Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:03 AM

Kekerasan Sektarian

dan Jalan Perdamaian di Iraq

Oleh Sumanto Al Qurthuby

Kekerasan sepertinya tidak pernah bosan menyapa Iraq. Siapapun yang membaca sejarah Iraq akan segera tahu bahwa di negeri tempat munculnya legenda “Taman Eden” itu selalu diwarnai konflik kekerasan. Maka tidak terlalu meleset jika Samir al-Khalil menyebut Iraq sebagai Republic of Fear. Sejak invasi AS 2003 lalu, negeri yang jaman dulu kala bernama Mesopotamia ini kembali dilanda kekerasan. Bahkan kekerasan di negeri ini semakin mengeras dan meruncing sejak beberapa pemimpin negara Islam (baik pemimpin politik maupun agama) ikut mengompori dan intervensi urusan dalam negeri Iraq dengan dalih keagamaan. Misalnya, para pemimpin Syi’ah di Lebanon, Syria, dan terutama Iran, ikut mem-back up kepemimpinan perdana menteri Iraq Nouri al-Maliki yang berafiliasi Syi’ah dan memberi support kepada “Tentara Mahdi”. Iran bahkan menuduh para pemimpin Sunni di kawasan Arab dan Timur Tengah sebagai sponsor gerakan kelompok militan jihadi yang berhaluan Sunni di Iraq. Iran juga menuding para tokoh agama Sunni sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas fatwa-fatwa yang menghalalkan pembunuhan atas pengikut Syi’ah.

Sementara itu para pemimpin Sunni Arab menyebut milisi Syi’ah, di bawah kontrol Iran, sebagai otak meruncingnya kekerasan di Iraq. Meskipun sebetulnya rezim Syi’ah Iraq saat ini merupakan “boneka AS”, di mata orang-orang Sunni Arab, pemerintahan Iraq tidak lebih merupakan representasi ekspansi kekuasaan politik Iran. Mereka pun kemudian ramai-ramai membangkitkan memori lama persetruan dengan Syi’ah terutama Iran. Raja Jordan Abdullah misalnya jauh-jauh hari telah memberi warning munculnya “bulan sabit” Syi’ah dari Iran lewat Iraq, Syria dan Lebanon. Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan orang-orang Syi’ah lebih loyal ke Iran ketimbang negara dimana mereka tinggal. Setali tiga uang, Raja Saudi Arabia Abdullah kepada sebuah surat kabar di Kuwait juga menganggap Iran yang ikut memperkeruh masalah politik di Iraq dan menuduh “negeri para mullah” itu telah menyebarkan paham Syi’ah di negara-negara berbasis Sunni.

Tidak sebatas para pemimpin politik, para juru dakwah dan ulama-ulama Sunni seantero Arab pun, seperti dilaporkan Time (February 22, 2007), juga ikut menyebarkan sentimen anti-Syi’ah dengan mengatakan bahwa rangkaian pembunuhan berdarah di Iraq sebagai ethnic cleansing yang dilakukan “orang-orang Persia.” Kata “Persia” adalah sebutan untuk kawasan yang sekarang bernama Iran sebelum ditaklukkan tentara Islam. Maka dengan menyebut nama “Persia” mengandaikan bahwa orang-orang Syi’ah sebagai “kafir dan terkutuk” (karena itu “halal darahnya”). Para pengikut Sunni, terutama sayap garis keras Wahabi dengan dukungan penuh kerajaan Arab Saudi, memang dikenal sebagai sponsor utama kaum militan Sunni Jihadi di Iraq.

Fenomena ini sebagai bagian dari ironi Arab-Sunni. Dulu semasa rezim Saddam yang Arab-Sunni dan otoriter itu masih berkuasa, mereka tinggal diam meskipun kekejaman demi kekejaman sering dilakukan mendiang Saddam baik terhadap Syi’ah maupun suku Kurdi. Kekerasan dan kekejaman terhadap suku Kurdi, meskipun mereka juga Sunni, dilakukan sebagai teror untuk melemahkan kekuatan politik mereka yang sejak dulu berniat mendirikan negara otonom Kurdistan. Selain itu politik represif Saddam juga dimaksudkan agar ia bisa mengontrol minyak yang sangat melimpah di kawasan yang dihuni suku Kurdi di Iraq utara. Sementara kekerasan terhadap kelompok Syi’ah dilakukan sebagai teror untuk melemahkan kekuatan politik mereka sehingga mau tunduk dibawah otoritas politik Sunni Saddam.

Relasi Sunni-Syi’ah

Pada awal-awal pemerintahan Saddam, hubungan Sunni-Syi’ah sebetulnya sempat terjalin dengan baik. Orang-orang Syi’ah sempat menikmati pemerintahan baru Saddam yang mengusung jargon “Kesatuan, Kebebasan dan Sosialisme.” Jargon yang dikibarkan Partai Ba’th ini di satu sisi untuk mewujudkan ide nasionalisme dan sosialisme Arab yang diidealkan oleh pendiri gerakan ini, yakni Michel Aflaq dari Syria, di pihak lain untuk melawan kekuatan apa yang mereka sebut “demokrasi borjuis” yang dikendalikan Barat. Jargon ini sempat mengantarkan era “bulan madu” antara Sunni-Syi’ah di Iraq, sebab meskipun mereka berbeda secara teologis keduanya sama-sama beretnik Arab yang berjumlah sekitar 75-80% di negeri itu.

Namun era bulan madu itu tidak berlangsung lama sebab Saddam khawatir gerakan “Revolusi Islam Iran” yang dipimpin Imam Khomeini pada bulan February 1979 akan merembet ke Iraq. Kekhawatiran itu beralasan sebab Syi’ah adalah kekuatan mayoritas di sana, yakni sekitar 60% dari total populasi Iraq yang berjumlah hampir 27 juta (census July 2006). Maka malapetaka pun datang. Saddam kemudian menghabisi para ulama berpengaruh Syi’ah termasuk Muhammad Baqir al-Sadr, paman Muqtada al-Sadr, pemimpin “Tentara Mahdi” saat ini. Ayah Muqtada sendiri juga dibunuh oleh Saddam. Tidak sebatas itu, Saddam juga mendeklarasikan perang melawan Iran yang berlangsung selama 8 tahun (1980-1988) yang menyebabkan ratusan ribu pengikut Syi’ah menjadi korban.

Sejak itu dendam kesumat antara keduanya seakan susah dihilangkan dari bumi Iraq. Kelompok Syi’ah sebetulnya beberapa kali berusaha mendongkel kekuasaan Saddam tetapi selalu gagal. Maka kehadiran tentara AS dan sekutunya untuk menggulingkan Saddam pada mulanya disambut dengan riang gembira baik oleh kelompok Kurdi maupun Syi’ah yang sama-sama tertindas. Kehadiran mereka dianggap sebagai “pahlawan” yang membebaskan mereka dari belenggu Saddam persis seperti orang-orang Indonesia yang “lugu” yang menyambut kehadiran tentara “saudara tua” Jepang dengan suka cita karena dianggap sebagai pahlawan yang membebaskan mereka dari penjajahan Belanda. Namun bayangan “ratu adil” yang mereka impikan ternyata tidak kunjung tiba. Bahkan sebaliknya kedatangan tentara sekutu pimpinan AS ini justru membuat peta perdamaian Iraq bertambah runyam. Dengan kata lain, kehadiran AS bukan bagian dari solusi tetapi masalah itu sendiri.

Saddam memang berhasil ditaklukkan tetapi kekuatan “Saddamisme” masih menggurita. Kelompok Sunni yang tergusur terus melakukan penyerangan dan teror bom bunuh diri untuk melemahkan kekuatan AS dan otoritas Syi’ah. Penyerangan itu semakin brutal sejak peristiwa penggantungan Saddam yang sangat kasar dan tidak menghormati identitas keagamaan Sunni. Sebaliknya, Syi’ah juga melancarkan aksi serupa dengan target pengikut Sunni maupun tentara AS. Bagi pengikut Syi’ah (terutama faksi ekstremis), inilah saatnya untuk “balas dendam” dengan Sunni. AS juga menjadi target serangan sebab di mata Syi’ah, keengganan AS untuk hengkang dari Iraq dianggap sebagai bentuk intervensi masalah dalam negeri pemerintahan Iraq yang kini dikendalikan oleh “jaringan” Syi’ah.

Sementara itu di pihak AS, serangan terus dilakukan dengan target milisi Syi’ah maupun kelompok jihadi Sunni. Ambisi Bush adalah menjadikan Iraq sebagai negara boneka sebagaimana Afghanistan yang mau “diatur” terutama pengaturan masalah minyak. Selain itu Bush ingin menunjukkan “prestasi” di mata publik Amerika terutama para pendukungnya jika berhasil “mengendalikan” Iraq. Citra pemerintahan Bush yang kini sedang bopeng itu bisa “ditambal” kalau ia mampu mengontrol kekuasaan di Iraq dengan begitu peluang kubu Republik untuk mempertahankan Gedung Putih tahun 2008 mendatang masih terbuka. Itulah sebabnya kenapa Bush berusaha keras memaksakan kebijakan ndableg pengiriman 21 ribu tentara tambahan ke Iraq (surge) sekaligus usulan dana tambahan perang sebesar 2.100 trilyun meskipun gelombang protes terus mengalir deras ke Gedung Putih.

Menuju Perdamaian Iraq

Apa yang terjadi di Iraq saat ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut Johan Galtung sebagai “lingkaran setan kekerasan” (vicious cycle of violence) yang tidak hanya melibatkan kekuatan politik (baca, “kekerasan struktural”) tetapi juga otoritas agama (baca, “kekerasan kultural”). Lalu bagaimana mewujudkan perdamaian di negeri “1001 Malam” yang porak-poranda akibat kekerasan politik dan agama itu? Memang tidak ada “solusi magis” untuk menyelesaikan masalah konflik kekerasan (violent conflict) dimana pun termasuk Iraq. Tetapi jalan perdamaian selalu terbuka jika orang-orang yang berkompeten mempunyai komitmen kuat untuk merajut “perdamaian berbasis keadilan” di Iraq.

Jalan perdamaian dimaksud, al, pertama, bersihkan security forces Iraq, baik polisi maupun tentara, dari sektarianisme. Ada sekitar 311.000 tentara dan polisi Iraq yang dilatih AS. Masalahnya adalah mereka lebih taat dan loyal pada pemimpin sekte mereka atau para bos milisi ketimbang pada pemerintah Iraq. Maka tentara atau polisi yang terlibat kejahatan sectarian, seperti dikatakan analis politik Tahseen al-Shekhli, harus dihukum bukan malah dibiarkan di jalan yang justru semakin menambah kekerasan. Kedua, libatkan negara-negara tetangga Iraq seperti Iran, Syria, Kuwait, Turki, dan Jordan dalam process perdamaian. Seperti dikatakan Presiden Jalal Talabani kepada BBC bulan lalu, “if Iran and Syria were involved, it will be the beginning of the end of terrorism and securing Iraq within months.” Ketiga, organisasi-organisasi international yang relatif netral seperti PBB dan OKI harus secara aktif mendorong Sunni-Syi’ah-Kurdi agar menyelesaikan masalah “rumah tangga” mereka secara damai dan adil melalui jalan negosiasi politik yang konstruktif. Keempat, negara-negara berbasis Islam yang cukup moderat dan netral seperti Indonesia dan Malaysia juga harus terlibat secara aktif dalam proses perdamaian. Kehadiran negara-negara ini dalam proses perdamaian Iraq menjadi sangat bermakna di tengah meruncingnya kekerasan sectarian di sana. Kelima—dan ini yang sangat penting—sejak kehadiran AS merupakan bagian dari problem bukan solusi maka tidak ada jalan lain selain mengubah kebijakan dari “solusi militer” ke “solusi politik” dengan menekankan pada fungsi diplomacy, development, dan rekonsiliasi.

Dalam kerangka “solusi politik” ini, pemerintah AS harus (1) menarik militer secara bertahap dari Iraq seperti diinginkan oleh mayoritas publik AS; (2) mengimplementasikan rencana diplomatik untuk memadamkan kekerasan internal Iraq dengan melibatkan kelompok yang bertikai, terutama sayap garis keras Sunni dan Syi’ah baik di Iraq maupun negara-negara tetangga terutama Syria, Iran, dan Arab, ke meja perundingan; serta (3) mengalokasikan dana untuk program pengembangan ekonomi, asistensi, rekonsiliasi, dan rekonstruksi Iraq. Hanya dengan jalan non-kekerasan, kata Gandhi, kekerasan bisa diselesaikan.***

This entry was posted on 6:03 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: