Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:26 AM
Pentingnya "Kekuatan Ramah" dalam Pergerakan Islam

[Sumanto Al Qurtuby]


Kekerasan demi kekerasan terus mewarnai kawasan Islam, mulai dari Arab Saudi sampai Indonesia. Teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, sweeping, penculikan, perusakan, dan pengeroyokan, seolah tidak berhenti, bahkan menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Kenyataan ini seolah membenarkan tesis sebagian orang Barat, yang mengatakan dunia Islam adalah "dunia kekerasan" dan barbarisme, dan Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan sekaligus pengekspor kaum teroris-militan (Edward Said, Covering Islam).

Fenomena ini menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, toleran, dan menjunjung tinggi keadaban (civility) menjadi redup, lumer, dan dipertanyakan banyak pihak. Slogan Islam rahmatan lil alamin dan peaceful religion, kalah populer dengan hiruk-pikuk berita kekerasan dan vandalisme yang dilakukan kaum Muslim radikal. Peristiwa kekerasan berbagai kelompok Muslim militan di Indonesia belakangan ini, juga meramaikan headlines koran-koran dan media Barat. Ini menambah daftar panjang tentang "fakta kekerasan dunia Islam."

Memang ada yang tidak fair dalam proses pemberitaan media Barat dan komentar-komentar (sebagian) orientalis, politisi, tokoh agama, sarjana, dan warga Barat umumnya. Ketika kekerasan terjadi di negara-negara berbasis Islam, mereka langsung "tunjuk hidung" dan mengaitkannya dengan "watak dasar" Islam sebagai violent religion (agama kekerasan) dan antipluralisme. Tapi, ketika kekerasan serupa terjadi di kawasan berbasis non-Muslim (misalnya Israel, Irlandia Utara, Eropa Timur, negara-negara bekas Uni Soviet, India, Tiongkok, dan Amerika Latin) mereka tak pernah mengaitkannya dengan agama tertentu. Saat menara kembar World Trade Center dan Pentagon diserang teroris 11 September 2001, banyak warga Barat (khususnya AS) yang berbondong-bondong memborong Alquran guna memeriksa hubungan Islam dan terorisme global.

Para komentator politik dan agama sibuk menguliti akar-akar terorisme Islam. Buku Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji akar-akar sejarah terorisme dan kekerasan di dalam Islam, menjadi rujukan kelompok "anti- Islam" guna menguatkan argumen tentang Islam sebagai violent religion. Buku-buku Angel Rabasa, analis politik di RAND Corporation, khususnya tentang jaringan terorisme global, sangat sering dikutip.

Uniknya, ketika rezim George W Bush membombardir Afghanistan dan Irak, tak ada kaum Muslim yang bergairah membeli Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme.

Faktor Kesenjangan

Beberapa penjelasan bisa dikemukakan untuk membaca fenomena kekerasan di dunia Islam saat ini. Secara sosiologis, aspek kesenjangan sosial (social gaps) yang begitu nyata antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, adalah salah satu faktor. Se- cara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar antara dunia Islam yang kering-kerontang dan dunia Barat yang makmur berlimpah.

Pada aspek kultural, kita juga menyaksikan dominasi budaya Barat yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi faktor penentu dominasi kebudayaan ini. Kawasan Islam yang miskin teknologi harus menjadi pemangsa dan pemamah kebudayaan asing yang diselundupkan lewat TV, film, internet, dan lain-lain.

Sementara itu, dari aspek politik, tampak adanya infiltrasi, dominasi, dan penekan-an AS (sebagai simbol Barat) terhadap dunia ketiga yang mayoritas kawasan Islam.

Inilah yang membuat kelompok multicultural liberal membagi dunia menjadi dua kategori ekstrem, the oppressors yang diwakili Barat-Kristen- Yahudi (terutama AS), dan the victims yang direpresentasikan kaum Muslim. Fakta keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang berpikiran pendek gusar dan panik, sehingga melampiaskannya dengan cara-cara kekerasan.

Dengan kata lain, kekerasan sebetulnya bisa dibaca sebagai cermin kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik dalam menghadapi dominasi, hegemoni, dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar tindakan mereka seolah-olah legal dan sesuai dengan spirit Islam, dipakailah sejumlah teks, doktrin, ajaran, tradisi, sejarah, dan wacana keislaman sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal. Doktrin jihad pun ditafsirkan secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka sebut "musuh- musuh Islam".

Karena itu, retorika kaum fundamentalis Muslim yang sering kita dengar adalah, mereka bertindak demi "membela Tuhan" dan "tegaknya Islam." Konfrontasi dan kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah satu-satunya jalan menunjukkan superioritas, keperkasaan, dan kedigdayaan Islam sebagai agama yang unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya (ya'lu wala yu'la alaih). Sebaliknya, sikap mengutamakan dialog, persuasi, dan gerakan damai (peaceful and nonviolent movements), dianggap sebagai bentuk kepengecutan dan ekspresi inferioritas.

Ini tentu logika yang menggelikan dan apologetik. Jika Islam memang agama yang superior dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, kebudayaan, dan ekonomi? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan, dan menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam yang masuk kelas dunia. Ini tentu masalah sosial yang kompleks.

Kekuatan yang Ramah

Ke depan, umat Islam harus menata diri, berbenah, sambil merumuskan strategi gerakan keislaman yang jitu, cerdas, santun, dialogis, peaceful, dan beradab. Kekerasan hanya akan menambah wajah buram Islam di mata dunia serta memperuncing ketegangan Islam versus non-Islam, serta Timur kontra Barat. Jalan kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru, sehingga umat manusia akan terjebak di dalam lingkaran setan kekerasan yang merugikan semua pihak.

Dari perspektif keislaman, tindakan kekerasan juga berlawanan dengan spirit dasar Islam sebagai agama damai. Kata "Islam" dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, selain bermakna "ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi" (terhadap keinginan Tuhan), juga berarti "perdamaian, keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan" (Cowan, ed. 1976: 425-426). Dengan demikian, tindakan dan jalan kekerasan, selain bertentangan dengan misi dan khittah Islam, juga bukan solusi terbaik untuk mengatasi aneka masalah di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam).

Untuk itu, gerakan Islam perlu mengedepankan pendekatan kekuatan yang ramah (soft power), melalui medium-medium komunikasi budaya, sarana pengetahuan, pendidikan, diplomasi, dan alat-alat politik yang diaktualisasikan dengan cara-cara nirkekerasan dan dialog lintas-peradaban dan kemanusiaan (Nye, Soft Power: the Means To Success in World Politics). Dalam rangka mengaktualisasikan strategi dan pendekatan soft power tadi, sejumlah intelektual Nahdlatul Ulama belum lama ini mendirikan Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (KNU AS-Kanada). KNU AS-Kanada (juga ormas-ormas keislaman sejenis) yang berwawas-an pluralis dan terbuka, diharapkan dapat menjembatani ketegangan dan jurang pemisah antara Islam-Kristen (juga agama lain) dan Timur-Barat. KNU AS-Kanada juga diharapkan menjadi bagian dari organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi menyelesaikan problem keumatan, keislaman, dan kemanusiaan.

Penulis adalah kontributor RePro Jakarta, Mahasiswa Boston University, Amerika Serikat.

Source: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/index.html

Author: Sumanto Al Qurtuby
•5:21 PM

Disclosing the Ambiguous Text


The prime theological challenge in recent religious life is this: How does someone who is religious define himself in relation to other religions? Or in contemporary theological terms: How does one theologize in the inter-religious context? There are fundamental questions at hand here: Why, despite both the inter-religious conventions recently held frequently and the spread of interfaith institutions, are there continuing clashes occurring between religious communities? Is there something wrong with the inter-religions dialogue’s “management” or with religion itself? The “idealist” would answer that these clashes are not due to religious teachings or texts, but due to the religious community. It is the fault of humans and not the teachings themselves. All religions promote peace and not war, teach rahmat (God’s mercy) and not violence, love and not hatred—and certainly not terrorism nor other idealist formulas of religious apologists.

Indeed, there is no religious text, which instructs directly in the use of hostility and terrorism. But, religious texts do nevertheless inspire violent behavior. Why? Because the text’s fundamental notion is ambiguous. On one hand, the text edifies the ideal universal value of humanitarianism, and on the other hand it also articulates and legalizes the exclusivity of primordial behaviors for the sake of preserving what is called as “belief”. One of the obscurities eroding the religious fundamentalism movement is the theological justification based on the “Holy Book”. Without deconstruction, the egalitarian and humanistic theological transformation could never have been manifested in the religious community’s life.

The Ambiguity of the Text.

One example of a religious text, which inspires the “religious adventurer” to commit violence is: “whoever curse you (Israel), he is cursed and whoever bless you, he is blessed” (Genesis27: 29). This verse has been applied by Jarry Falwell (a prominent figure in the American conservative church) in a campaign within the Christian community to support Zionism and to criticize Palestine. Whereas according to Norman Gottwald, the director of the Bible of Graduate Theological Union, the “Holy” concept (Israel as the Holy/sacred nation) and the “Blessed nation” referring to the ancient Jewish community is similar to a terrified person’s song while passing an old cemetery. It means that in the past, the Jewish elite utilized that concept because they were unable to face the political suppression of Egypt - then a superpower state. The concept has been utilized in order to consolidate the public sympathy to fight the Egyptian state’s hegemony. Gottwald remarks that those Biblical texts were “tactics” of the Jewish elite since King David’s era and were used to upgrade that regime’s supremacy. Subsequently, Gottwald went as far as to call the Bible “a trap of Jews”.

In addition to this text, which contains the early spirit of Jihad, there are other examples in the Holy Bible of this exclusive-primordial bias. For example, in John 14/6, “I am the way and the truth and the life. No one comes to the father but by me.” And also the verse “There is no salvation except in Him, because under this sky there is no man who could not be saved by us.” (Acts of the Apostles 4/12). This emerged as a popular saying amongst Christians,” No Other Name!” and it became the symbol of the impossibility of salvation outside of Jesus Christ. This verse also inspired Hendrick Kraemer –a theologian- to write The Christian Message in a Non-Christian World- a books which has been important for missionaries for many years. On the base of preserving the sacred nature of these texts, a lot of spokespeople within the Christian community have been instigating a Jesus militia to battle the Muslim or whoever else is considered to be disturbing the nobility of the Christian doctrine.

Islam also has many verses which are similarly “fundamentalist” and which are taken literally and used to incite confrontation and justify terrorism against both non-Muslims and even against Muslims who are see as not “enacting the authentic Islam”. In short, puritanism and authenticity, a common ideology in several Islamic countries (including Indonesia), are inspired by these primordial texts. For example,“And who seek religion other than al Islam it will not be accepted from him, and he will be a loser in the Hereafter ” (Q.S. 3/85). Or “Lo! Those who disbelieve, among the people of the scripture and the idolaters, will abide in the fire of hell. They are the worst of created being.” (QS 98: 7). And also the most popular verse of Qur’an, “ The Jews and the Christians would never acquiesce . . . unless you follow their religions.” These verses have inspired Muslims in their antipathy towards “Crusaders” and “Zionists.”

These verses are also used as the theological base for Islamic fundamentalist regimes in Muslim countries and as reasons for ethnic cleansing and violence against Christians, Jews and other non-Muslims. Other scriptural texts inspire discrimination, domination and subordination of both women and minority sects.

The classical Islamic text, even the Qur’an itself, can also be understood as “An Arabian’s (or Quraish) trap. It also cannot be detached from Quraish supremacy. For example, Khalil Abdul Karim in his book Quraish min al-Qabilah ila ad-Daulah al-Markaziyah, has shown how the Quraish nation has upheld its hegemony since the time of Quraish ben Kilab, the clan founder at the time of the emergence of the state of Medina. The Quraish hegemony over Islam resembles Israel’s hegemony in the Judaic tradition.

Deconstruction for Transformation

The religious textsin Islamic, Christian and Jewish tradition can be deconstructed through a socio-historical approach. In a socio-historical approach, each community abandons some assumptions which has influenced the collective perception of the Muslim community. The premise is that the “Holy Book” (Bilble or Qur’an) as “God’s word” is not to be seen as supra historic, or outside of history. A historical approach understands the sacred texts as profane, temporal and impermanent. Instead there is a long and complex historical process at work through which texts become “scientia sacra” – both sacred and mythic.

Such deconstruction can serve to build a transformed religious community. But this “religion’s transformation” can only occur if each community is prepared to “detach itself” from the Text’s hegemony over the critical logic of the Muslim community. Instinctively, the Text has been slithering beneath our consciousness, influencing every step of religious Muslim community behavior: do this, and don’t do that. We have acted like robots controlled by remote control. As long as our movement is positive and “humanist” there is no problem. The problem emerges when our actions are destructive. Though the text has been considered as sacred, containing positive “movement-principle” (for instance, the text regarding the freedom/liberation, the equality of rights, the teaching of love, social solidarity, emancipation, universal brotherhood etc) is also contains negative “movement principles” (such as texts supporting slavery, doctrines of supremacy, gender domination, and jihad etc). Thus the negative “movement principle” of the text creates narrow-minded humans who exploit other humans in the name of religion and God.

It is important to deconstruct the idea that one text and thus one religion is more superior to another. God is more magnificent than any text. He is beyond any text. The claim of supra-historical Godly verses reduces the greatness of the concept of God itself. So, through deconstruction, arthritic textual claims disappear - no one text or religion dominates another. These are the very latest efforts advocated by the inter-religion dialogue as explained by Leonard Swidler in After the Absolute The Dialogical Future of Religious Reflection. The idea is to disavow“ double standards”, the claims for unitary truths and single paths of salvation as these are all considered to be uncritical ways of thinking.

Arthur J D’Adamo argues that this uncritical “way of knowing” is at the root of inter-religious community conflict. Each religious group thinks it has the source of truth—(1) consistent and errorless; (2) complete and final, (3) the only source of salvation and enlightenment; and (4) directly given by God without human influence. It is a narrow minded way of thinking and not conducive for building a universal brotherhood. The religious dialogue’s activists should start discussing this “muharramat” (forbidden) topic without any hesitation or trepidation.

We should open ourselves to other belief systems and restrict our egoism, abandon “primordial identity”, and use self introspection to look into the double standards we apply to others. Only then, in widening our theologically inclusive view, would religions have significant positive roles for providing a spiritual foundation for our futures. This has been superbly portrayed by Bhagavan Das, ”all of us, the religion’s disciples, would meet in the same road of life. Who come from the far, who come from the near, all are hungry and thirsty, all are in the need of life’s bread and water which can be gained only through unity with the Supreme spirit.”

(Translated by Lanny Octavia, edited by Jonathan Zilberg)

Source: http://islamlib.com/en/article/disclosing-the-ambiguous-text/


Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:03 AM

Kekerasan Sektarian

dan Jalan Perdamaian di Iraq

Oleh Sumanto Al Qurthuby

Kekerasan sepertinya tidak pernah bosan menyapa Iraq. Siapapun yang membaca sejarah Iraq akan segera tahu bahwa di negeri tempat munculnya legenda “Taman Eden” itu selalu diwarnai konflik kekerasan. Maka tidak terlalu meleset jika Samir al-Khalil menyebut Iraq sebagai Republic of Fear. Sejak invasi AS 2003 lalu, negeri yang jaman dulu kala bernama Mesopotamia ini kembali dilanda kekerasan. Bahkan kekerasan di negeri ini semakin mengeras dan meruncing sejak beberapa pemimpin negara Islam (baik pemimpin politik maupun agama) ikut mengompori dan intervensi urusan dalam negeri Iraq dengan dalih keagamaan. Misalnya, para pemimpin Syi’ah di Lebanon, Syria, dan terutama Iran, ikut mem-back up kepemimpinan perdana menteri Iraq Nouri al-Maliki yang berafiliasi Syi’ah dan memberi support kepada “Tentara Mahdi”. Iran bahkan menuduh para pemimpin Sunni di kawasan Arab dan Timur Tengah sebagai sponsor gerakan kelompok militan jihadi yang berhaluan Sunni di Iraq. Iran juga menuding para tokoh agama Sunni sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas fatwa-fatwa yang menghalalkan pembunuhan atas pengikut Syi’ah.

Sementara itu para pemimpin Sunni Arab menyebut milisi Syi’ah, di bawah kontrol Iran, sebagai otak meruncingnya kekerasan di Iraq. Meskipun sebetulnya rezim Syi’ah Iraq saat ini merupakan “boneka AS”, di mata orang-orang Sunni Arab, pemerintahan Iraq tidak lebih merupakan representasi ekspansi kekuasaan politik Iran. Mereka pun kemudian ramai-ramai membangkitkan memori lama persetruan dengan Syi’ah terutama Iran. Raja Jordan Abdullah misalnya jauh-jauh hari telah memberi warning munculnya “bulan sabit” Syi’ah dari Iran lewat Iraq, Syria dan Lebanon. Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan orang-orang Syi’ah lebih loyal ke Iran ketimbang negara dimana mereka tinggal. Setali tiga uang, Raja Saudi Arabia Abdullah kepada sebuah surat kabar di Kuwait juga menganggap Iran yang ikut memperkeruh masalah politik di Iraq dan menuduh “negeri para mullah” itu telah menyebarkan paham Syi’ah di negara-negara berbasis Sunni.

Tidak sebatas para pemimpin politik, para juru dakwah dan ulama-ulama Sunni seantero Arab pun, seperti dilaporkan Time (February 22, 2007), juga ikut menyebarkan sentimen anti-Syi’ah dengan mengatakan bahwa rangkaian pembunuhan berdarah di Iraq sebagai ethnic cleansing yang dilakukan “orang-orang Persia.” Kata “Persia” adalah sebutan untuk kawasan yang sekarang bernama Iran sebelum ditaklukkan tentara Islam. Maka dengan menyebut nama “Persia” mengandaikan bahwa orang-orang Syi’ah sebagai “kafir dan terkutuk” (karena itu “halal darahnya”). Para pengikut Sunni, terutama sayap garis keras Wahabi dengan dukungan penuh kerajaan Arab Saudi, memang dikenal sebagai sponsor utama kaum militan Sunni Jihadi di Iraq.

Fenomena ini sebagai bagian dari ironi Arab-Sunni. Dulu semasa rezim Saddam yang Arab-Sunni dan otoriter itu masih berkuasa, mereka tinggal diam meskipun kekejaman demi kekejaman sering dilakukan mendiang Saddam baik terhadap Syi’ah maupun suku Kurdi. Kekerasan dan kekejaman terhadap suku Kurdi, meskipun mereka juga Sunni, dilakukan sebagai teror untuk melemahkan kekuatan politik mereka yang sejak dulu berniat mendirikan negara otonom Kurdistan. Selain itu politik represif Saddam juga dimaksudkan agar ia bisa mengontrol minyak yang sangat melimpah di kawasan yang dihuni suku Kurdi di Iraq utara. Sementara kekerasan terhadap kelompok Syi’ah dilakukan sebagai teror untuk melemahkan kekuatan politik mereka sehingga mau tunduk dibawah otoritas politik Sunni Saddam.

Relasi Sunni-Syi’ah

Pada awal-awal pemerintahan Saddam, hubungan Sunni-Syi’ah sebetulnya sempat terjalin dengan baik. Orang-orang Syi’ah sempat menikmati pemerintahan baru Saddam yang mengusung jargon “Kesatuan, Kebebasan dan Sosialisme.” Jargon yang dikibarkan Partai Ba’th ini di satu sisi untuk mewujudkan ide nasionalisme dan sosialisme Arab yang diidealkan oleh pendiri gerakan ini, yakni Michel Aflaq dari Syria, di pihak lain untuk melawan kekuatan apa yang mereka sebut “demokrasi borjuis” yang dikendalikan Barat. Jargon ini sempat mengantarkan era “bulan madu” antara Sunni-Syi’ah di Iraq, sebab meskipun mereka berbeda secara teologis keduanya sama-sama beretnik Arab yang berjumlah sekitar 75-80% di negeri itu.

Namun era bulan madu itu tidak berlangsung lama sebab Saddam khawatir gerakan “Revolusi Islam Iran” yang dipimpin Imam Khomeini pada bulan February 1979 akan merembet ke Iraq. Kekhawatiran itu beralasan sebab Syi’ah adalah kekuatan mayoritas di sana, yakni sekitar 60% dari total populasi Iraq yang berjumlah hampir 27 juta (census July 2006). Maka malapetaka pun datang. Saddam kemudian menghabisi para ulama berpengaruh Syi’ah termasuk Muhammad Baqir al-Sadr, paman Muqtada al-Sadr, pemimpin “Tentara Mahdi” saat ini. Ayah Muqtada sendiri juga dibunuh oleh Saddam. Tidak sebatas itu, Saddam juga mendeklarasikan perang melawan Iran yang berlangsung selama 8 tahun (1980-1988) yang menyebabkan ratusan ribu pengikut Syi’ah menjadi korban.

Sejak itu dendam kesumat antara keduanya seakan susah dihilangkan dari bumi Iraq. Kelompok Syi’ah sebetulnya beberapa kali berusaha mendongkel kekuasaan Saddam tetapi selalu gagal. Maka kehadiran tentara AS dan sekutunya untuk menggulingkan Saddam pada mulanya disambut dengan riang gembira baik oleh kelompok Kurdi maupun Syi’ah yang sama-sama tertindas. Kehadiran mereka dianggap sebagai “pahlawan” yang membebaskan mereka dari belenggu Saddam persis seperti orang-orang Indonesia yang “lugu” yang menyambut kehadiran tentara “saudara tua” Jepang dengan suka cita karena dianggap sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Namun bayangan “ratu adil” yang mereka impikan ternyata tidak kunjung tiba. Bahkan sebaliknya kedatangan tentara sekutu pimpinan AS ini justru membuat peta perdamaian Iraq bertambah runyam. Dengan kata lain, kehadiran AS bukan bagian dari solusi tetapi masalah itu sendiri.

Saddam memang berhasil ditaklukkan tetapi kekuatan “Saddamisme” masih menggurita. Kelompok Sunni yang tergusur terus melakukan penyerangan dan teror bom bunuh diri untuk melemahkan kekuatan AS dan otoritas Syi’ah. Penyerangan itu semakin brutal sejak peristiwa penggantungan Saddam yang sangat kasar dan tidak menghormati identitas keagamaan Sunni. Sebaliknya, Syi’ah juga melancarkan aksi serupa dengan target pengikut Sunni maupun tentara AS. Bagi pengikut Syi’ah (terutama faksi ekstremis), inilah saatnya untuk “balas dendam” dengan Sunni. AS juga menjadi target serangan sebab di mata Syi’ah, keengganan AS untuk hengkang dari Iraq dianggap sebagai bentuk intervensi masalah dalam negeri pemerintahan Iraq yang kini dikendalikan oleh “jaringan” Syi’ah.

Sementara itu di pihak AS, serangan terus dilakukan dengan target milisi Syi’ah maupun kelompok jihadi Sunni. Ambisi Bush adalah menjadikan Iraq sebagai negara boneka sebagaimana Afghanistan yang mau “diatur” terutama pengaturan masalah minyak. Selain itu Bush ingin menunjukkan “prestasi” di mata publik Amerika terutama para pendukungnya jika berhasil “mengendalikan” Iraq. Citra pemerintahan Bush yang kini sedang bopeng itu bisa “ditambal” kalau ia mampu mengontrol kekuasaan di Iraq dengan begitu peluang kubu Republik untuk mempertahankan Gedung Putih tahun 2008 mendatang masih terbuka. Itulah sebabnya kenapa Bush berusaha keras memaksakan kebijakan ndableg pengiriman 21 ribu tentara tambahan ke Iraq (surge) sekaligus usulan dana tambahan perang sebesar 2.100 trilyun meskipun gelombang protes terus mengalir deras ke Gedung Putih.

Menuju Perdamaian Iraq

Apa yang terjadi di Iraq saat ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut Johan Galtung sebagai “lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence) yang tidak hanya melibatkan kekuatan politik (baca, “kekerasan struktural”) tetapi juga otoritas agama (baca, “kekerasan kultural”). Lalu bagaimana mewujudkan perdamaian di negeri “1001 Malam” yang porak-poranda akibat kekerasan politik dan agama itu? Memang tidak ada “solusi magis” untuk menyelesaikan masalah konflik kekerasan (violent conflict) dimana pun termasuk Iraq. Tetapi jalan perdamaian selalu terbuka jika orang-orang yang berkompeten mempunyai komitmen kuat untuk merajut “perdamaian berbasis keadilan” di Iraq.

Jalan perdamaian dimaksud, al, pertama, bersihkan security forces Iraq, baik polisi maupun tentara, dari sektarianisme. Ada sekitar 311.000 tentara dan polisi Iraq yang dilatih AS. Masalahnya adalah mereka lebih taat dan loyal pada pemimpin sekte mereka atau para bos milisi ketimbang pada pemerintah Iraq. Maka tentara atau polisi yang terlibat kejahatan sectarian, seperti dikatakan analis politik Tahseen al-Shekhli, harus dihukum bukan malah dibiarkan di jalan yang justru semakin menambah kekerasan. Kedua, libatkan negara-negara tetangga Iraq seperti Iran, Syria, Kuwait, Turki, dan Jordan dalam process perdamaian. Seperti dikatakan Presiden Jalal Talabani kepada BBC bulan lalu, “if Iran and Syria were involved, it will be the beginning of the end of terrorism and securing Iraq within months.” Ketiga, organisasi-organisasi international yang relatif netral seperti PBB dan OKI harus secara aktif mendorong Sunni-Syi’ah-Kurdi agar menyelesaikan masalah “rumah tangga” mereka secara damai dan adil melalui jalan negosiasi politik yang konstruktif. Keempat, negara-negara berbasis Islam yang cukup moderat dan netral seperti Indonesia dan Malaysia juga harus terlibat secara aktif dalam proses perdamaian. Kehadiran negara-negara ini dalam proses perdamaian Iraq menjadi sangat bermakna di tengah meruncingnya kekerasan sectarian di sana. Kelima—dan ini yang sangat penting—sejak kehadiran AS merupakan bagian dari problem bukan solusi maka tidak ada jalan lain selain mengubah kebijakan dari “solusi militer” ke “solusi politik” dengan menekankan pada fungsi diplomacy, development, dan rekonsiliasi.

Dalam kerangka “solusi politik” ini, pemerintah AS harus (1) menarik militer secara bertahap dari Iraq seperti diinginkan oleh mayoritas publik AS; (2) mengimplementasikan rencana diplomatik untuk memadamkan kekerasan internal Iraq dengan melibatkan kelompok yang bertikai, terutama sayap garis keras Sunni dan Syi’ah baik di Iraq maupun negara-negara tetangga terutama Syria, Iran, dan Arab, ke meja perundingan; serta (3) mengalokasikan dana untuk program pengembangan ekonomi, asistensi, rekonsiliasi, dan rekonstruksi Iraq. Hanya dengan jalan non-kekerasan, kata Gandhi, kekerasan bisa diselesaikan.***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•9:06 AM

Antara Taize dan Mopuya:

Makna Perdamaian dan Pluralisme Agama

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Taize, sebuah desa kecil di jantung kota Burgundy, France, dikenal luas sebagai tempat “wisata rohani” atau “oasis spiritual” bagi individu dan komunitas pecinta perdamaian global, kebersamaan hidup, toleransi iman, ketentraman batin, dan pluralisme agama. Di tempat ini tinggal beberapa ratus orang dari berbagai agama, terutama Protestan dan Katolik, dan (masing-masing) hidup damai dan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Setiap orang dari berbagai agama dan tradisi bisa “merayakan” kebebasan iman dan perdamaian di sini. Karena wataknya yang unik, lintas-agama dan budaya, Taize menjadi tempat “jujugan” ribuan orang dari berbagai negara dan agama tiap tahun yang haus akan makna perdamaian dan pluralisme agama.

Didirikan oleh Roger Louis Schutz-Marsauche (pupuler Brother Roger, lahir 1915) pada tahun 1940, Taize pada mulanya didesain sebagai tempat semacam “rekonsiliasi” antara komunitas Protestan dan Katolik. Kita tahu, dua kelompok agama pengikut Jesus ini selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad hidup dalam permusuhan sejak Martin Luther mendeklarasikan 95 Tesis Reformasi yang ditempel di Gereja Wittenberg di akhir abad ke-15 sebagai tanda penabuhan genderang perang melawan Katolik. Tetapi kini, Taize menjadi milik bersama siapa saja dari agama, negara, dan etnik mana saja bisa merayakan kebebasan spiritualitas, berdoa bersama, menyanyikan lagu-lagu “rohani” bersama-sama dalam semangat perdamaian dan tetap menghargai keunikan dan keragaman masing-masing tradisi. Karena jasanya dalam menebarkan perdamaian, toleransi, dan pluralisme, kematian Brother Roger pada tahun 2005 diratapi banyak orang. Pope Benedict XVI menyebutnya sebagai “one of the best-loved Christian leaders of our time.” Sementara Jacques Chirac menggelarinya “one of the most remarkable servants of the values of respect and tolerance,” Gerhard Schroeder menyebutnya sebagai “one of the great contemporary personalities of religious life.”

Sebagaimana Taize yang damai dan pluralis, Mopuya, sebuah dusun terpencil di kecamatan Dumoga Utara, kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara juga memiliki karakter yang kurang lebih sama: damai, toleran, dan pluralis. Desa ini dihuni penduduk dari berbagai agama: Islam, Hindu, Katolik, dan Kristen dari berbagai denominasi. Uniknya mereka membangun tempat ibadah bersama-sama, dan bahkan di desa Mopuya Selatan tempat-tempat ibadah itu dibangun dalam satu komplek. Di komplek ini terdapat Masjid Jami’ al-Muhajirin, Pure Puseh Umat Hindu, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja Pantekosta, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, dan GMIBM PGI Jemaat Immanuel Mopuya (Jawa Pos, 18 Maret 2008). Tidak sebatas itu, komunitas agama di desa ini juga saling merayakan hari-hari besar agama masing-masing dalam semangat penuh kebersamaan dan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa ini pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada waktu itu, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khusunya komunitas Mopuya.

***

Saya sengaja memaparkan kehidupan keberagamaan komunitas Taize dan Mopuya karena melihat di Indonesia khususnya masalah perdamaian dan pluralisme berbasis agama saat ini sedang dalam tahap memprihatinkan. Banyak umat beragama baik Muslim maupun non-Muslim yang salah baca dalam menilai konsep pluralisme. Kelompok keislaman tertentu di Tanah Air misalnya merasa terancam dengan paham pluralisme yang mereka baca sebagai penegasian kebenaran agama Islam. Bahkan MUI secara serampangan menyamakan pluralisme dengan “sinkretisme”—sebuah pencampur-adukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial, menurut mereka, bertentangan dengan Islam sebagai “satu-satunya jalan kebenaran.” Kelompok Kristen konservatif juga menganggap wacana pluralisme sebagai ancaman atas identitas, sendi-sendi dan nilai-nilai kekristenan yang mereka yakini kebenarannya mutlak dari Tuhan, mengancam doktrin evangelisme dan missionarisme, dll, karena itu mereka juga menyerang kelompok Kristen moderat-pluralis dan menganggap mereka telah menyeleweng dari ajaran traditional Kristen.

Kedua kelompok konservatif Kristen dan Islam ini sejauh yang saya tahu telah “salah baca” (misreading) dan salah pengertian (misunderstanding) terhadap konsep dan paham pluralisme. Profesor Diana Eck yang sedang memimpin program “Pluralism Project” dari Harvard Divinity School, memberikan penjelasan menarik mengenai pemahaman pluralisme ini. Menurutnya pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity, keragaman. Diversity, kata Eck, adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya. Sementara pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masayarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas itu. Dia memberi contoh di salah satu negara bagian AS, Maryland, tepatnya di sebuah jalan di Silver Spring terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti the Vietnamese Catholic church, the Cambodian Buddhist temple, the Ukraine Orthodox church, the Muslim Community Center, the Disciples of Christ church dan the Mongol Mandir Hindu temple. Ini adalah contoh diversity atau plurality tetapi tanpa engagement (baca, dialog intensif atau pergumulan terus-menerus) antara satu komunitas dengan lainnya, kata Eck, maka plurality itu tidak akan menjadi pluralism. Jadi kata kunci dari pluralisme adalah “pergumulan kreatif-intensif” terhadap fakta pluralitas itu. Tidak seperti plurality yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given), pluralisme adalah sebuah “prestasi” (achievement) bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan apa yang oleh Eck disebut common society.

Lebih lanjut Eck yang juga penulis buku Encountering God ini memberi empat karakteristik tentang pluralisme. Pertama, pluralisme berbeda dengan keberagaman itu sendiri melainkan (pluralisme) adalah “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman. Kedua, pluralisme tidak sekedar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference). Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi “the encounter of commitments.” Dalam paradigma baru pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti dari pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain. Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama sebab perbedaan itu adalah nature (sunatullah) yang tidak bisa diabaikan, akan tetapi perbedaan agama itu dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu. Dalam konteks ini, seorang pluralis akan memandang agama sebagai “unite factor” ketimbang “divide one.” Empat, pluralisme dibangun diatas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, take and give, criticism and self-criticism. Dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus mengungkapkan common understanding dan fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai.

Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Inilah makna ketika Alqur’an menegaskan “bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal” (Q. 49:13). Kalimat “berbangsa-bangsa” dan “bersuku-suku” adalah fakta diversity atau plurality sementara “untuk saling mengenal” (ta’aruf) adalah pemahaman tentang pluralisme tadi. Karena itu fakta pluralitas itu baru bisa dipahami jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan ruh dari pluralisme. Sementara dialog bisa dimengerti sebagai “a way of knowing or understanding.” Dalam kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih tinggi dari toleransi. Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme mengsyaratkan keduanya. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antar-agama, tetapi tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antar-agama. Sebab “budaya toleransi” (culture of tolerance) ini masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.

***

Dalam banyak hal hubungan inter dan antar-agama di Indonesia dan dimanapun saat ini masih berada pada level toleransi ini belum sampai ke tahap pluralisme. Karena itu dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan dan kesalahpahaman antar dan inter umat beragama baik di tingkat elit lebih-lebih di level akar rumput. Program-program seperti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta serta Indonesian Consortium for Religious Studies yang didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Yogyakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di negeri ini juga perlu ada mata pelajaran cross-cultural or religious understanding yang melibatkan non-Muslim dalam proses pengajaran. Demikian juga perguruan tinggi-perguruan tinggi non-Islam perlu melibatkan para sarjana Muslim dalam proses pengajaran. Keterbukaan menjadi kata kunci sekaligus pra syarat religious encounter yang sehat dan dinamis serta jalan terciptanya perdamaian global antar umat beragama.

Di tingkat akar rumput, komunitas ekumeni Taize dan kelompok agama Mopuya juga bisa dijadikan contoh baik bagaimana agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak perdamaian, persatuan, toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor kekerasan, perpecahan, dan anti-pluralisme sebagaimana dilakukan kelompok konservatif dan fundamentalis agama. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, aplikasi paham pluralisme seperti dipaparkan dengan baik oleh Eck dan dipraktekkan dengan tulus oleh masyarakat Taize dan Mopuya adalah wajib ain hukumnya dan menjadi tanggung jawab masing-masing umat beragama.***

Source: Jawa Pos, 27-28 Mei, 2008, cek juga di http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/743/52/