Author: Sumanto Al Qurtuby
•2:06 PM
Wawancara

Umat Islam selalu identik dengan kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan yang dibentuk oleh “budaya” Islam dan masyarakat Muslim itu sendiri yang anti-kemajuan. Masalah kemiskinan yang melanda kawasan Islam dan kaum Muslim ini bukan semata-mata masalah “kultural”, tetapi juga problem “struktural” (misalnya menyangkut “kebijakan ekonomi”) di masing-masing negara yang berbasis umat Islam. Kalau kita kaitkan dengan jihad, bagaimana kita mesti memaknai jihad yang relevan untuk mengatasi masalah tersebut? Berikut perbincangan Reporter Center for Moderate Muslim Indonesia bersama Sumanto Al Qurtuby, Sekretaris Jenderal Komunitas Nahdhatul Ulama di Amerika Serikat dan Kanada, dan kandidat Ph.D. di Boston University:



“Pahami Jihad Secara Konstruktif”


Selain sebagai penganut agama mayoritas, umat Islam juga mayoritas dilanda kemiskinan, mengapa terjadi demikian?

Kemiskinan merupakan produk atau akumulasi dari banyak faktor tidak bisa dijelaskan dari satu sudut pandang saja. Kemiskinan juga bukan “monopoli” umat Islam saja. Ia terjadi dimana-mana: dari Afrika Utara yang mayoritas Muslim sampai Amerika Selatan yang didominasi Kristen (Katolik). Ia juga menimpa sebagian besar umat manusia di planet bumi ini, baik yang beragama maupun tidak beragama. Penjelasan ini penting karena ada sebagian orang, termasuk para sarjana, baik di Barat maupun Timur, yang berasumsi bahwa kemiskinan merupakan “hak paten” kaum Muslim saja.

Bagi sebagian sarjana Barat yang dipengaruhi teori-teori modernisasi sejak tahun 1950an, umat Islam merupakan identik dengan kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan yang dibentuk oleh “budaya” Islam dan masyarakat Muslim itu sendiri yang anti-kemajuan. Para sarjana ini sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog Max Weber ((1864-1920) yang menempatkan “dunia Timur” (termasuk China yang Konfusius, India yang Hindu, dan juga umat Islam) sebagai dunia yang tidak bisa maju karena “watak kulturalnya” yang “unworldly,” kontras dengan dunia Barat, khususnya negara-negara yang dipengaruhi tradisi Protestan yang sangat “worldly.” Lebih lanjut Weber menjelaskan bahwa kemajuan ekonomi dan kemakmuran negara-negara Eropa Barat ini adalah produk dari “kapitalisme modern,” yang tumbuh karena adanya semacam “capitalist ethos.” Nah “etos kapitalis” ini muncul ke permukaan karena didorong oleh doktrin dan etika agama Protestantism (khususnya Calvinism) yang menekankan pada aspek “worldliness” tadi.

Sementara itu di “dunia Timur,” masih menurut Weber dalam beberapa karyanya seperti The Religion of China atau The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, kapitalisme modern yang merupakan akar kemajuan ekonomi tidak bisa tumbuh karena di kawasan ini tidak ada agama yang “amenable to capitalist development” karena wataknya yang asketis, hirarkhis, dan unearthly. Karakteristik agama-agama Timur (Buddhism, Hinduism, Taoism, Confucianism, Islam) inilah yang oleh Weber dipandang sebagai penghalang munculnya spirit kapitalisme modern di negara-negara non-Eropa. Oleh karena watak agama, kultural, dan peradaban non-Eropa yang berbeda dengan Eropa inilah, maka “Protestant ethics” dan “capitalist ethos” hanya menjadi pengalaman unik dan eksklusif Eropa (dan negara-negara yang didominasi Protestan seperti Amerika Serikat) yang tidak pernah travel ke masyarakat non-Eropa (dan non-Protestant).

Meskipun pendapat dan prediksi Weber ini tidak 100% keliru tapi banyak yang meleset, dan karena itu sudah banyak ilmuwan sosial di abad ke-20 yang mengkritik teori-teori klasik Weber ini, antara lain yang paling menonjol adalah Robert Bellah (UC Berkeley), Stanley Tambiah (Harvard University), dan Peter Berger (Boston University). Prof. Berger misalnya suatu saat menyindir Weber dengan mengatakan, “I have imagined a number of times that the good German professor (Max Weber) would come back to life today, say on top of a high-rise office building in downtown Taipie, that he would take one look out the window and say, “Well, I was wrong!” (Berger 1988: 7). Taiwan, China, Hong Kong, Korea, Jepang, Singapore, bahkan India saat ini yang ekonominya melambung menjadi “saksi bisu” bahwa tesis Weber di atas melenceng. Spirit “kapitalisme modern” atau “etos kapitalis” ternyata juga tumbuh subur di negara-negara dan komunitas berbasis non-Protestan, termasuk kaum Muslim. Untuk konteks Islam Indonesia, Muhammadiyah adalah salah satu contoh terbaik tentang komunitas Muslim yang mampu mengawinkan “etika dan doktrin agama” (Islam) dengan “etos/spirit kapitalisme” tadi yang oleh anthropolog Stanley Tambiah (1973: 17) didefinisikan sebagai “rational economic activity.”

Karena itu saya cenderung berpendapat bahwa masalah kemiskinan yang melanda kawasan Islam dan kaum Muslim ini bukan semata-mata masalah “kultural” seperti yang diuraikan Weber tetapi juga problem “struktural” (misalnya menyangkut “economic policy”) di masing-masing negara yang berbasis umat Islam. Problem kemiskinan di Libya yang sosialis, misalnya, tentu akan berbeda dengan Afghanistan, Pakistan, Bangladesh, Iran, Iraq, Afrika Utara, dan seterusnya. Kita tidak bisa, orang Jawa bilang, “menggebyah uyah” soal akar-akar kemiskinan kaum Muslim ini.


Bagaimana penilaian Anda terhadap kebijakan pemerintah mengenai pembangunan ekonomi masyarakat?

Maaf saya bukan ekonom jadi tidak bisa menilai baik-buruk atau mengukur sukses-tidaknya kebijakan pemerintah kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Tetapi secara umum, terlepas dari masalah masih banyaknya angka kemiskinan dan pengangguran, saya melihat ada perkembangan dan kemajuan cukup signifikan di bidang perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Sewaktu Pak Alwi Shihab berkunjung ke AS, kami dari Komunitas NU AS-Kanada mengadakan tele-conference dengan beliau menyangkut, antara lain, masalah perkembangan ekonomi Indonesia. Sebagai Utusan Khusus (special envoy) Pemerintah RI untuk urusan negara-negara Arab dan Timur Tengah khususnya di bidang kerja sama ekonomi (economic cooperations), tugas Pak Alwi antara lain melakukan lobi-lobi kepada sejumlah pemerintah dan pengusaha di Arab dan Timur Tengah untuk melakukan kerja-sama ekonomi dan investasi di Indonesia, dan menurut beliau hasilnya cukup bagus. Menurut beliau respons dan minat pemerintah dan sektor swasta negara-negara di Timur Tengah untuk membangun kerja sama ekonomi dengan Indonesia cukup tinggi. Pak Alwi menjelaskan sudah ada dua bank Timur Tengah yang sudah membuka cabang di Indonesia, dan akan segera menyusul dua bank lagi. Para pengusaha Timur Tengah juga beinvestasi untuk sektor turisme di Lombok, agro industri di Fak Fak Papua, infrastruktur properti di Sulawesi, Kalimantan, dan sebagainya. Sayangnya menurut beliau, para birokrat Indonesia sangat lamban dalam merespons minat berinvestasi para pengusaha Arab dan Timur Tengah ini. Memang tidak ada “resep jitu” untuk membangun ekonomi sebuah negara. Baik sosialisme maupun kapitalisme memiliki nilai plus-minusnya. Karena itu semua membutuhkan proses panjang untuk bisa mencapai kemajuan.

Beberapa kalangan menggagas “ekonomi kerakyatan”, apa bagaimana sebetulnya gagasan itu?

Sekali lagi saya bukan ekonom jadi bukan wilayah saya untuk membahas secara detail dan akademis tentang gagasan “ekonomi kerakyatan” ini. Sebagai orang awam saya hanya bisa bilang bahwa kebijakan ekonomi memang harus bertumpu pada kebutuhan rakyat banyak. Karena profesi rakyat kita beragam mulai petani, nelayan, buruh, pedagang dan lain-lain, maka tugas pemerintahlah untuk mapping kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) rakyat yang beraneka ragam tadi sehingga diharapkan kebijakan negara/pemerintah bisa “tepat sasaran” dalam pengertian menyentuh kebutuhan “rakyat banyak” tadi, jangan sampai hanya menguntungkan satu kelompok tertentu atau bahkan segelintir orang saja.


Dari sisi ajaran Islam, bagaimana Islam mengatur soal pembangunan ekonomi umat?

Satu hal yang sangat mendasar, sejauh yang saya pahami, Islam tidak mengatur atau merekomendasikan sebuah sistem ekonomi tertentu. Islam hanya memuat “nilai” bukan sistem. Karena itu kita lihat negara-negara yang didominasi umat Islam seperti Iran, Lybia, Turki, Arab Saudi, Mesir, Indonesia, dan seterusnya memiliki “sistem ekonomi” yang beragam. Nilai-nilai yang ditekankan Islam adalah “keadilan” dan “egalitarianisme.” Ini misalnya tersirat dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat tujuh dimana Allah SWT melarang terjadinya akumulasi kapital atau perputaran modal pada segelintir orang saja. Kiai Masdar F. Mas’udi pernah mengulas masalah komitmen Islam pada nilai-nilai keadilan universal dan egalitarianisme tadi dengan sangat baik dan bernas dalam buku klasiknya, Agama Keadilan. Karena itu saya merekomendasikan buku ini untuk dijadikan sebagai “landasan teoretik” bagi siapa saja yang ingin melihat perspektif Islam tentang pembangunan ekonomi khususnya dan masalah-masalah politik secara umum.

Kita tahu di antara missi Nabi Muhammad SAW yang merupakan pewaris Dinasti Quraisy yang didirikan Qushayi bin Kilab pada tahun 480 M adalah untuk menyelamatkan rakyat kecil yang tertindas oleh gempuran sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif. Pada waktu itu, sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir kapitalis yang mempunyai modal (capital), sementara rakyat banyak tetap hidup dalam penderitaan. Di tengah kultur Arab yang arogan dan penuh dengan ketidakadilan sosial, penindasan terhadap kaum lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat banyak, diskriminasi suku dan gender, pemupukan kapital, pemusatan kekuasaan dan lain-lain yang semuanya mengarah pada struktur sosio-ekonomi bangsa Arab yang menindas kala itu, Nabi Muhammad hadir dengan sejumlah gagasan cemerlang, egaliter, dan reformatif. Kehadiran Muhammad dengan missi Islam-nya adalah untuk membebaskan manusia, istilah Al-Qur’an, dari “kegelapan” (zulumat) menuju “cahaya” (nur): dari sistem sosial-politik-ekonomi yang diskriminatif dan menindas menuju sebuah sistem yang berkeadilan sosial. Inilah, antara lain, yang menjadi missi Islam sebagaimana tersirat dalam QS al-A’raf: 157 dan QS al-Hasyr: 7. Karena itulah jika ada kelompok umat Islam di dunia modern ini hendak membangun “sistem kelas” yang hirarkis atau sistem ekonomi yang tidak adil, maka berlawanan dengan ruh atau spirit ajaran Islam ini.



Jihad yang bagaimana yang sesuai dengan kondisi dan situasi kaum Muslim saat ini?

Menurut saya jihad saat ini harus dipahami secara lebih luas, konstruktif, dan kontekstual untuk mengatasi problem-problem mendasar umat Islam dewasa ini mulai dari kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan seterusnya. Apa yang dilakukan oleh peraih nobel perdamaian tahun 2006 dari Bangladesh, Muhammad Yunus, yang telah membantu mengatasi masalah kemiskinan dan problem ekonomi jutaan rakyat Bangladesh dan negara-negara lain melalui Grameen Bank-nya adalah salah satu bentuk jihad yang perlu diteladani oleh tokoh dan kaum Muslim lain. Tokoh Muslim yang dijuluki Banker to the Poor ini percaya bahwa pengentaskan kemiskinan adalah salah satu cara efektif untuk menciptakan perdamaian di muka bumi. Demikian juga apa yang dilakukan oleh Abdul Sattar Edhi melalui “Edhi Foundation” di Pakistan yang membantu mengentaskan masalah kemiskinan dan problem keumatan lain baik di Pakistan maupun di negara-negara lain adalah contoh lain dari implementasi jihad yang positif dan membangun.

Apa yang mesti dilakukan oleh partai atau ormas-ormas Islam dalam upaya memberdayakan perekonomian umat?

Sudah semestinya partai atau ormas berbasis Muslim khususnya untuk berkerja sama dalam rangka memperjuangkan umat Islam yang masih tertinggal termasuk di bidang ekonomi, jangan hanya berkelai sendiri-sendiri dengan mengatasnamakan kaum Muslim tertentu, ideologi tertentu, mazhab tertentu, dan seterusnya. Semangat “aliranisasi” harus diminimalisir untuk kemudian fokus pada kepentingan dan kebutuhan rakyat secara luas.

Jika perekonomian umat stabil, apakah itu mendukung berkurangnya tindak kekerasan yang selama ini lebih banyak kaitannya dengan persoalan ekonomi?

Faktor kemiskinan memang ada dalam tindakan konflik dan kekerasan, tapi ini hanya “peripheral issue” saja. Banyak rakyat dan kawasan miskin tapi tidak terjadi tindakan kekerasan. Menganggap kemiskinan sebagai penyebab kekerasan (violence) sama saja dengan mengkambinghitamkan rakyat kecil yang dalam banyak hal justru sering menjadi korban permainan kelompok-kelompok tertentu baik di tingkat nasional, regional, maupun lokal. Kekerasan, seperti kemiskinan itu sendiri, adalah masalah yang sangat kompleks. Kekerasan tidak hanya terjadi di daerah kumuh tapi juga di kawasan elit. Jadi tidak ada jaminan bahwa kestabilan ekonomi akan berdampak pada terciptanya masayarakat yang peaceful dan non-violent. Meski begitu, kesejahteraan rakyat tentu saja akan berdampak positif dan menjadi salah satu “ingredient” bagi social stability. []


Boston, 13 May, 2009

Sumber: www.cmm.or.id
Author: Sumanto Al Qurtuby
•8:00 PM

Strengthening the Pacifist Islam


Pacifism (Latin: pacificus) is the opposition to war or violence as a means of settling disputes (Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 845). This term refers to the notion and movement of nonviolent resistance against tyranny, despotism, and authoritarianism of the rulers –either political or religious ones. Unlike the radicals who choose violence, the pacifists preferred peaceful action. However, pacifism is not identical with quietism as accused by the anti-pacifism group.

Their opponents ridiculed pacifism as “passivism”, passive attitude against injustice. They accused the pacifists of prioritizing peace and subordinating justice. These accusations from the radicals and proponents of war were unjustified, biased, and a “misreading” upon the basic meaning of pacifism.

A thinker and advocate of pacifism, Gene Sharp -a senior scholar in Albert Einstein Institution in Boston- has clarified about the nonviolent notion and movement in his book, The Politics of Nonviolent Action. Pacifism does not mean passivity or submission toward injustice and any arbitrary actions. Pacifism does not neglect justice.

The pacifists were aware that justice is an important element of peace. Peace cannot be achieved or is hard to achieve without the settlement of justice. Peace is not only indicated by the absence of war, but by the existence of justice as well. Therefore, this group works in two levels - peace and justice- and in what the Thailand Muslim peace activist, Chaiwat Satha-Anand (Quader Muheideen), has called as “active nonviolent resistance”.

Anti-War Movement and Violence

The Pacifists resisted against war, imperialism, colonialism, militarism, and the use of violence. In US, coalition of the pacifists of various religious backgrounds becomes important elements of the opposition against George Bush’s ‘war on terror’ agenda. The element of this group, like Christian Peacemakers, coordinated anti war movement throughout demonstrations, petition, lobby, and anti war messages in TV, radio etc.

In Christianity, pacifism is firmly rooted in the figure of Jesus who was anti-violence and commanded his followers to love their enemies and pray for those who persecute them. Thus resistance against violence, as John Howard Yoder said, is an “intrinsic element of Christian profession” (Zimmerman 2007, 16).

Christian pacifists believe that any Christian who participate or endorse any action that promotes conflict and violence (including war) is a fundamental corruptor of Christian theology. They harshly criticized Bush and the proponents of war (mainly the conservative Christian church).

The tradition of Pacifism is also firmly rooted in Judaism. The rabbinic texts for instance mentioned about “Gadol hashalom” –peace is the highest value. Hebrew Bible also consisted of principles of peace, justice, and anti-violence (for instance Jer. 16:5, Ps 85.11). These principles inspired Jewish pacifist like Rabi Jeremy Milgrom, the founder of Clergy for Peace, an ex-Israeli soldier who now engages in peace movement and human right bodies supporting the Arab-Jews reconciliation.

Hence, the tradition of pacifism in both religions was strongly embedded within their theological concepts. The pacifists of both religions, along with Muslim pacifists who were endorsed by the spirit of anti-war and love of peace, work together for peace making such as Seeds of Peace organization in Palestine and Israel. They were aware that violence in the Middle East contained of political-economical incentive rather than religious one. In many cases, religion is a “free rider” of conflict.

Pacifism in Islam

Like Judaism and Christianity, Islam is conceptually close to the tradition of pacifism. Quran emphasized the teaching of peace and justice. The word “Islam” in The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic means “submission, acceptance and reconciliation” (upon God’s will) besides “peace, salvation, safety, welfare, etc” (Cowan, ed., 1976: 425-426).

Peace is very essential in Islam since it is embedded within the doctrine of tawheed which means “unity of Godhead”, “unity of humanity”, “unity of creation” and “unity of existence or wahdatul wujud”. Quran asserted: “Unto Allah belong the East and the West” (Q.S. 2:115). Tawheed is the “principle of unity” and therefore a fertile land for the growth of spirituality and Islamic faith.

Because of this principle of “unity”, Islam regards plurality, harmony, tolerance, and human relation as the fundamental values of peace. The principle of “unity” also asserted that human soul is “sacred” and therefore must be preserved by all mankind. Quran said: “…that whosoever killed a human being for other than manslaughter or corruption in the earth, it shall be as if he had killed all mankind, and whoso saved the life of one, it shall be as if he had saved the life of all mankind.” (QS. 5:32)

Prophet Muhammad was totally aware of the importance of peace thus he had been holding dialog and building sound relationship with Jewish and Christians throughout his life as narrated in his biographies written by Ibn Ishaq, Ibnu Hisyam, al-Baladhuri, or al-Tabari. In A History of Jews of Arabia, Gordon Newby affirmed the harmonious relationship between Prophet with Jewish community.

Probably, the most monumental event is the Mecca Invasion when the Prophet called his enemies for peace and reconciliation. On the “occupation” of Mecca, the Prophet forbade destruction of Jewish and Christian symbols, as narrated by Martin Lings in Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Following the death of Prophet Muhammad, Muslims continued to treat the members of other religions with tolerance and respect as written by Nabia Abbot in Studies in Arabic Literary Papyri.

As “Muslim big family”, we have to turn to prophet Muhammad for inspiration and realize the messages of tawheed in daily life, instead of being anti non-Muslim or anti pluralism by violence act, destruction, vandalism, terrorism etc. This is an “immoral situation” as Seikh Mahmud Syaltut called it and a deviation over the Islamic spirit as religion of peace.


Source: http://islamlib.com/en/article/strengthening-the-pacifist-islam/


Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:33 AM
Pesantren Sebagai Agen “Civic Pluralism”

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Jamak diketahui bahwa Indonesia adalah negara plural yang dihuni oleh manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, dan agama. Karena watak Indonesia yang majemuk inilah, Robert W. Hefner, profesor saya di Boston University, menyebutnya sebagai negara yang kaya akan “pluralist endowments” (Hefner 2005: 122). Dari perspektif sosiologis, realitas bangsa Indonesia yang beragam ini bukan sesuatu yang “given” atau sunatullah dalam bahasa kaum santri, tetapi merupakan buah dari proses sosial-budaya yang sangat panjang yang melibatkan berbagai agen atau aktor sejarah dari berbagai suku-bangsa.

Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya yang mendapat sambutan luas dunia akademik, Southeast Asia in the Age of Commerce (dua jilid) mengatakan bahwa interaksi manusia dari berbagai latar belakang agama dan budaya di Indonesia itu sudah berlangsung ribuan tahun jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya di Palembang atau Kerajaan Majapahit di Jawa Timur berdiri. Sudah sekian lamanya, kepulauan Indonesia menjadi, meminjam istilah almarhum Denys Lombard, “carrefour” atau “persimpangan jalan” (crossroads) beragam manusia dari berbagai negara dan bangsa mulai China, Arab, Persia, Mesir, India, Bengali dan seterusnya. Para turis, pedagang, atau bahkan misionaris baik dari “luar negeri” maupun “dalam negeri” sudah terbiasa singgah di pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara yang membentang dari Aceh sampai Maluku.

Karena peran “Nusantara” sebagai carrefour aneka manusia, negeri ini mampu mengembangkan, dalam kalimat Hefner yang meminjam kata-kata Lombard, “a tradition of ethnic hybridity within civilizational commonality to go with the great cultural flow.” Lebih lanjut, proses perjumpaan manusia lintas-budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun ini kemudian menghasilkan corak kebudayaan bangsa Indonesia yang warna-warni (colorful), pluralistik, dan “fuzzy.” Harap kata “kebudayaan” (culture) disini tidak hanya dimaknai sebagai artifak saja tetapi juga “socially distributed knowledge and habits.”

Karena telah terjadi proses “peleburan” demikian lama, agak sulit untuk mencari sesuatu yang “pristine” dari tradisi dan kebudayaan tertentu di Tanah Air. Jenis lembaga dan tradisi keagamaan tertentu yang selama ini diklaim asli “pribumi” dan “unik” (baca, hanya ada di Indonesia) ternyata dijumpai juga di negara-negara lain. Sebut saja model pesantren beserta santrinya. Sebagian sarjana, seperti de Graaf dan Pigeaud, tradisi pesantren berakar kuat pada sistem mandala dan ashrama Hindu pra-Islam. Sementara itu, van Bruinessen menyatakan bahwa sistem pesantren seperti terlihat saat ini adalah umum dijumpai di Mesir dan Mekkah (khususnya model Sawlatiyya dan Darul Islam).

Demikian juga karakteristik dan praktek kaum Muslim “abangan” di Jawa yang ditandai dengan (1) pemujaan terhadap leluhur atau danyang; (2) kepercayaan atas roh dan mahluk halus melalui sacrificial meals sebagai bentuk utama ritual; serta (3) aneka mistisisme yang menekankan kesatuan kekal Tuhan dan manusia, bisa dijumpai di Mesir seperti ditunjukkan dalam buku klasik karya antropolog budaya William Lane, Manners and Customs of the Modern Egyptians (terbit pertama tahun 1836). Karena didorong ingin mendalami lebih jauh kultur masyarakat Mesir yang didominasi oleh etnik Arab ini, Lane kemudian belajar bahasa Arab dan mengadopsi “gaya hidup” Arab. Ia kemudian menerapkan sejenis “participant observation” yang menjadi ciri penelitian antropologis dengan hidup dan bergaul bersama orang-orang Mesir.

Setelah meneliti cukup lama, hasilnya sangat mengejutkan. Karya ini berhasil mendeskripsikan secara detail tata-cara, tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan masyarakat Muslim Mesir mulai tradisi pendidikan dan sistem pemerintahan sampai adat nikah, ritual kelahiran, ritus penguburan dan kematian, musik, tari, dunia megis, pemujaan roh leluhur dlsb persis sebagaimana dipraktekkan kelompok “Islam abangan” Jawa. Ini menunjukkan bahwa ide dan praktek “Islam abangan” berakar kuat pada sejarah dan tradisi Islam itu sendiri, dan bukan bersumber dari Hinduisme, animisme, atau spiritisme pra-Islam seperti dikemukakan sejumlah sarjana dan pengamat Islam Indonesia. Temuan Lane ini merontokkan tesis klasik yang dipelopori Raffles, van Leur, Kern, Kraemer, atau Geertz yang mengatakan bahwa jenis atau varian, sebut saja “Islam abangan” di Jawa khususnya adalah berasal atau warisan dari tradisi keagamaan Hindu-Budha Majapahit.

***

Perjumpaan lintas-budaya masyarakat Indonesia itu tidak hanya melahirkan bentuk tradisi dan kultur yang bersifat majemuk tetapi juga mampu menghasilkan sikap pluralis dan toleran warga di bumi pertiwi ini terhadap berbagai jenis kebudayaan yang berlainan. Seperti dilaporkan oleh para pengembara awal di negeri ini sebut saja Tome Pires (Portugis), Ma Huan (China), Edmund Scott, de Houtman (Belanda), atau Ibnu Batutah (Maghrib), penduduk setempat sudah lama terbiasa bergaul dengan orang luar dan menyerap aneka tradisi dan kebudayaan mereka: makanan, pakaian, musik, seni, sampai pengetahuan dan falsafah hidup. Tapi semua ini bukan berarti bahwa penduduk “pribumi” hanya semata-mata berfungsi sebagai “penerima pasif” bukan “aktor aktif.”
Dalam setiap pertemuan kebudayaan (cultural encounter) selalu terjadi “take” and “give.” Tidak ada istilah “center” yang dominan yang berperan sebagai “produsen budaya” dan “periphery” yang marijinal yang berfungsi sebagai “konsumen budaya.” Di tingkat masyarakat di luar “negara-kerajaan,” semua berlangusung dalam suasana dialog yang sehat, normal, natural, dan peaceful. Bahwa telah terjadi konflik dan ketegangan antara “yang global” dan “yang lokal” adalah fenomena wajar dalam sejarah interaksi antar-manusia, akan tetapi konflik itu—seperti ditunjukkan dalam studi Reid dan Lombard—tidak berubah menjadi konfrontasi dan kekerasan sosial. Respons positif atas pluralitas yang diwariskan para pendahulu bangsa itu kemudian “dilembagakan” oleh para founding fathers bangsa Indonesia dalam bentuk motto nasional yang sangat populer: Bhinneka Tunggal Ika yang bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (unity in diversity). Motto ini jelas merupakan bentuk dari kesadaran global para pendiri bangsa ini atas realitas pluralitas bangsa Indonesia.

Dalam literatur ilmu-ilmu sosial kontemporer, reaksi positif para founding fathers ini bisa disebut sebagai “pluralisme,” yang oleh Diana Eck didefinisikan sebagai “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman atau pluralitas itu. “Pluralism is not the sheer fact of plurality alone, but is active engagement with plurality,” tulis Eck (2003: 191). Prof. Eck menjelaskan panjang-lebar tentang pluralisme ini dalam bukunya yang sangat menarik: Encountering God.

Dalam moto Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna yang begitu dalam berupa kesadaran atas pentingnya menyikapi kemajemukan dalam bingkai “positif-konstruktif,” bukan sebaliknya: “negatif-distruktif” seperti ditunjukkan para kaum militan agama termasuk kalangan Muslim radikal di Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa moto itu tidak semata-mata “temuan instan” dan temporal melainkan hasil dari proses pergumulan pemikiran panjang berdasarkan pada praktek pluralis-toleran para leluhur bangsa Indonesia. Karena itu kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” itu bukan hanya semata-mata “cermin atas” keragaman bangsa akan tetapi juga mengandung sebuah harapan dan idealitas Bangsa Indonesia ke depan.

***

Setidaknya ada empat pendekatan dalam menyikapi fakta pluralitas atau katakanlah “tafsir atas pluralitas” ini:

Pertama adalah eksklusi atau pengucilan diri atas segala sesuatu yang baru dan dianggap asing yang berasal dari luar kelompok dan agamanya. Bagi kaum eksklusif, pengucilan atau “pengurungan diri” merupakan cara efektif untuk mempertahankan atau membentengi tradisi keagamaan dan kebudayaan mereka dari pengaruh unsur-unsur asing. Meskipun mereka bersikap “eksklusif” (hanya mau bergaul dengan kelompoknya sendiri) tetapi bukan berarti mereka bersikap keras terhadap orang dan kelompok lain. Contoh dari bentuk eksklusi ini adalah komunitas Amish dalam tradisi Kristen Amerika. Mereka tinggal jauh dari kota, mengisolasi diri dari keramaian, dan hidup mengelompok dengan cara membentuk “koloni” sendiri. Tidak seperti warga Kristen lain yang “modernis,” mereka menolak memakai mobil, listrik, tv, radio, dan segala jenis produk teknologi modern. Kendaraan sehari-hari mereka adalah delman, sementara alat penerang yang biasa mereka pakai adalah sejenis “lampu sentir” seperti di pedesaan-pedesaan Jawa. Bagi mereka teknologi modern adalah sejenis “bid’ah” yang bisa merusak kemurnian ajaran kekristenan. Selain itu, mereka juga berpandangan bahwa teknologi modern adalah semacam “kenikmatan dunia” yang bisa membuat manusia lalai mengabdi kepada Tuhan.

Kedua, asimilasi atau pandangan yang menyambut dengan baik kelompok luar asal dengan syarat mereka bersedia menanggalkan tradisi dan kebudayaan mereka untuk kemudian “meleburkan diri” ke dalam arus tradisi dan kebudayaan kelompok dominan tertentu. Contoh terbaik tentang ini adalah proses asimilasi terhadap etnis China di Indonesia yang dikampanyekan oleh pemerintah Orde Baru. Contoh lain adalah proses peng-Islam-an penduduk “Kafiristan” di Afghanistan sebelum berubah nama menjadi “Nuristan.” Asimilasi dalam batas tertentu juga terjadi atas warga Shi’ah di beberapa kawasan Arab atau negara-negara yang didominasi Sunni (Pakistan, Afghanistan, dll), atau warga Sunni di daerah yang secara sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan dikontrol oleh Shi’ah seperti Iran.

Ketiga, destruksi, yakni pendekatan menyikapi kemajemukan dan perbedaan dengan sikap kekerasan. Contoh pendekatan destruktif ini adalah seperti apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Arab Saudi dan kelompok-kelompok Islam garis geras “semi-Wahabi” di Indonesia belakangan ini. Atas nama menegakkan Al-Qur’an dan memurnikan ajaran Islam, kaum Muslim “tengil” atau katakanlah “Islam Pentungan” ini dengan bengisnya menghancurkan individu dan kelompok keagamaan tertentu yang mereka anggap telah menyimpang dari “kanon resmi” Islam.

Keempat, adalah pluralisme, yakni sikap atau pandangan positif-empatik terhadap kemajemukan budaya dan agama. Bagi kaum pluralis, perbedaan dan keberagaman itu bukan disikapi dengan sikap sinis dan mata mendelik seperti ditunjukkan kelompok “Islam Pentungan” akan tetapi direspons dengan sikap ramah dalam bingkai persahabatan dan kebersamaan dengan tetap menghargai keunikan, perbedaan, dan kemajemukan masing-masing. Kaum pluralis akan mengatakan: “come as you are, with all your differences......and be yourselves.” Bagi mereka keragaman bukanlah aib sosial yang harus dibasmi dari muka bumi melainkan sebuah potensi yang mampu memperindah sebuah taman dunia. Jika dunia ini diibaratkan sebagai “taman bunga,” kaum pluralis akan membiarkan aneka bunga yang warna-warni itu hidup dalam sebuah taman karena mereka memiliki hak yang sama: yakni hak untuk hidup. Tidak ada bunga yang lebih indah dan unggul dari pada yang lain karena masing-masing memiliki keunikan. Inilah sikap pluralis yang oleh para ilmuwan sosial disebut “civic pluralism,” yakni sebuah kultur publik yang menggaransi persamaan hak setiap warga negara serta berwatak tolerance-in-pluralism.

Dalam konteks bangsa Indonesia yang pluralistik, maka pluralisme civic adalah jenis “tafsir” terbaik untuk menyikapi kemajemukan etnis, budaya, dan agama negeri ini. Pesantren sebagai kekuatan civil society yang berwatak pluralis dan toleran sudah sepatutnya menjadi agen “civic pluralism” ini untuk menjaga kosmos Indonesia agar tetap damai dan harmonis. Di tengah munculnya sejumlah kelompok keislaman garis keras yang radikal-militan yang hobi-nya melakukan tindakan kekerasan, maka pesantren harus tampil ke depan sebagai “vanguard” gerakan-gerakan keislaman yang bercorak toleran-pluralis demi terciptanya stabilitas bangsa, kehidupan harmoni, perdamain sejati, democratic civility, dan citizenship culture yang menghargai hak-hak setiap warga negara yang hidup di bumi Indonesia, serta bebas dari segala bentuk kekerasan agama yang hanya menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat.***


Boston, 16 Januari 2009.

Sumber: http://www.pondokpesantren.net/