Author: Sumanto Al Qurtuby
•7:29 PM
NU Amerika Kecam Penyerangan Israel Terhadap Relawan di Gaza
SELASA, 01 JUNI 2010 | 12:06 WIB


TEMPO Interaktif, Semarang: Komunitas Nahdaltul Ulama Amerika dan Kanada mengecam penyerangan yang dilakukan tentara Israel terhadap kapal Mavi Marmara yang berisi para aktivis kemanusiaan untuk Gaza. Penyerangan terhadap kelompok sipil yang tengah membantu aksi-aksi kemanusiaan tidak bisa dibenarkan dalam situasi apa pun. "Kami mengecam penyerangan itu," kata Sekretaris Jenderal Komunitas NU Amerika dan Kanada Sumanto Al-Qurtuby, siang ini.

Alumnus Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Negeri Semarang ini menyatakan prihatin atas penyerangan itu. Dia mengecam Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu yang menyatakan serangan itu hanya bentuk pertahanan dan defensif tentara Israel. "Netanyahu berbohong," kata dia.

Menurut Kandidat Doktor di Bidang Antropologi Politik dan Agama, Boston University, Amerika Serikat ini, para relawan tidak akan membawa senjata dalam misi kemanusiaan. Dalih seperti itu selalu dilakukan oleh Israel untuk menghalalkan serangan-serangan kepada negara Paletsina.

Sumanto mengingatkan bahwa persoalan Israel versus Palestina bukanlah persoalan agama melainkan murni persoalan kebangsaan. Sebab, kata dia, di Palestina ada warga Yahudi sedangkan di Israel juga ada kelompok muslim. "Muslim di Israel ada sekitar 20 persen," kata dia.

Konflik perebutan wilayah antara Israel dengan Palestina ini sebenarnya hanya melibatkan dua kubu yakni kubu garis keras Yahudi versus vs kubu keras di Palestina. Sumanto menolak jika ada yang menyatakan bahwa peperangan di Palestina adalah konflik antara muslim dan Yahudi. "Image begitu. Tapi itu tidak betul. Hanya dimanipulasi kelompok politik agama tertentu," kata Sumanto.

Beberapa hari lalu, sekitar 500 relawan dari 30 negara bergerak ke Palestina menggunakan kapal Mavi Marmara. Mereka akan menjalankan misi kemanusiaan di Gaza. Namun perjalanan mereka dhadang tentara Israel. Bahkan tentara menyerang kapal itu. Sejumlah orang terluka dan beberapa diantaranya tewas.

ROFIUDDIN

http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/06/01/brk,20100601-251758,id.html
Author: Sumanto Al Qurtuby
•2:06 PM
Wawancara

Umat Islam selalu identik dengan kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan yang dibentuk oleh “budaya” Islam dan masyarakat Muslim itu sendiri yang anti-kemajuan. Masalah kemiskinan yang melanda kawasan Islam dan kaum Muslim ini bukan semata-mata masalah “kultural”, tetapi juga problem “struktural” (misalnya menyangkut “kebijakan ekonomi”) di masing-masing negara yang berbasis umat Islam. Kalau kita kaitkan dengan jihad, bagaimana kita mesti memaknai jihad yang relevan untuk mengatasi masalah tersebut? Berikut perbincangan Reporter Center for Moderate Muslim Indonesia bersama Sumanto Al Qurtuby, Sekretaris Jenderal Komunitas Nahdhatul Ulama di Amerika Serikat dan Kanada, dan kandidat Ph.D. di Boston University:



“Pahami Jihad Secara Konstruktif”


Selain sebagai penganut agama mayoritas, umat Islam juga mayoritas dilanda kemiskinan, mengapa terjadi demikian?

Kemiskinan merupakan produk atau akumulasi dari banyak faktor tidak bisa dijelaskan dari satu sudut pandang saja. Kemiskinan juga bukan “monopoli” umat Islam saja. Ia terjadi dimana-mana: dari Afrika Utara yang mayoritas Muslim sampai Amerika Selatan yang didominasi Kristen (Katolik). Ia juga menimpa sebagian besar umat manusia di planet bumi ini, baik yang beragama maupun tidak beragama. Penjelasan ini penting karena ada sebagian orang, termasuk para sarjana, baik di Barat maupun Timur, yang berasumsi bahwa kemiskinan merupakan “hak paten” kaum Muslim saja.

Bagi sebagian sarjana Barat yang dipengaruhi teori-teori modernisasi sejak tahun 1950an, umat Islam merupakan identik dengan kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan yang dibentuk oleh “budaya” Islam dan masyarakat Muslim itu sendiri yang anti-kemajuan. Para sarjana ini sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Max Weber ((1864-1920) yang menempatkan “dunia Timur” (termasuk China yang Konfusius, India yang Hindu, dan juga umat Islam) sebagai dunia yang tidak bisa maju karena “watak kulturalnya” yang “unworldly,” kontras dengan dunia Barat, khususnya negara-negara yang dipengaruhi tradisi Protestan yang sangat “worldly.” Lebih lanjut Weber menjelaskan bahwa kemajuan ekonomi dan kemakmuran negara-negara Eropa Barat ini adalah produk dari “kapitalisme modern,” yang tumbuh karena adanya semacam “capitalist ethos.” Nah “etos kapitalis” ini muncul ke permukaan karena didorong oleh doktrin dan etika agama Protestantism (khususnya Calvinism) yang menekankan pada aspek “worldliness” tadi.

Sementara itu di “dunia Timur,” masih menurut Weber dalam beberapa karyanya seperti The Religion of China atau The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, kapitalisme modern yang merupakan akar kemajuan ekonomi tidak bisa tumbuh karena di kawasan ini tidak ada agama yang “amenable to capitalist development” karena wataknya yang asketis, hirarkhis, dan unearthly. Karakteristik agama-agama Timur (Buddhism, Hinduism, Taoism, Confucianism, Islam) inilah yang oleh Weber dipandang sebagai penghalang munculnya spirit kapitalisme modern di negara-negara non-Eropa. Oleh karena watak agama, kultural, dan peradaban non-Eropa yang berbeda dengan Eropa inilah, maka “Protestant ethics” dan “capitalist ethos” hanya menjadi pengalaman unik dan eksklusif Eropa (dan negara-negara yang didominasi Protestan seperti Amerika Serikat) yang tidak pernah travel ke masyarakat non-Eropa (dan non-Protestant).

Meskipun pendapat dan prediksi Weber ini tidak 100% keliru tapi banyak yang meleset, dan karena itu sudah banyak ilmuwan sosial di abad ke-20 yang mengkritik teori-teori klasik Weber ini, antara lain yang paling menonjol adalah Robert Bellah (UC Berkeley), Stanley Tambiah (Harvard University), dan Peter Berger (Boston University). Prof. Berger misalnya suatu saat menyindir Weber dengan mengatakan, “I have imagined a number of times that the good German professor (Max Weber) would come back to life today, say on top of a high-rise office building in downtown Taipie, that he would take one look out the window and say, “Well, I was wrong!” (Berger 1988: 7). Taiwan, China, Hong Kong, Korea, Jepang, Singapore, bahkan India saat ini yang ekonominya melambung menjadi “saksi bisu” bahwa tesis Weber di atas melenceng. Spirit “kapitalisme modern” atau “etos kapitalis” ternyata juga tumbuh subur di negara-negara dan komunitas berbasis non-Protestan, termasuk kaum Muslim. Untuk konteks Islam Indonesia, Muhammadiyah adalah salah satu contoh terbaik tentang komunitas Muslim yang mampu mengawinkan “etika dan doktrin agama” (Islam) dengan “etos/spirit kapitalisme” tadi yang oleh anthropolog Stanley Tambiah (1973: 17) didefinisikan sebagai “rational economic activity.”

Karena itu saya cenderung berpendapat bahwa masalah kemiskinan yang melanda kawasan Islam dan kaum Muslim ini bukan semata-mata masalah “kultural” seperti yang diuraikan Weber tetapi juga problem “struktural” (misalnya menyangkut “economic policy”) di masing-masing negara yang berbasis umat Islam. Problem kemiskinan di Libya yang sosialis, misalnya, tentu akan berbeda dengan Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Iran, Iraq, Afrika Utara, dan seterusnya. Kita tidak bisa, orang Jawa bilang, “menggebyah uyah” soal akar-akar kemiskinan kaum Muslim ini.


Bagaimana penilaian Anda terhadap kebijakan pemerintah mengenai pembangunan ekonomi masyarakat?

Maaf saya bukan ekonom jadi tidak bisa menilai baik-buruk atau mengukur sukses-tidaknya kebijakan pemerintah kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Tetapi secara umum, terlepas dari masalah masih banyaknya angka kemiskinan dan pengangguran, saya melihat ada perkembangan dan kemajuan cukup signifikan di bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Sewaktu Pak Alwi Shihab berkunjung ke AS, kami dari Komunitas NU AS-Kanada mengadakan tele-conference dengan beliau menyangkut, antara lain, masalah perkembangan ekonomi Indonesia. Sebagai Utusan Khusus (special envoy) Pemerintah RI untuk urusan negara-negara Arab dan Timur Tengah khususnya di bidang kerja sama ekonomi (economic cooperations), tugas Pak Alwi antara lain melakukan lobi-lobi kepada sejumlah pemerintah dan pengusaha di Arab dan Timur Tengah untuk melakukan kerja-sama ekonomi dan investasi di Indonesia, dan menurut beliau hasilnya cukup bagus. Menurut beliau respons dan minat pemerintah dan sektor swasta negara-negara di Timur Tengah untuk membangun kerja sama ekonomi dengan Indonesia cukup tinggi. Pak Alwi menjelaskan sudah ada dua bank Timur Tengah yang sudah membuka cabang di Indonesia, dan akan segera menyusul dua bank lagi. Para pengusaha Timur Tengah juga beinvestasi untuk sektor turisme di Lombok, agro industri di Fak Fak Papua, infrastruktur properti di Sulawesi, Kalimantan, dan sebagainya. Sayangnya menurut beliau, para birokrat Indonesia sangat lamban dalam merespons minat berinvestasi para pengusaha Arab dan Timur Tengah ini. Memang tidak ada “resep jitu” untuk membangun ekonomi sebuah negara. Baik sosialisme maupun kapitalisme memiliki nilai plus-minusnya. Karena itu semua membutuhkan proses panjang untuk bisa mencapai kemajuan.

Beberapa kalangan menggagas “ekonomi kerakyatan”, apa bagaimana sebetulnya gagasan itu?

Sekali lagi saya bukan ekonom jadi bukan wilayah saya untuk membahas secara detail dan akademis tentang gagasan “ekonomi kerakyatan” ini. Sebagai orang awam saya hanya bisa bilang bahwa kebijakan ekonomi memang harus bertumpu pada kebutuhan rakyat banyak. Karena profesi rakyat kita beragam mulai petani, nelayan, buruh, pedagang dan lain-lain, maka tugas pemerintahlah untuk mapping kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) rakyat yang beraneka ragam tadi sehingga diharapkan kebijakan negara/pemerintah bisa “tepat sasaran” dalam pengertian menyentuh kebutuhan “rakyat banyak” tadi, jangan sampai hanya menguntungkan satu kelompok tertentu atau bahkan segelintir orang saja.


Dari sisi ajaran Islam, bagaimana Islam mengatur soal pembangunan ekonomi umat?

Satu hal yang sangat mendasar, sejauh yang saya pahami, Islam tidak mengatur atau merekomendasikan sebuah sistem ekonomi tertentu. Islam hanya memuat “nilai” bukan sistem. Karena itu kita lihat negara-negara yang didominasi umat Islam seperti Iran, Lybia, Turki, Arab Saudi, Mesir, Indonesia, dan seterusnya memiliki “sistem ekonomi” yang beragam. Nilai-nilai yang ditekankan Islam adalah “keadilan” dan “egalitarianisme.” Ini misalnya tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat tujuh dimana Allah SWT melarang terjadinya akumulasi kapital atau perputaran modal pada segelintir orang saja. Kiai Masdar F. Mas’udi pernah mengulas masalah komitmen Islam pada nilai-nilai keadilan universal dan egalitarianisme tadi dengan sangat baik dan bernas dalam buku klasiknya, Agama Keadilan. Karena itu saya merekomendasikan buku ini untuk dijadikan sebagai “landasan teoretik” bagi siapa saja yang ingin melihat perspektif Islam tentang pembangunan ekonomi khususnya dan masalah-masalah politik secara umum.

Kita tahu di antara missi Nabi Muhammad SAW yang merupakan pewaris Dinasti Quraisy yang didirikan Qushayi bin Kilab pada tahun 480 M adalah untuk menyelamatkan rakyat kecil yang tertindas oleh gempuran sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif. Pada waktu itu, sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir kapitalis yang mempunyai modal (capital), sementara rakyat banyak tetap hidup dalam penderitaan. Di tengah kultur Arab yang arogan dan penuh dengan ketidakadilan sosial, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi suku dan gender, pemupukan kapital, pemusatan kekuasaan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada struktur sosio-ekonomi bangsa Arab yang menindas kala itu, Nabi Muhammad hadir dengan sejumlah gagasan cemerlang, egaliter, dan reformatif. Kehadiran Muhammad dengan missi Islam-nya adalah untuk membebaskan manusia, istilah Al-Qur’an, dari “kegelapan” (zulumat) menuju “cahaya” (nur): dari sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif dan menindas menuju sebuah sistem yang berkeadilan sosial. Inilah, antara lain, yang menjadi missi Islam sebagaimana tersirat dalam QS al-A’raf: 157 dan QS al-Hasyr: 7. Karena itulah jika ada kelompok umat Islam di dunia modern ini hendak membangun “sistem kelas” yang hirarkis atau sistem ekonomi yang tidak adil, maka berlawanan dengan ruh atau spirit ajaran Islam ini.



Jihad yang bagaimana yang sesuai dengan kondisi dan situasi kaum Muslim saat ini?

Menurut saya jihad saat ini harus dipahami secara lebih luas, konstruktif, dan kontekstual untuk mengatasi problem-problem mendasar umat Islam dewasa ini mulai dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan seterusnya. Apa yang dilakukan oleh peraih nobel perdamaian tahun 2006 dari Bangladesh, Muhammad Yunus, yang telah membantu mengatasi masalah kemiskinan dan problem ekonomi jutaan rakyat Bangladesh dan negara-negara lain melalui Grameen Bank-nya adalah salah satu bentuk jihad yang perlu diteladani oleh tokoh dan kaum Muslim lain. Tokoh Muslim yang dijuluki Banker to the Poor ini percaya bahwa pengentaskan kemiskinan adalah salah satu cara efektif untuk menciptakan perdamaian di muka bumi. Demikian juga apa yang dilakukan oleh Abdul Sattar Edhi melalui “Edhi Foundation” di Pakistan yang membantu mengentaskan masalah kemiskinan dan problem keumatan lain baik di Pakistan maupun di negara-negara lain adalah contoh lain dari implementasi jihad yang positif dan membangun.

Apa yang mesti dilakukan oleh partai atau ormas-ormas Islam dalam upaya memberdayakan perekonomian umat?

Sudah semestinya partai atau ormas berbasis Muslim khususnya untuk berkerja sama dalam rangka memperjuangkan umat Islam yang masih tertinggal termasuk di bidang ekonomi, jangan hanya berkelai sendiri-sendiri dengan mengatasnamakan kaum Muslim tertentu, ideologi tertentu, mazhab tertentu, dan seterusnya. Semangat “aliranisasi” harus diminimalisir untuk kemudian fokus pada kepentingan dan kebutuhan rakyat secara luas.

Jika perekonomian umat stabil, apakah itu mendukung berkurangnya tindak kekerasan yang selama ini lebih banyak kaitannya dengan persoalan ekonomi?

Faktor kemiskinan memang ada dalam tindakan konflik dan kekerasan, tapi ini hanya “peripheral issue” saja. Banyak rakyat dan kawasan miskin tapi tidak terjadi tindakan kekerasan. Menganggap kemiskinan sebagai penyebab kekerasan (violence) sama saja dengan mengkambinghitamkan rakyat kecil yang dalam banyak hal justru sering menjadi korban permainan kelompok-kelompok tertentu baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal. Kekerasan, seperti kemiskinan itu sendiri, adalah masalah yang sangat kompleks. Kekerasan tidak hanya terjadi di daerah kumuh tapi juga di kawasan elit. Jadi tidak ada jaminan bahwa kestabilan ekonomi akan berdampak pada terciptanya masayarakat yang peaceful dan non-violent. Meski begitu, kesejahteraan rakyat tentu saja akan berdampak positif dan menjadi salah satu “ingredient” bagi social stability. []


Boston, 13 May, 2009

Sumber: www.cmm.or.id
Author: Sumanto Al Qurtuby
•8:00 PM

Strengthening the Pacifist Islam


Pacifism (Latin: pacificus) is the opposition to war or violence as a means of settling disputes (Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 845). This term refers to the notion and movement of nonviolent resistance against tyranny, despotism, and authoritarianism of the rulers –either political or religious ones. Unlike the radicals who choose violence, the pacifists preferred peaceful action. However, pacifism is not identical with quietism as accused by the anti-pacifism group.

Their opponents ridiculed pacifism as “passivism”, passive attitude against injustice. They accused the pacifists of prioritizing peace and subordinating justice. These accusations from the radicals and proponents of war were unjustified, biased, and a “misreading” upon the basic meaning of pacifism.

A thinker and advocate of pacifism, Gene Sharp -a senior scholar in Albert Einstein Institution in Boston- has clarified about the nonviolent notion and movement in his book, The Politics of Nonviolent Action. Pacifism does not mean passivity or submission toward injustice and any arbitrary actions. Pacifism does not neglect justice.

The pacifists were aware that justice is an important element of peace. Peace cannot be achieved or is hard to achieve without the settlement of justice. Peace is not only indicated by the absence of war, but by the existence of justice as well. Therefore, this group works in two levels - peace and justice- and in what the Thailand Muslim peace activist, Chaiwat Satha-Anand (Quader Muheideen), has called as “active nonviolent resistance”.

Anti-War Movement and Violence

The Pacifists resisted against war, imperialism, colonialism, militarism, and the use of violence. In US, coalition of the pacifists of various religious backgrounds becomes important elements of the opposition against George Bush’s ‘war on terror’ agenda. The element of this group, like Christian Peacemakers, coordinated anti war movement throughout demonstrations, petition, lobby, and anti war messages in TV, radio etc.

In Christianity, pacifism is firmly rooted in the figure of Jesus who was anti-violence and commanded his followers to love their enemies and pray for those who persecute them. Thus resistance against violence, as John Howard Yoder said, is an “intrinsic element of Christian profession” (Zimmerman 2007, 16).

Christian pacifists believe that any Christian who participate or endorse any action that promotes conflict and violence (including war) is a fundamental corruptor of Christian theology. They harshly criticized Bush and the proponents of war (mainly the conservative Christian church).

The tradition of Pacifism is also firmly rooted in Judaism. The rabbinic texts for instance mentioned about “Gadol hashalom” –peace is the highest value. Hebrew Bible also consisted of principles of peace, justice, and anti-violence (for instance Jer. 16:5, Ps 85.11). These principles inspired Jewish pacifist like Rabi Jeremy Milgrom, the founder of Clergy for Peace, an ex-Israeli soldier who now engages in peace movement and human right bodies supporting the Arab-Jews reconciliation.

Hence, the tradition of pacifism in both religions was strongly embedded within their theological concepts. The pacifists of both religions, along with Muslim pacifists who were endorsed by the spirit of anti-war and love of peace, work together for peace making such as Seeds of Peace organization in Palestine and Israel. They were aware that violence in the Middle East contained of political-economical incentive rather than religious one. In many cases, religion is a “free rider” of conflict.

Pacifism in Islam

Like Judaism and Christianity, Islam is conceptually close to the tradition of pacifism. Quran emphasized the teaching of peace and justice. The word “Islam” in The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic means “submission, acceptance and reconciliation” (upon God’s will) besides “peace, salvation, safety, welfare, etc” (Cowan, ed., 1976: 425-426).

Peace is very essential in Islam since it is embedded within the doctrine of tawheed which means “unity of Godhead”, “unity of humanity”, “unity of creation” and “unity of existence or wahdatul wujud”. Quran asserted: “Unto Allah belong the East and the West” (Q.S. 2:115). Tawheed is the “principle of unity” and therefore a fertile land for the growth of spirituality and Islamic faith.

Because of this principle of “unity”, Islam regards plurality, harmony, tolerance, and human relation as the fundamental values of peace. The principle of “unity” also asserted that human soul is “sacred” and therefore must be preserved by all mankind. Quran said: “…that whosoever killed a human being for other than manslaughter or corruption in the earth, it shall be as if he had killed all mankind, and whoso saved the life of one, it shall be as if he had saved the life of all mankind.” (QS. 5:32)

Prophet Muhammad was totally aware of the importance of peace thus he had been holding dialog and building sound relationship with Jewish and Christians throughout his life as narrated in his biographies written by Ibn Ishaq, Ibnu Hisyam, al-Baladhuri, or al-Tabari. In A History of Jews of Arabia, Gordon Newby affirmed the harmonious relationship between Prophet with Jewish community.

Probably, the most monumental event is the Mecca Invasion when the Prophet called his enemies for peace and reconciliation. On the “occupation” of Mecca, the Prophet forbade destruction of Jewish and Christian symbols, as narrated by Martin Lings in Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Following the death of Prophet Muhammad, Muslims continued to treat the members of other religions with tolerance and respect as written by Nabia Abbot in Studies in Arabic Literary Papyri.

As “Muslim big family”, we have to turn to prophet Muhammad for inspiration and realize the messages of tawheed in daily life, instead of being anti non-Muslim or anti pluralism by violence act, destruction, vandalism, terrorism etc. This is an “immoral situation” as Seikh Mahmud Syaltut called it and a deviation over the Islamic spirit as religion of peace.


Source: http://islamlib.com/en/article/strengthening-the-pacifist-islam/


Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:33 AM
Pesantren Sebagai Agen “Civic Pluralism”

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Jamak diketahui bahwa Indonesia adalah negara plural yang dihuni oleh manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, dan agama. Karena watak Indonesia yang majemuk inilah, Robert W. Hefner, profesor saya di Boston University, menyebutnya sebagai negara yang kaya akan “pluralist endowments” (Hefner 2005: 122). Dari perspektif sosiologis, realitas bangsa Indonesia yang beragam ini bukan sesuatu yang “given” atau sunatullah dalam bahasa kaum santri, tetapi merupakan buah dari proses sosial-budaya yang sangat panjang yang melibatkan berbagai agen atau aktor sejarah dari berbagai suku-bangsa.

Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya yang mendapat sambutan luas dunia akademik, Southeast Asia in the Age of Commerce (dua jilid) mengatakan bahwa interaksi manusia dari berbagai latar belakang agama dan budaya di Indonesia itu sudah berlangsung ribuan tahun jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya di Palembang atau Kerajaan Majapahit di Jawa Timur berdiri. Sudah sekian lamanya, kepulauan Indonesia menjadi, meminjam istilah almarhum Denys Lombard, “carrefour” atau “persimpangan jalan” (crossroads) beragam manusia dari berbagai negara dan bangsa mulai China, Arab, Persia, Mesir, India, Bengali dan seterusnya. Para turis, pedagang, atau bahkan misionaris baik dari “luar negeri” maupun “dalam negeri” sudah terbiasa singgah di pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara yang membentang dari Aceh sampai Maluku.

Karena peran “Nusantara” sebagai carrefour aneka manusia, negeri ini mampu mengembangkan, dalam kalimat Hefner yang meminjam kata-kata Lombard, “a tradition of ethnic hybridity within civilizational commonality to go with the great cultural flow.” Lebih lanjut, proses perjumpaan manusia lintas-budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun ini kemudian menghasilkan corak kebudayaan bangsa Indonesia yang warna-warni (colorful), pluralistik, dan “fuzzy.” Harap kata “kebudayaan” (culture) disini tidak hanya dimaknai sebagai artifak saja tetapi juga “socially distributed knowledge and habits.”

Karena telah terjadi proses “peleburan” demikian lama, agak sulit untuk mencari sesuatu yang “pristine” dari tradisi dan kebudayaan tertentu di Tanah Air. Jenis lembaga dan tradisi keagamaan tertentu yang selama ini diklaim asli “pribumi” dan “unik” (baca, hanya ada di Indonesia) ternyata dijumpai juga di negara-negara lain. Sebut saja model pesantren beserta santrinya. Sebagian sarjana, seperti de Graaf dan Pigeaud, tradisi pesantren berakar kuat pada sistem mandala dan ashrama Hindu pra-Islam. Sementara itu, van Bruinessen menyatakan bahwa sistem pesantren seperti terlihat saat ini adalah umum dijumpai di Mesir dan Mekkah (khususnya model Sawlatiyya dan Darul Islam).

Demikian juga karakteristik dan praktek kaum Muslim “abangan” di Jawa yang ditandai dengan (1) pemujaan terhadap leluhur atau danyang; (2) kepercayaan atas roh dan mahluk halus melalui sacrificial meals sebagai bentuk utama ritual; serta (3) aneka mistisisme yang menekankan kesatuan kekal Tuhan dan manusia, bisa dijumpai di Mesir seperti ditunjukkan dalam buku klasik karya antropolog budaya William Lane, Manners and Customs of the Modern Egyptians (terbit pertama tahun 1836). Karena didorong ingin mendalami lebih jauh kultur masyarakat Mesir yang didominasi oleh etnik Arab ini, Lane kemudian belajar bahasa Arab dan mengadopsi “gaya hidup” Arab. Ia kemudian menerapkan sejenis “participant observation” yang menjadi ciri penelitian antropologis dengan hidup dan bergaul bersama orang-orang Mesir.

Setelah meneliti cukup lama, hasilnya sangat mengejutkan. Karya ini berhasil mendeskripsikan secara detail tata-cara, tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan masyarakat Muslim Mesir mulai tradisi pendidikan dan sistem pemerintahan sampai adat nikah, ritual kelahiran, ritus penguburan dan kematian, musik, tari, dunia megis, pemujaan roh leluhur dlsb persis sebagaimana dipraktekkan kelompok “Islam abangan” Jawa. Ini menunjukkan bahwa ide dan praktek “Islam abangan” berakar kuat pada sejarah dan tradisi Islam itu sendiri, dan bukan bersumber dari Hinduisme, animisme, atau spiritisme pra-Islam seperti dikemukakan sejumlah sarjana dan pengamat Islam Indonesia. Temuan Lane ini merontokkan tesis klasik yang dipelopori Raffles, van Leur, Kern, Kraemer, atau Geertz yang mengatakan bahwa jenis atau varian, sebut saja “Islam abangan” di Jawa khususnya adalah berasal atau warisan dari tradisi keagamaan Hindu-Budha Majapahit.

***

Perjumpaan lintas-budaya masyarakat Indonesia itu tidak hanya melahirkan bentuk tradisi dan kultur yang bersifat majemuk tetapi juga mampu menghasilkan sikap pluralis dan toleran warga di bumi pertiwi ini terhadap berbagai jenis kebudayaan yang berlainan. Seperti dilaporkan oleh para pengembara awal di negeri ini sebut saja Tome Pires (Portugis), Ma Huan (China), Edmund Scott, de Houtman (Belanda), atau Ibnu Batutah (Maghrib), penduduk setempat sudah lama terbiasa bergaul dengan orang luar dan menyerap aneka tradisi dan kebudayaan mereka: makanan, pakaian, musik, seni, sampai pengetahuan dan falsafah hidup. Tapi semua ini bukan berarti bahwa penduduk “pribumi” hanya semata-mata berfungsi sebagai “penerima pasif” bukan “aktor aktif.”
Dalam setiap pertemuan kebudayaan (cultural encounter) selalu terjadi “take” and “give.” Tidak ada istilah “center” yang dominan yang berperan sebagai “produsen budaya” dan “periphery” yang marijinal yang berfungsi sebagai “konsumen budaya.” Di tingkat masyarakat di luar “negara-kerajaan,” semua berlangusung dalam suasana dialog yang sehat, normal, natural, dan peaceful. Bahwa telah terjadi konflik dan ketegangan antara “yang global” dan “yang lokal” adalah fenomena wajar dalam sejarah interaksi antar-manusia, akan tetapi konflik itu—seperti ditunjukkan dalam studi Reid dan Lombard—tidak berubah menjadi konfrontasi dan kekerasan sosial. Respons positif atas pluralitas yang diwariskan para pendahulu bangsa itu kemudian “dilembagakan” oleh para founding fathers bangsa Indonesia dalam bentuk motto nasional yang sangat populer: Bhinneka Tunggal Ika yang bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (unity in diversity). Motto ini jelas merupakan bentuk dari kesadaran global para pendiri bangsa ini atas realitas pluralitas bangsa Indonesia.

Dalam literatur ilmu-ilmu sosial kontemporer, reaksi positif para founding fathers ini bisa disebut sebagai “pluralisme,” yang oleh Diana Eck didefinisikan sebagai “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman atau pluralitas itu. “Pluralism is not the sheer fact of plurality alone, but is active engagement with plurality,” tulis Eck (2003: 191). Prof. Eck menjelaskan panjang-lebar tentang pluralisme ini dalam bukunya yang sangat menarik: Encountering God.

Dalam moto Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna yang begitu dalam berupa kesadaran atas pentingnya menyikapi kemajemukan dalam bingkai “positif-konstruktif,” bukan sebaliknya: “negatif-distruktif” seperti ditunjukkan para kaum militan agama termasuk kalangan Muslim radikal di Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa moto itu tidak semata-mata “temuan instan” dan temporal melainkan hasil dari proses pergumulan pemikiran panjang berdasarkan pada praktek pluralis-toleran para leluhur bangsa Indonesia. Karena itu kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” itu bukan hanya semata-mata “cermin atas” keragaman bangsa akan tetapi juga mengandung sebuah harapan dan idealitas Bangsa Indonesia ke depan.

***

Setidaknya ada empat pendekatan dalam menyikapi fakta pluralitas atau katakanlah “tafsir atas pluralitas” ini:

Pertama adalah eksklusi atau pengucilan diri atas segala sesuatu yang baru dan dianggap asing yang berasal dari luar kelompok dan agamanya. Bagi kaum eksklusif, pengucilan atau “pengurungan diri” merupakan cara efektif untuk mempertahankan atau membentengi tradisi keagamaan dan kebudayaan mereka dari pengaruh unsur-unsur asing. Meskipun mereka bersikap “eksklusif” (hanya mau bergaul dengan kelompoknya sendiri) tetapi bukan berarti mereka bersikap keras terhadap orang dan kelompok lain. Contoh dari bentuk eksklusi ini adalah komunitas Amish dalam tradisi Kristen Amerika. Mereka tinggal jauh dari kota, mengisolasi diri dari keramaian, dan hidup mengelompok dengan cara membentuk “koloni” sendiri. Tidak seperti warga Kristen lain yang “modernis,” mereka menolak memakai mobil, listrik, tv, radio, dan segala jenis produk teknologi modern. Kendaraan sehari-hari mereka adalah delman, sementara alat penerang yang biasa mereka pakai adalah sejenis “lampu sentir” seperti di pedesaan-pedesaan Jawa. Bagi mereka teknologi modern adalah sejenis “bid’ah” yang bisa merusak kemurnian ajaran kekristenan. Selain itu, mereka juga berpandangan bahwa teknologi modern adalah semacam “kenikmatan dunia” yang bisa membuat manusia lalai mengabdi kepada Tuhan.

Kedua, asimilasi atau pandangan yang menyambut dengan baik kelompok luar asal dengan syarat mereka bersedia menanggalkan tradisi dan kebudayaan mereka untuk kemudian “meleburkan diri” ke dalam arus tradisi dan kebudayaan kelompok dominan tertentu. Contoh terbaik tentang ini adalah proses asimilasi terhadap etnis China di Indonesia yang dikampanyekan oleh pemerintah Orde Baru. Contoh lain adalah proses peng-Islam-an penduduk “Kafiristan” di Afghanistan sebelum berubah nama menjadi “Nuristan.” Asimilasi dalam batas tertentu juga terjadi atas warga Shi’ah di beberapa kawasan Arab atau negara-negara yang didominasi Sunni (Pakistan, Afghanistan, dll), atau warga Sunni di daerah yang secara sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan dikontrol oleh Shi’ah seperti Iran.

Ketiga, destruksi, yakni pendekatan menyikapi kemajemukan dan perbedaan dengan sikap kekerasan. Contoh pendekatan destruktif ini adalah seperti apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Arab Saudi dan kelompok-kelompok Islam garis geras “semi-Wahabi” di Indonesia belakangan ini. Atas nama menegakkan Al-Qur’an dan memurnikan ajaran Islam, kaum Muslim “tengil” atau katakanlah “Islam Pentungan” ini dengan bengisnya menghancurkan individu dan kelompok keagamaan tertentu yang mereka anggap telah menyimpang dari “kanon resmi” Islam.

Keempat, adalah pluralisme, yakni sikap atau pandangan positif-empatik terhadap kemajemukan budaya dan agama. Bagi kaum pluralis, perbedaan dan keberagaman itu bukan disikapi dengan sikap sinis dan mata mendelik seperti ditunjukkan kelompok “Islam Pentungan” akan tetapi direspons dengan sikap ramah dalam bingkai persahabatan dan kebersamaan dengan tetap menghargai keunikan, perbedaan, dan kemajemukan masing-masing. Kaum pluralis akan mengatakan: “come as you are, with all your differences......and be yourselves.” Bagi mereka keragaman bukanlah aib sosial yang harus dibasmi dari muka bumi melainkan sebuah potensi yang mampu memperindah sebuah taman dunia. Jika dunia ini diibaratkan sebagai “taman bunga,” kaum pluralis akan membiarkan aneka bunga yang warna-warni itu hidup dalam sebuah taman karena mereka memiliki hak yang sama: yakni hak untuk hidup. Tidak ada bunga yang lebih indah dan unggul dari pada yang lain karena masing-masing memiliki keunikan. Inilah sikap pluralis yang oleh para ilmuwan sosial disebut “civic pluralism,” yakni sebuah kultur publik yang menggaransi persamaan hak setiap warga negara serta berwatak tolerance-in-pluralism.

Dalam konteks bangsa Indonesia yang pluralistik, maka pluralisme civic adalah jenis “tafsir” terbaik untuk menyikapi kemajemukan etnis, budaya, dan agama negeri ini. Pesantren sebagai kekuatan civil society yang berwatak pluralis dan toleran sudah sepatutnya menjadi agen “civic pluralism” ini untuk menjaga kosmos Indonesia agar tetap damai dan harmonis. Di tengah munculnya sejumlah kelompok keislaman garis keras yang radikal-militan yang hobi-nya melakukan tindakan kekerasan, maka pesantren harus tampil ke depan sebagai “vanguard” gerakan-gerakan keislaman yang bercorak toleran-pluralis demi terciptanya stabilitas bangsa, kehidupan harmoni, perdamain sejati, democratic civility, dan citizenship culture yang menghargai hak-hak setiap warga negara yang hidup di bumi Indonesia, serta bebas dari segala bentuk kekerasan agama yang hanya menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat.***


Boston, 16 Januari 2009.

Sumber: http://www.pondokpesantren.net/
Author: Sumanto Al Qurtuby
•8:08 PM
Mendesain Kembali Format Dialog Agama
Kompas, Senin, 8 September 2008

Sumanto Al Qurtuby

Salah satu pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya selama ini adalah mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah memprakarsai pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan, dan kekerasan? Adakah yang salah dalam desain dialog agama selama ini?

Pertanyaan ini penting saya tekankan mengingat relasi antaragama dan kepercayaan di negeri Muslim terbesar di planet ini sedang dalam kondisi mengkhawatirkan yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi kekerasan berbasis agama pasca tumbangnya Orde Baru. Istilah kekerasan agama atau kekerasan berbasis agama (religious-based violence) ini tidak hanya mengacu pada pengertian apa yang oleh Johan Galtung disebut direct/physical violence seperti kerusuhan, penyerangan, perusakan, pembakaran, dan lain-lain terhadap pengikut dan properti komunitas agama tertentu saja, tetapi juga cultural violence atau symbolic violence (ini istilah Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, atau penyesatan terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.

Seperti ditunjukkan dari hasil riset The Wahid Institute (WI) yang dilakukan dari Juli 2007 sampai Juni 2008, yang kemudian diterbitkan dalam buletin bulanan Monthly Report on Religious Issues, sedikitnya telah terjadi 109 kasus keagamaan di Indonesia yang terbagi dalam enam kategori. Deputi Direktur WI Rumadi yang juga sebagai penanggung jawab riset ini mengelompokkan kasus-kasus kekerasan agama itu ke dalam enam kategori. Keenam kategori itu adalah (1) kasus-kasus terkait kekerasan berbasis agama 39 kasus, (2) kebebasan beragama dan berkeyakinan 28 kasus, (3) kebebasan menjalankan agama dan keyakinan 9 kasus, (4) isu hak sipil warga negara 8 kasus, (5) kebebasan berpikir dan berekspresi 11 kasus, dan (6) terkait isu-isu moralitas 14 kasus” (lihat www.wahidinstitute.org).

Menariknya, masih menurut Rumadi, dalam peristiwa kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan. MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok keagamaan yang terbelah justru menjadi ”polisi agama” yang ikut menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan ”oase spiritual” bagi umat manusia—apa pun agama dan keyakinan mereka seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—justru ikut menjadi pembakar amarah massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang antidialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang ”dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri.

Proses komunikasi

Sejumlah fakta di atas tentu saja sangat mengkhawatirkan masa depan hubungan agama-agama dan interfaith dialog di Indonesia padahal dialog agama, seperti dikatakan Richard Solomon, Presiden United States Institute of Peace (USIP), adalah salah satu basis utama bagi terciptanya pembangunan perdamaian abadi (enduring peacebuilding). Dialog agama yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja bukan face-to-face conversations dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik formal yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan, melainkan proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders).

Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik dalam konteks dialog antaragama atau dialog intra-agama) adalah simpel: setiap individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah sesimpel yang kita bayangkan karena syarat dari sebuah dialog agama—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antaragama dari Temple University—adalah setiap partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran di mana-mana.

Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan ”yang lain” bukan sukses argumen melawan yang lain seperti umumnya dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strengths yang bisa dijadikan sebagai pedoman bersama atau solusi bersama untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan tiap-tiap kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat.

Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus setiap individu/kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan ”kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Harap dicatat bahwa materi dalam dialog agama ini tidak hanya mengungkapkan persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) setiap kelompok keagamaan, baik menyangkut nilai, doktrin, tradisi, kultur, teks, simbol, wacana, sejarah, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap-tiap kelompok keagamaan. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh di dalam laci, diletakkan di bawah meja, dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik, kekerasan, dan pertikaian.

Banyak praktisi dialog agama yang menganggap perbedaan-perbedaan agama (religious differences) tadi sebagai sesuatu yang tabu dan haram untuk diungkap ke permukaan karena menganggap hal ini bisa menghambat proses relasi antaragama. Sebaliknya, mereka lebih mengapresiasi sisi persamaan-persamaan keagamaan (religious commonalities) karena beranggapan hal ini bisa menjadi perekat, dasar, dan fondasi untuk membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan peaceful. Menjadikan persamaan dan commonalities sebagai basis dialog agama adalah perlu tetapi membicarakan perbedaan, sekali lagi dengan sikap elegan, saling menghargai, dan komitmen yang tulus untuk mencari ”permahaman dari dalam”, juga sangat vital dalam desain dialog agama. Selama ini memang telah dilakukan upaya penyingkapan perbedaan-perbedaan keagamaan dan keberagamaan itu. Akan tetapi, hal itu dilakukan dalam format monolog atau, kalau tidak, ”debat kusir” yang diiringi sikap sinisme dan semangat penuh kebencian untuk menjatuhkan kelompok keagamaan lain di satu sisi dan meneguhkan kebenaran dan superioritas kelompok keagamaannya sendiri di pihak lain. Model dialog semacam ini tentu saja kontra produktif dengan spirit dialog agama itu sendiri.

Perlu juga diketahui bahwa definisi dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antarkelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian dan lain sebagainya. Model dialog agama ini oleh Mohamed Abu-Nimer, Direktur Salaam Institute of Peace di Washington DC, disebut sebagai humanity model sementara Leo Swidler seorang sarjana dan praktisi dialog agama menyebutnya sebagai practice model (selanjutnya lihat di David Smock, ed, Interfaith Dialogue and Peacebuilding).

Banyak dialog agama jenis ini yang mampu mentransformasi para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan kemudian menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dialog agama untuk kemanusiaan yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.

Monolog

Sejauh yang saya amati format dialog agama di Indonesia belum menunjukkan perubahan berarti. Memang lembaga-lembaga dialog agama menjamur di mana-mana, dari Jakarta sampai kota-kota kecil kabupaten. Namun, desain lembaga atau forum antaragama itu sebetulnya bersifat monolog karena lembaga/forum interfaith tadi hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman keagamaan seragam. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut dialog agama dalam pengertian yang sesungguhnya seperti yang saya paparkan di atas dengan melibatkan ”the others” atau ”out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interest, dan tujuan.

Akibatnya, tiap-tiap kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: ”moderat-progresif” vs ”militan-konservatif”. Dua gerbong kelompok keagamaan ini berjalan dalam rel mereka sendiri dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Setiap kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Ke depan, desain dialog agama harus diubah.

Tantangan utama kaum moderat-progresif di Indonesia adalah mendesain kerangka dialog agama yang konstruktif dan produktif dengan melibatkan kelompok militan-konservatif atau radikal-fundamentalis. ”One cannot build a bridge starting in the middle,” seru John Paul Lederach, intelektual dan praktisi perdamaian global, sebagai kritik atas model konvensional dialog dan pembangunan perdamaian berbasis agama (religious peacebuilding) yang hanya melibatkan faksi moderat. Antropolog Cynthia Mahmood yang pernah menulis buku tentang kaum militan Sikh, Fighting for Faith and Nation: Dialog with Sikh Militants, suatu saat mengatakan ”inviting the religious millitant groups in the peace process are fruitful and strategic, particularly when religious identities become main root causes for violent acts” (Science, vol 264: 1018-1019).

Di pihak lain, kelompok militan-konservatif juga harus mau membuka diri untuk terlibat dalam desain dialog agama ini serta menghentikan provokasi-provokasi menyesatkan yang bisa menyakitkan pihak lain dan memicu timbulnya kekerasan. MUI sebagai salah satu institusi keislaman penting di Tanah Air juga sudah saatnya mengubah model monolog yang selama ini diterapkan dalam setiap upaya penyelesaian masalah keagamaan untuk diganti dengan format dialog agama yang membangun dan produktif dalam bingkai keragaman dan semangat untuk mencari solusi konstruktif yang tidak merugikan pihak lain. Sebagai wadah perkumpulan para ulama, sementara ulama sendiri adalah ”waris para nabi” seperti dikatakan dalam sebuah hadis, MUI semestinya menjadikan perilaku Nabi Muhammad SAW yang terbuka, peaceful, toleran, dan pluralis sebagai tauladan, memberikan fatwa-fatwa yang menyejukkan dan menyatukan semua komponen keagamaan, dan bukannya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memicu perpecahan dan kekerasan.

Untuk bisa mewujudkan idealisme dialog agama ini memang tidak mudah. Mantan guru saya, seorang sarjana Muslim dan aktivis dialog agama yang juga profesor resolusi konflik dan peace studies di American University, Washington DC, Mohammed Abu-Nimer, jauh-jauh hari mengingatkan bahwa dialog agama adalah ”bisnis yang sangat berbahaya” (Abu-Nimer dalam Smocks, ed, 2002: 15). Akan tetapi, ia buru-buru mengingatkan bahwa dialog agama dalam kerangka (framework) seperti yang saya paparkan di atas adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama serta medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut ”satu dunia”, yakni sebuah persepsi tentang semua makhluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apa pun latar belakang etnis dan agamanya— mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep ”satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada ”stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements”.

Mampukah tiap-tiap kelompok keagamaan dan keislaman di Indonesia mewujudkan desain dialog agama seperti ini?

Sumanto Al Qurtuby Sekjen KNU AS-Kanada dan Mahasiswa PhD di Bidang Cultural Anthropology, Boston University, Massachusetts, United States

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01103538/mendesain.kembali.format.dialog.agama
Author: Sumanto Al Qurtuby
•11:09 AM
Menyambut Pendirian KNU AS-Kanada

NU, Islam, dan Barat

Oleh Sumanto Al Qurtuby
Sekjen KNU AS-Kanada

Di Boston, Massachusetts belum lama ini, sejumlah aktivis dan intelektual NU di Amerika Serikat (AS) mendirikan sebuah organisasi bernama Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS). Setelah sejumlah kader NU di Kanada bergabung, organisasi ini kemudian berubah menjadi KNU AS-Kanada. Para kader NU yang terlibat proses pendirian organisasi ini, selain saya sendiri, adalah Achmad Munjid, Ulil Abshar-Abdalla, Achmad Tohe, Prof. Kustim Wibowo, Ph.D., Salahuddin Kafrawi, Ph.D., Mohammad Abdun Nasir, Ahmad Sahal, Ahmad Rafiq, Syamsul Ma’arif, Munajat, Saiful Umam, Dadi Darmadi, dan Hasan Basri. Dalam deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla ini, juga dihadiri sejumlah mahasiswa non-NU dari Indonedia yang sedang studi di area Boston, aktivis perempuan NU dan non-NU, kader muda Muhamamdiyah Sukidi Mulyadi dan tokoh muda “NU kultural,” Jajang Jahroni.

Seperti organisasi ke-NU-an pada umumnya, KNU AS-Kanada juga mengikuti tradisi Sunni-Ash’ari dalam teologi dan empat mazhab dalam fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). Meskipun KNU AS-Kanada ingin mempertahankan tradisi Islam klasik Sunni-Ash’ari dan mazhab empat yang sangat kaya itu tetapi para penggagas dan pendiri organisasi ini menginginkan agar tradisi ini terbuka pada kemungkinan tafsir baru. KNU AS-Kanada juga menggarisbawahi perlunya membuka diri terhadap aliran pemikiran, sekte, dan kemajemukan internal dalam Islam dan masyarakat Muslim dimanapun berada. Sikap keterbukaan ini sebagai sebuah konsekuensi logis atas fakta pluralitas Islam itu sendiri baik dalam pengertian sejarah, tradisi, tafsir, wacana, simbol, doktrin, dan teks-teks keislaman maupun kebudayaan umat Islam (Muslim cultures) yang memang beraneka ragam dan warna-warni.

***

Ada tiga faktor atau masalah mendasar yang menjadi keprihatinan para founding father KNU AS-Kanada yang sekaligus melatarbelakangi terbentuknya ormas ke-NU-an di wilayah Amerika Serikat dan Kanada ini. Ketiga faktor dimaksud menyangkut sejumlah masalah internal NU, keislaman Indonesia, serta relasi Islam-Barat. Ketiga “latar belakang masalah” ini selanjutnya menjadi fokus gerakan KNU AS-Kanada.

Pertama, dari aspek internal NU, KNU AS-Kanada menilai PBNU khususnya dan kelompok struktural NU pada umumnya sekarang ini dipandang tidak berhasil dalam menerjemahkan dan mengtransformasi visi keislaman NU yang tawazun (balance), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan i’tidal (adil) dalam konteks masyarakat modern yang semakin kompleks, plural, dan meng-global. PBNU juga gagal menyikapi realitas kemajemukan keberagamaan masyarakat dewasa ini. Alih-alih ingin bersikap moderat, toleran, dan adil, (sebagian pengurus di) PBNU justru terlibat aktif dalam proses penyesatan dan peminggiran sejumlah kelompok dan aliran keagamaan dan keislaman. Alih-alih ingin mengapresiasi pluralitas keberagamaan, PBNU justru terlibat aktif melarang pluralisme yang diharamkan MUI tanpa mempelajari lebih dalam definisi dan makna pluralisme serta dasar-dasar pengharaman itu. Dan alih-alih ingin menegakkan Islam yang berwawasan moderat dan toleran, PBNU, sekali lagi, ironisnya justru ikut menabuh kendang yang dimainkan kelompok “Muslim” fundamentalis radikal! Sejumlah fakta ini cukuplah dijadikan alasan bahwa PBNU telah mengabaikan spirit, visi, dan “khittah” keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal tadi.

Berangkat dari realitas inilah, KNU AS-Kanada ingin mengembalikan NU ke dalam formasi awal sebagai ormas keagamaan yang berwawasan toleran-pluralis yang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Untuk mewujudkan (kembali) visi dan nilai-nilai keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal ini, KNU AS-Kanada akan mengapresiasi secara kritis kaedah yang juga dipegangi NU selama ini: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Terjemahan bebas teks ini kira-kira: “memelihara tradisi dan warisan lama yang masih baik dan relevan serta menggali kebudayaan baru yang lebih baik dan kontekstual.” Tantangan terbesar buat KNU AS-Kanada tentu saja bagaimana merumuskan kriteria “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah” itu. Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah”?

KNU AS-Kanada menilai PBNU selama ini lebih banyak mengapresiasi hanya pada aspek “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih.” Itupun tidak semua tradisi khazanah Islam klasik diapresiasi secara imbang, fair, dan adil. Banyak sejarah, tradisi, wacana, dan khazanah brilian intelektualisme Islam klasik diabaikan. Pula, PBNU kurang memberikan ruang pada aspek “wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Padahal “kebudayaan baru” inilah yang justru akan memperkaya visi keislaman yang dibangun NU selama ini. Kata “kebudayaan” (culture) yang dimaksud disini adalah “socially distributed knowledge and habits” untuk meminjam istilah Robert Hefner, bukan dalam pengertian produk-produk teknologi. Perkembangan pesat pengetahuan (knowledge), social sciences and humanities, dan aneka “habitual actions” individu, kelompok, dan masyarakat yang semakin rumit dan kompleks dewasa ini tidak direspons secara proporsional dan critical oleh PBNU.

Masalah internal NU lain yang juga turut mendorong proses berdirinya KNU AS-Kanada adalah fakta bahwa PBNU dan sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU (bahkan sampai tingkat kecamatan dan ranting di desa-desa) telah menggunakan institusi ke-NU-an untuk kepentingan politik praktis yang berlawanan dengan spirit “Khittah NU 1926” yang dicetuskan pada Mukmatar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Khittah 1926 ini secara tegas menyatakan NU sebagai “jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah” atau ormas sosial keagamaan bukan parpol (partai politik), orpol (organisasi politik), ataupun supplier partai politik. Tetapi ironisnya, sebagian pengurus NU dari tingkat pusat sampai ranting, rame-rame memperlakukan NU layaknya parpol atau orpol. Tulisan Syamsul Bakri tentang “Khittah 1926 atau Good Bye NU” (Suara Merdeka, 24 July 2008) adalah sangat layak untuk dicermati.

Sejumlah fakta inilah yang membuat para inisiator dan tokoh dibalik “Khittah 1926 Situbondo” seperti Rais Aam KH MA Sahal Mahfudh, Gus Mus, dan Gus Dur geram terhadap ulah sebagian pengurus NU yang besar syahwat politiknya tadi. Karena (sebagian) para pengurus NU ini sibuk berpolitik praktis—meskipun sering kali babak belur seperti kasus cawapres Hasyim Muzadi, cawagub Jateng Muhammad Adnan, dan cawagub Jatim Ali Maschan Moesa—urusan-urusan fundamental ke-NU-an yang justru menjadi “core bussiness” NU seperti masalah keagamaan (diniyah), sosial (mabarat), perekonomian (iqtishadiyyah), dan pendidikan (tarbiyah) menjadi terbengkelai. Aset-aset kultural NU yang melimpah-ruah (seperti potensi kader NU terdidik dan kalangan profesional di dalam dan luar negeri) juga tidak “dikelola” dengan baik bahkan dibiarkan terlantar. Padahal mereka inilah, cepat atau lambat, yang akan memegang kendali roda ke-NU-an di masa datang.

Melihat realtias ke-NU-an dewasa ini yang sudah “salah jalan” di tambah masalah sosial-kemasyarakatan dan kebudayaan yang semakin kompleks, KNU AS-Kanada saat ini sedang merumuskan dan mematangkan sebuah “Khittah Nahdliyah Amrikiyyah” yang diharapkan bisa menjadi sumbangan berarti buat NU dan “guideline” bagi warga NU dalam menyikapi masalah kebangsaan, keislaman, dan ke-NU-an.

***

Kedua, faktor “keislaman Indonesia” yang juga turut memicu proses pendirian KNU AS-Kanada adalah munculnya berbagai kelompok politik dan keagamaan termasuk kelompok keislaman tertentu yang ingin mengganti konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ideologi negara Pancasila, dan Konstitusi UUD 1945. Di tengah bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam pengertian segalanya: budayanya, keberagamaanya, etnik dan sukunya, dst, munculnya kelompok-kelompok eksklusif keislaman yang ingin menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara tentu merupakan ancaman bagi existensi pluralitas Indonesia. Buat KNU AS-Kanada Pancasila sebagai falsafah, ideologi, dan dasar negara bersifat final. KNU AS-Kanada tetap mengapresiasi keragaman kelompok-kelompok politik dan keislaman tersebut sebagai bagian dari dinamika internal umat beragama dalam kerangka demokrasi sepanjang dilakukan dalam konteks NKRI, mentaati konstitusi negara, dan tunduk pada UU dan peraturan yang berlaku yang menjadi acuan hukum berbangsa dan bernegara.

***


Faktor ketiga yang melatarbelakangi sekaligus menjadi fokus KNU AS-Kanada adalah masalah hubungan Islam-Barat.

Jamak diketahui bahwa relasi Islam-Barat sering berlangsung tidak harmonis serta penuh prasangka (prejudice), kecurigaan, dan ketegangan sehingga menimbulkan gap yang cukup serius antara dunia Muslim di satu sisi dan masyarakat Barat di pihak lain. Sikap saling curiga dan syakwasangka itu sendiri sebetulnya selain dipicu oleh sejumlah faktor sosial-politik-ekonomi kontemporer yang sangat kompleks juga memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Dari perspektif dunia Islam, ketegangan dengan “Barat” bermula sejak era kolonialisme ketika “Eropa yang Kristen” menjajah kawasan-kawasan berbasis Islam dari Arab, Timur Tengah, Afrika Utara, sampai Indonesia. Kolonialisme ini tidak semata-mata masalah politik (dominasi kekuasaan, kontrol pemerintahan, dll) dan ekonomi (eksploitasi sumber-sumber perekonomian) tetapi juga masalah agama dan budaya karena kolonialisme membawa sejumlah “penumpang gelap” berupa misionarisme, modernisme, dan westernisme.

Ketika luka-luka lama akibat kolonialisme ini pelan-pelan bisa diobati dengan pendirian negara-negara modern yang merdeka dan otonom atau semi-otonom di berbagai negara berbasis Islam, memori luka lama itu bangkit kembali ketika melihat sejumlah konflik kekerasan yang melibatkan non-Muslim seperti Israel v Palestine atau negara-negara di kawasan Balkan (Serbia, Bosnia-Herzegovina, dll). Ketegangan dan kecurigaan terhadap Barat itu semakin memuncak ketika AS, sebagai simbol utama Barat, sering intervensi urusan negara-negara lain terutama dunia Islam.

Hampir tidak ada negara yang luput dari campur tangan politik AS. Dengan dalih demokrasi dan didukung oleh dana yang kuat, AS selalu terlibat dalam proses-proses kepolitikan internal negara-negara lain termasuk kawasan Islam tentunya. Celakanya, AS selalu menerapkan politik “standar ganda” dalam setiap penyelesaian masalah kepolitikan dengan kawasan Islam. Sikap “standar ganda” AS itu terlihat sangat jelas dalam kasus konflik Israel versus Palestine, penegasian kemenangan Hamas di Palestine maupun Ikhwanul Muslimin di Mesir, penyelesaian konflik di Iraq, penanganan ketegangan di Iran, dan masih banyak lagi. Sejumlah sikap politik AS yang plin-plan ini menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) publik (sebagian) dunia Islam terhadap komitmen demokrasi yang diperjuangkan dan dimotori (pemerintah) AS.

Sementara itu dari sudut pandang Barat, terutama AS, masyarakat Muslim tidak bisa dilepaskan dari sejarah, doktrin, dan wacana keislaman yang bias, tidak egaliter, intolerant, anti-pluralisme, dan mendukung pendirian sistem kekhalifahan yang mengancam eksistensi masyarakat non-Muslim dan sendi-sendi demokrasi serta anti konsep citizenship di mana setiap warga memiliki hak yang sama dalam sebuah sistem kepolitikan. Selain itu ada persepsi yang kuat bahwa umat Islam mudah dibangkitkan untuk melakukan tindakan terorisme dan kekerasan global.

Salah satu organisasi berbasis Islam di AS yang bernama “The Notion of Islam” (NOI) sering dijadikan sebagai rujukan (sebagian) masyarakat AS dari kalangan elit politisi sampai warga biasa tentang “fakta keislaman” yang tidak bisa bersinergi dengan ide-ide dan konsep kewarganegaraan, demokrasi, liberalisme, kebebasan, dan pluralisme yang menjadi “ruh” kebudayaan Barat dan AS. Didirikan oleh Wallace Fard Muhammad pada tahun 1930 di Detroit, Michigan, NOI pada awalnya merupakan organisasi keagamaan yang bertujuan membangkitkan kembali mentalitas dan spiritualitas perempuan dan warga kulit hitam AS dari perilaku diskriminasi kulit putih di satu sisi dan mempromosikan Islam sebagai sistem keagamaan yang membawa perdamaian global. Spirit ini terus dilanjutkan ketika NOI dipimpin oleh tokoh spiritual Muslim AS berpengaruh, Elijah Muhammad (1897-1975), guru Malcolm X yang sangat populer itu. Namun ketika organisasi ini dipegang oleh Louis Farrakhan (lahir 1933) sejak 1973, NOI menjadi kental aura “politik Islam”-nya. Farrakhan-lah tokoh Muslim AS yang gencar menyuarakan sistem kekhalifahan Islam dan menjadikan NOI sebagai “kendaraan” untuk mewujudkan terciptanya “the real notion of Islam” di AS. Sejak itu, tokoh yang waktu lahir bernama Louis Eugene Walcott ini, kemudian dianggap sebagai simbol “Islam garis keras” yang membahayakan sistem kepolitikan AS yang dibangun di atas fondasi demokrasi liberal.

Kecurigaan AS terhadap dunia Islam yang tidak ramah dengan AS ini semakin menguat sejak terjadi insiden yang mengguncang dunia: tragedi 11 September, 2001. Insiden peledakkan gedung WTC dan Pentagon yang menjadi landmark ekonomi dan pertahanan AS ini menyebabkan sedikitnya 3,000 jiwa melayang, sebuah peristiwa yang masih menyisakan trauma mendalam di benak warga AS hingga sekarang ini. Tragedi inilah yang mendorong lahirnya kebijakan politik “war on terror” oleh pemerintah George W. Bush yang menjadikan umat Islam sebagai TO (“target operasi”). Atas nama “war on terror” ini, Bush membombardir Afghanistan, menggempur Iraq, dan menangkap kaum Muslim yang di-stemple teroris lalu dijebloskan dan disiksa di penjara paling mengerikan di jagat ini: Goantanamo.

Sejumlah fakta tadi tentu saja semakin memeruncing hubungan Islam-Barat.

***


Di tengah hubungan dunia Islam dan Barat yang penuh prejudice ini, kehadiran KNU AS-Kanada diharapkan bisa menjembatani ketegangan (bridging gaps) hubungan Islam-Barat sekaligus menjadi dialogue partner yang kritis dan cerdas terhadap Islam dan Barat sekaligus. Bagi KNU AS-Kanada perjumpaan kritis antara Islam dan Barat bersifat memperkaya khazanah keislaman. Kritis terhadap Islam diwujudkan dalam bentuk “cover both sides” atas wacana, tradisi, sejarah, dan praktek-praktek keislaman baik yang dikembangkan kelompok “moderat-progresif” maupun “militant-konservatif.”

Selanjutnya, selain mengapresiasi sisi-sisi positif “kebudayaan Barat” yang manfaatnya telah dirasakan oleh jutaan manusia di planet ini seperti konsep demokrasi, egalitarianisme, freedom, sekularisme, liberalisme, pluralisme, “philantropi-isme”, vulunterisme, dst, sikap kritis terhadap Barat ini akan dilakukan dalam bentuk kritik-konstruktif terhadap empat hal fundamental berikut ini. Pertama kebijakan politik AS yang double standard menyangkut hajat hidup dunia Islam termasuk masalah Palestine-Israel. Dalam hal ini KNU AS-Kanada mengusulkan solusi pembentukan dua negara: Negara National Palestina dan Israel sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik yang just-peace. Kedua, pemaksaan demokrasi lewat cara-cara kekerasan dan perang seperti kasus Iraq dan Afghanistan. Ketiga, ketidakadilan global kapitalisme di mana Barat turut andil dalam proses penciptaan keterbelakangan “dunia ketiga” termasuk dunia Islam. Terkait dengan masalah “ketidakadilan global kapitalisme” ini, KNU AS-Kanada akan terus mengupayakan terciptanya “global in justice” lewat kerja-kerja intelektual dan “soft diplomacy.” Keempat, prejudice yang dilakukan sebagain tokoh agama, orientalis, sarjana, politisi, media, dan warga AS atas wacana, doktrin, tradisi, sejarah, dan praktek cultural umat Islam. Untuk mengatasi masalah prasangka Barat atas Islam ini, KNU AS-Kanada akan terus mengembangkan model “dialog agama” yang sehat, kritis, dan cerdas.

Dialog agama ini memang “bisnis yang sangat berbahaya,” untuk meminjam istilah Mohammed Abu-Nimer dalam buku Interfaith Dialog and Peacebuilding yang diedit David Smock dari United States Institute of Peace (USIP) akan tetapi dialog agama yang kritis-konstruktif dan dilandasi spirit untuk mencari common ground dan mutual understanding ini adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama, kecurigaan dan sejumlah misundertanding Islam-Barat. Dialog agama dalam semangat dan framework seperti ini mampu menjadi medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut “satu dunia,” yakni sebuah persepsi tentang semua mahluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apapun latar belakang etnis dan agamanya—mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep “satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada “stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements.”

Mampukah KNU AS-Kanada mewujudkan idealisme ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.***
Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:26 AM
Pentingnya "Kekuatan Ramah" dalam Pergerakan Islam

[Sumanto Al Qurtuby]


Kekerasan demi kekerasan terus mewarnai kawasan Islam, mulai dari Arab Saudi sampai Indonesia. Teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, sweeping, penculikan, perusakan, dan pengeroyokan, seolah tidak berhenti, bahkan menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Kenyataan ini seolah membenarkan tesis sebagian orang Barat, yang mengatakan dunia Islam adalah "dunia kekerasan" dan barbarisme, dan Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan sekaligus pengekspor kaum teroris-militan (Edward Said, Covering Islam).

Fenomena ini menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, toleran, dan menjunjung tinggi keadaban (civility) menjadi redup, lumer, dan dipertanyakan banyak pihak. Slogan Islam rahmatan lil alamin dan peaceful religion, kalah populer dengan hiruk-pikuk berita kekerasan dan vandalisme yang dilakukan kaum Muslim radikal. Peristiwa kekerasan berbagai kelompok Muslim militan di Indonesia belakangan ini, juga meramaikan headlines koran-koran dan media Barat. Ini menambah daftar panjang tentang "fakta kekerasan dunia Islam."

Memang ada yang tidak fair dalam proses pemberitaan media Barat dan komentar-komentar (sebagian) orientalis, politisi, tokoh agama, sarjana, dan warga Barat umumnya. Ketika kekerasan terjadi di negara-negara berbasis Islam, mereka langsung "tunjuk hidung" dan mengaitkannya dengan "watak dasar" Islam sebagai violent religion (agama kekerasan) dan antipluralisme. Tapi, ketika kekerasan serupa terjadi di kawasan berbasis non-Muslim (misalnya Israel, Irlandia Utara, Eropa Timur, negara-negara bekas Uni Soviet, India, Tiongkok, dan Amerika Latin) mereka tak pernah mengaitkannya dengan agama tertentu. Saat menara kembar World Trade Center dan Pentagon diserang teroris 11 September 2001, banyak warga Barat (khususnya AS) yang berbondong-bondong memborong Alquran guna memeriksa hubungan Islam dan terorisme global.

Para komentator politik dan agama sibuk menguliti akar-akar terorisme Islam. Buku Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji akar-akar sejarah terorisme dan kekerasan di dalam Islam, menjadi rujukan kelompok "anti- Islam" guna menguatkan argumen tentang Islam sebagai violent religion. Buku-buku Angel Rabasa, analis politik di RAND Corporation, khususnya tentang jaringan terorisme global, sangat sering dikutip.

Uniknya, ketika rezim George W Bush membombardir Afghanistan dan Irak, tak ada kaum Muslim yang bergairah membeli Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme.

Faktor Kesenjangan

Beberapa penjelasan bisa dikemukakan untuk membaca fenomena kekerasan di dunia Islam saat ini. Secara sosiologis, aspek kesenjangan sosial (social gaps) yang begitu nyata antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, adalah salah satu faktor. Se- cara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar antara dunia Islam yang kering-kerontang dan dunia Barat yang makmur berlimpah.

Pada aspek kultural, kita juga menyaksikan dominasi budaya Barat yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi faktor penentu dominasi kebudayaan ini. Kawasan Islam yang miskin teknologi harus menjadi pemangsa dan pemamah kebudayaan asing yang diselundupkan lewat TV, film, internet, dan lain-lain.

Sementara itu, dari aspek politik, tampak adanya infiltrasi, dominasi, dan penekan-an AS (sebagai simbol Barat) terhadap dunia ketiga yang mayoritas kawasan Islam.

Inilah yang membuat kelompok multicultural liberal membagi dunia menjadi dua kategori ekstrem, the oppressors yang diwakili Barat-Kristen- Yahudi (terutama AS), dan the victims yang direpresentasikan kaum Muslim. Fakta keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang berpikiran pendek gusar dan panik, sehingga melampiaskannya dengan cara-cara kekerasan.

Dengan kata lain, kekerasan sebetulnya bisa dibaca sebagai cermin kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik dalam menghadapi dominasi, hegemoni, dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar tindakan mereka seolah-olah legal dan sesuai dengan spirit Islam, dipakailah sejumlah teks, doktrin, ajaran, tradisi, sejarah, dan wacana keislaman sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal. Doktrin jihad pun ditafsirkan secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka sebut "musuh- musuh Islam".

Karena itu, retorika kaum fundamentalis Muslim yang sering kita dengar adalah, mereka bertindak demi "membela Tuhan" dan "tegaknya Islam." Konfrontasi dan kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah satu-satunya jalan menunjukkan superioritas, keperkasaan, dan kedigdayaan Islam sebagai agama yang unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya (ya'lu wala yu'la alaih). Sebaliknya, sikap mengutamakan dialog, persuasi, dan gerakan damai (peaceful and nonviolent movements), dianggap sebagai bentuk kepengecutan dan ekspresi inferioritas.

Ini tentu logika yang menggelikan dan apologetik. Jika Islam memang agama yang superior dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, kebudayaan, dan ekonomi? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan, dan menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam yang masuk kelas dunia. Ini tentu masalah sosial yang kompleks.

Kekuatan yang Ramah

Ke depan, umat Islam harus menata diri, berbenah, sambil merumuskan strategi gerakan keislaman yang jitu, cerdas, santun, dialogis, peaceful, dan beradab. Kekerasan hanya akan menambah wajah buram Islam di mata dunia serta memperuncing ketegangan Islam versus non-Islam, serta Timur kontra Barat. Jalan kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru, sehingga umat manusia akan terjebak di dalam lingkaran setan kekerasan yang merugikan semua pihak.

Dari perspektif keislaman, tindakan kekerasan juga berlawanan dengan spirit dasar Islam sebagai agama damai. Kata "Islam" dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, selain bermakna "ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi" (terhadap keinginan Tuhan), juga berarti "perdamaian, keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan" (Cowan, ed. 1976: 425-426). Dengan demikian, tindakan dan jalan kekerasan, selain bertentangan dengan misi dan khittah Islam, juga bukan solusi terbaik untuk mengatasi aneka masalah di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam).

Untuk itu, gerakan Islam perlu mengedepankan pendekatan kekuatan yang ramah (soft power), melalui medium-medium komunikasi budaya, sarana pengetahuan, pendidikan, diplomasi, dan alat-alat politik yang diaktualisasikan dengan cara-cara nirkekerasan dan dialog lintas-peradaban dan kemanusiaan (Nye, Soft Power: the Means To Success in World Politics). Dalam rangka mengaktualisasikan strategi dan pendekatan soft power tadi, sejumlah intelektual Nahdlatul Ulama belum lama ini mendirikan Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (KNU AS-Kanada). KNU AS-Kanada (juga ormas-ormas keislaman sejenis) yang berwawas-an pluralis dan terbuka, diharapkan dapat menjembatani ketegangan dan jurang pemisah antara Islam-Kristen (juga agama lain) dan Timur-Barat. KNU AS-Kanada juga diharapkan menjadi bagian dari organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi menyelesaikan problem keumatan, keislaman, dan kemanusiaan.

Penulis adalah kontributor RePro Jakarta, Mahasiswa Boston University, Amerika Serikat.

Source: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/index.html