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik yang terjadi di antara mereka. Materi dalam dialog tidak hanya hanya mengungkap persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) masing-masing kelompok agama baik menyangkut nilai, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh dalam loci dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber kekerasan dan pertikaian.

Perlu juga diketahui bahwa dialog bukan hanya terbatas pada percakapan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antar kelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, kelaparan, bencana alam, pengungsian, dlsb. Model “dialog agama” ini oleh Mohamed Abu-Nimer disebut sebagai “humanity model” atau “practice model” dalam istilah Leo Swidler. Banyak “dialog agama” jenis ini yang mampu mengtransformasi para pengikut agama yang semula sangat “keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan” kemudian menjadi “lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan yang mereka tempuh hanyalah membuahkan malapetaka dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dan menantang “dialog agama untuk kemanusiaan” yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof. David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.

***

Meskipun “dialog agama” dalam kerangka seperti di atas itu perlu apalagi dalam konteks hubungan antar dan intra-agama yang rapuh di Indonesia dewasa ini, ini bukan berarti negara boleh membiarkan/melepaskan para pelaku kekerasan dan kerusuhan atas nama agama seperti dilakukan, al, oleh FPI dan kelompok agama sejenis. Tindakan hukum tetap harus dilakukan pada para pelaku kerusuhan dan kriminalitas untuk menjaga wibawa dan stabilitas bangsa serta menegakkan konstitusi negara yang melindungi kebebasan beragama. Negara tidak boleh tunduk pada premanisme sipil, dan memang menjadi tugas negara untuk memberantas kekerasan dan kejahatan sipil. Janganlah perbuatan kekerasan sipil kemudian dibalas dengan kekerasan sipil karena ini hanya akan melahirkan “lingkaran setan” kekerasan yang berpotensi menciptakan konflik horizontal, dan lebih ekstrem lagi adalah “civil wars” yang hanya akan merugikan rakyat sendiri. Dialog agama dalam perspektif ini hanyalah “medium budaya”—bukan alat politik—untuk membangun hubungan jangka panjang antar pemeluk agama yang dilandasi semangat saling memahami dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing umat beragama.***