Author: Sumanto Al Qurtuby
•11:05 AM

Rekonstruksi Sejarah Masuknya Islam ke Jawa



Oleh Muhammad Husnil

Eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture.

Judul buku: Arus Cina-Islam-Jawa; Bongkar Sejarah Atas Peranan Tionghoa Dalam Penyebaran Agama Islam Di Nusantara Abad XV&XVI

Penulis: Sumanto Al Qurtuby

Penerbit: INSPEAL dan INTI

Cetakan: II (edisi revisi), Nopember 2003

Tebal: 311 halaman + indeks

Sejauh ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck, Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).

Terlepas dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas. Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.

Padahal, eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak --terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.

Nah, pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia mendapati bahwa pada nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun.

Dengan ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis Cina mendapatkan perlakukan yang proposional dari pihak pribumi, khususnya warga muslim. Sikap ramah perlu mereka tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sikap terhadap warga negara Indonesia asli keturunan Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi sepanjang sejarah dan saat ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai komunitas etnis, di mata masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung unsur peyoratif seperti kikir, eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu. Inilah sebagian pandangan yang diwariskan pihak Belanda kepada masyarakat Jawa di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan hegemoninya di negeri ini. Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari hubungan harmonis yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai menjajah Indonesia. Demi melihat itu semua, kontan Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang perdagangan. Puncaknya, Jendral Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada bulan oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang disulut oleh semangat anti-Cina. Ini belum lagi ditambahkan berbagai peristiwa berdarah di negeri ini yang melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina pada umumnya.

Tidak hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang disebut passenstelsel, yakni keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat jalan khusus apabila hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan peraturan wijkenstelsel. Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan mereka membangun “gettho-gettho” berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Kedua kebijakan tersebut bermaksud agar mereka mudah diawasi dan dikontrol. Inilah salah satu bentuk politik rasialisme anti-Cina pertama di Jawa, yang lambat laun menciptakan status “in-group” dan “out-group” dalam lapisan masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi Cina dengan pribumi.

Namun argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi etnis Cina --baik muslim maupun non muslim-- untuk meminta penghargaan atas kontribusi nenek moyang mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan yang layak tanpa memperbaiki sikap dengan cara menunjukkan iktikad baik dalam bersosialisasi dengan pribumi. Yang seharusnya terjadi di antara etnis Cina --muslim dan non muslim-- dengan pribumi adalah simbiosis mutualisme.

Para sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa, umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik. Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i. Alasan paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi perpindahan mazhab beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi lokal (local tradition).

Daerah yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa. Satu hal yang membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini dengan Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Objek kajian yang diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor waktu yang diteliti oleh keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua tidak mengurangi nilai penting buku ini sebagai sebuah dokumen analisis sejarah. Buku ini mencoba memotret lebih jauh peranan yang dimainkan etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi Jawa pada bentangan abad XV dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan mengungkap sisi sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali. Semoga saja!

*** Mahasiswa program internasional Mesir-Indonesia Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf redaksi jurnal DIALOGIA, Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI cabang Ciputat.
Author: Sumanto Al Qurtuby
•12:15 PM

Baik Buruk Agama: Jalan Menuju Dialog


Oleh Sumanto Al Qurtuby

The most fanatical and cruelest political struggles are those that have been colored, inspired, and legitimized by religion,” demikian kata Hans Kung, Presiden Stiftung Weltethos (the Foundation for a Global Ethics), sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk membangun dialog antar agama dan perdamaian global, dalam salah satu karyanya Christianity and the World Religion (1986, 442). Mungkin Hans Kung terlalu berlebihan ketika merumuskan agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah kemanusiaan. Rasisme, ethnocentrism, dan ideology adalah dua anak kandung zaman yang kita tahu juga menjadi factor penting dalam proses penciptaan “sejarah kegelapan” yang menelan jutaan korban manusia.

Tetapi Hans Kung yang juga professor ecumenical theology di Universitas Tubingen, Jerman ini jelas tidak sedang berilusi ketika menyatakan agama sebagai “the most fanatical and cruelest struggles.” Kita harus akui secara jujur dan penuh penyesalan bahwa agama menjadi elemen penting dalam munculnya konflik-konflik kekerasan komunal di tingkat internasional dewasa ini mulai Irlandia Utara, Arab, Timur Tengah, Balkan, Sudan, Afghanistan, India, Bangladesh, sampai Indonesia. Fakta “perang agama” ini belum termasuk countless data mengenai aksi-aksi vandalisme, terorisme, kerusuhan, penghinaan, pengrusakan, dan lain-lain seperti yang secara rutin dilakukan oleh anggota Front Pembela Islam (FPI) (juga Komando Laskar Islam). Juga data ini belum termasuk sejarah gelap “perang agama” yang terjadi dalam tradisi Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama besar lain.

Ahli Islam dan Timur Tengah, Mark Juergensmeyer dalam salah satu karyanya, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence telah mendokumentasikan dengan baik data-data kerusuhan kontemporer yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh “agama-agama dunia,” untuk meminjam istilah Max Weber, mulai Islam, Protentan, Katolik, Yahudi, Buddha, Hindu, Sikh, dll. Agama bisa menjadi mesin pembunuh dan pengrusak yang sadis, kata Juergensmeyer, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin, slogan, jargon, simbol, adat-istiadat, dlsb yang mampu mengilhami, mendorong, dan menggerakkan para pelaku agama untuk melakukan tindakan kejahatan kemanusiaan yang kejam dan brutal, meskipun, ironisnya, para pelaku kriminalitas itu sendiri menganggapnya sebagai “perbuatan mulia” yang berpahala dengan ganjaran surga.

Kasus-kasus kekerasan dan kerusuhan (berbasis) agama yang dilakukan beberapa organisasi Islam militan di Indonesia adalah salah satu contoh nyata bagaimana wacana dan ajaran keagamaan serta simbol-simbol keislaman telah “dieksploitasi” oleh para “oknum” Muslim untuk dijadikan sebagai “legitimasi teologis” guna melibas individu dan kelompok agama yang mereka anggap sesat, kafir, jahil, dlsb. Agama memang tidak memiliki tulang sehingga bisa dibolak-balik oleh para pelaku agama. Inilah yang saya maksud sebagai sisi buruk agama.

***

Tetapi harap juga dicatat bahwa selain agama memiliki “sisi buruk” atau “dimensi negatif” yang bisa mengispirasi lahirnya tindakan kejahatan dan kekerasan seperti yang saya paparkan di atas, agama juga memuat aspek-aspek baik dan positif yang bisa dijadikan sebagai “common ground” dan “fondasi teologis” untuk membangun hubungan antar dan intra agama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas, dan manusiawi yang penuh dengan semangat toleransi dan pluralisme seperti yang dengan tepat dikemukakan Richard Solomon, presiden the United States Institute of Peace: ”while religion can and does contribute to violent conflict, it also can be powerful factor in the struggle for peace and reconciliation” (Smock, ed. 2002: viii).

Pernyataan ini sekedar untuk menegaskan watak “ambiguitas” sebuah agama atau apa yang oleh sejarawan Scott Appleby disebut “the ambivalence of the sacred.” Satu sisi agama bisa dijadikan sebagai sumber kekerasan, perang, kerusuhan, kebencian, permusuhan dst tetapi pada saat yang sama ia bisa dijadikan sebagai medium untuk menggerakkan perdamaian, cinta-kasih, harmoni, dan aksi-aksi kemanusiaan yang mulia. Agama bisa berperang sebagai “faktor pembelah” (divide factor) yang mengerikan seperti dalam beberapa kasus tragis dewasa ini yang terjadi di Palestine, Israel, Sudan, Kashmir, Irlandia Utara, Bosnia, Kosovo, Nigeria, dan masih banyak lagi, tetapi juga bisa berfungsi sebagai “elemen pemersatu” (unite element) yang powerful atas kelompok-kelompok agama yang terbelah dan tercerai-berai akibat perang dan kekerasan seperti yang dilakukan dengan tulus oleh Demond Tutu di Afrika Selatan, Mohandas Ghandi di India, Badsyah Khan di Pakistan, Abuna Elias Chacour di Israel dan Palestine, William Lowrey di Sudan, Roy Magee di Irlandia Utara, Father Sava Janjic di Kosovo, Imam Muhammad Ashafa di Nigeria, dlsb.

Agama bisa melahirkan tindakan kemanusiaan yang positif karena ia bisa menjadi “sumber makna” dan kebijakan (a source of meaning and wisdom). Agama menanamkan pada para pemeluknya apa yang oleh anthropolog Clifford Geertz disebut “vitalitas moral” yang hadir karena manusia (para pemeluk agama) yakin dan komitmen pada esensi “Realitas yang fundamental.” Keyakinan pada “Realitas yang fundamental” inilah yang menjadikan agama bisa menjadi “sumber makna” bagi pemeluknya yang pada gilirannya mampu menjadi kekuatan penggerak aksi-aksi kemanusiaan yang berbudaya dan beradab. Selain itu, agama juga berisi ajaran, doktrin, teks, dan simbol-simbol yang positif dan mencerahkan yang bisa dijadikan sebagai “common values” dan basis untuk membangun dialog peradaban antar kemanusiaan yang kondusif dan prospektif.

***

Ini penting saya tekankan mengingat relasi antar agama di Indonesia sedang dalam kondisi “sakit-sakitan” sementara format “dialog” antar dan intra agama tidak menunjukkan perubahan berarti. Masing-masing kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: “moderat-progresif” dan “militan-konservatif.” Dua kelompok agama ini berjalan dalam rel mereka sendiri dan dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Masing-masing kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut “dialog agama” dalam pengertian yang sesungguhnya dengan melibatkan “the others” atau “out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interes, dan tujuan.

Ke depan, para aktor agama baik di nasional maupun lokal perlu merumuskan desain “dialog agama” yang konstruktif dan produktif. Kata dialog dalam konteks ini bukan “face-to-face conversations” dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik yang formal, melainkan kata ini merujuk pada “proses komunikasi yang terus-menerus” untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup “komunitas lain” (outsiders). Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik antara komunitas agama yang berbeda atau dalam satu agama tetapi berbeda mazhab pemikiran) adalah simpel: masing-masing individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah se-simpel seperti dibayangkan karena syarat dari sebuah “dialog agama”—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antar-agama dari Temple University—adalah masing-masing partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen untuk belajar dan memahami perspektif kelompok lain.

Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan “yang lain” bukan kesuksesan argumen melawan yang lain seperti dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strenghts yang bisa dijadikan sebagai “pedoman bersama” atau “solusi bersama” untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan masing-masing kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat. Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus masing-masing individu/kelompok agama untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik yang terjadi di antara mereka. Materi dalam dialog tidak hanya hanya mengungkap persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) masing-masing kelompok agama baik menyangkut nilai, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh dalam loci dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber kekerasan dan pertikaian.

Perlu juga diketahui bahwa dialog bukan hanya terbatas pada percakapan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antar kelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, kelaparan, bencana alam, pengungsian, dlsb. Model “dialog agama” ini oleh Mohamed Abu-Nimer disebut sebagai “humanity model” atau “practice model” dalam istilah Leo Swidler. Banyak “dialog agama” jenis ini yang mampu mengtransformasi para pengikut agama yang semula sangat “keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan” kemudian menjadi “lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan yang mereka tempuh hanyalah membuahkan malapetaka dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dan menantang “dialog agama untuk kemanusiaan” yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof. David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.

***

Meskipun “dialog agama” dalam kerangka seperti di atas itu perlu apalagi dalam konteks hubungan antar dan intra-agama yang rapuh di Indonesia dewasa ini, ini bukan berarti negara boleh membiarkan/melepaskan para pelaku kekerasan dan kerusuhan atas nama agama seperti dilakukan, al, oleh FPI dan kelompok agama sejenis. Tindakan hukum tetap harus dilakukan pada para pelaku kerusuhan dan kriminalitas untuk menjaga wibawa dan stabilitas bangsa serta menegakkan konstitusi negara yang melindungi kebebasan beragama. Negara tidak boleh tunduk pada premanisme sipil, dan memang menjadi tugas negara untuk memberantas kekerasan dan kejahatan sipil. Janganlah perbuatan kekerasan sipil kemudian dibalas dengan kekerasan sipil karena ini hanya akan melahirkan “lingkaran setan” kekerasan yang berpotensi menciptakan konflik horizontal, dan lebih ekstrem lagi adalah “civil wars” yang hanya akan merugikan rakyat sendiri. Dialog agama dalam perspektif ini hanyalah “medium budaya”—bukan alat politik—untuk membangun hubungan jangka panjang antar pemeluk agama yang dilandasi semangat saling memahami dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing umat beragama.***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•7:24 AM
Momentum Kebangkitan Dunia Islam

Oleh Sumanto Al Qurtuby


Setiap tahun baru Islam tiba, saya selalu teringat akan kondisi umat Islam yang belum beranjak dari keterbelakangan dan kemunduran. Kata keterbelakangan dan kemunduran ini mengacu pada hampir semua hal: pemikiran, sains, teknologi, ekonomi, kebudayaan, sistem politik dan seterusnya. Dunia Islam masih terpuruk meskipun seruan kebangkitan atau nahdhah dalam istilah Arab sudah digemakan oleh para mentor muslim sejak abad ke-19 ketika dunia Islam sedang berjuang keras membebaskan diri dari kolonialisasi Barat. Kita masih ingat tokoh-tokoh muslim Arab dan Timur Tengah seperti Thahthawi, Tunisi, Kawakibi, Afghani, Abduh, Arselan, Qasim Amin, Roziq, Ridha dan lain-lain yang begitu gigih ingin melepaskan dunia Islam dari keterpurukan dan penjajahan.

Pertanyaan reflektif waktu itu yang ingin dijawab para pioneer kebangkitan Islam—yang hingga kini terus menjadi inspirasi orang-orang Arab dan kaum muslim secara umum—adalah, “Mengapa Barat maju dan dunia Arab-Islam mundur?” Pertanyaan ini menghantui para intelektual Arab sejak Tahthawi dan Tunisi sampai puncaknya Amir Syakib Arselan yang menulis buku khusus berjudul pertanyaan tadi: Limadza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum (“Mengapa Dunia Islam Mundur dan Barat Maju?”). Pertanyaan reflektif ini menghasilkan jawaban yang beragam dari kalangan intelektual Arab-Islam. Afghani “menginstruksikan” pembentukan Pan-Islamisme yang lebih banyak bernuansa politik, Abduh menyerukan “gerakan pemikiran” yang sudah puluhan tahun mandek. Yang agak unik adalah tawaran solusi dari Tahthawi. Meski tidak secara eksplisit menyerukan agar masyarakat Arab-Islam mengikuti pola dan model kehidupan masyarakat Prancis, pesan Tahthawi sangat jelas, yakni bahwa Prancis merupakan sebuah model kehidupan yang sangat ideal bagi dunia Islam.

Lain lagi dengan Qasim Amin. Dia melihat masalah utama dunia Arab-Islam adalah masalah perempuan, maka ia melontarkan isu persamaan gender (gender equality). Dia menulis dua buku khusus tentang ini, yakni Tahrir al-Mar’ah (“Pembebasan Perempuan”) dan Al-Mar’ah al-Jadidah (“Perempuan Baru”). Pada waktu itu—bahkan hingga kini—isu tersebut merupakan hantaman keras bagi kehidupan masyarakat Arab yang patriarkhat dan diskriminatif terhadap perempuan. Menarik untuk dicatat bahwa, dalam mengemukakan argumentasinya, Amin berlindung pada semangat ajaran Islam yang menurutnya sangat menghargai hak-hak kaum perempuan tetapi sayangnya telah dinodai dan dirusak oleh kaum muslim dan budaya serta perilaku bangsa Arab. Karenanya, ia menyerukan bangsa Arab—dan khususnya kaum muslim—harus kembali pada semangat dasar ajaran Islam yang toleran dan menghargai hak-hak kaum perempuan.

Jelasnya apa yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa pertanyaan reflektif di atas telah melahirkan jawaban beraneka ragam: dari solusi yang sifatnya “liberal” seperti Tahthawi atau Qasim Amin dan yang paling fenomenal adalah Ali Abdur Raziq yang menolak negara Islam (sistem khilafah) sebagai solusi mengatasi kemunduran dunia Islam sampai yang “konservatif” seperti Ridha yang meng-endorse khilafah dan Arselan yang terang-terangan menyerukan “ruju’ ila al-nash”, yakni umat Islam harus kembali pada teks suci jika ingin keluar dari belenggu kemunduran. Dinamika pemikiran para tokoh dan intelektual Arab-Islam itu telah ditulis oleh Albert Hourani dalam Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1938. Menariknya adalah meskipun mereka berbeda pandangan yang sangat tajam mengenai solusi konkret mengatasi keterpurukan dunia Islam akan tetapi hampir tidak ada tekanan atau ancaman baik dari otoritas agama maupun rezim politik (penguasa) terhadap pemikiran tertentu. Mereka bebas mengekspresikan pendapat. Bahkan tidak sedikit para intelektual Kristen Arab yang juga turut memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan dunia Arab seperti Buthrus al-Bustani, Syibli Syumayyil atau Farah Anthun. Karena itulah Hourani menyebut era abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di dunia Arab-Islam sebagai “liberal age”.

Pada kurun liberal ini telah menyuguhkan sebuah pentas wacana, kontestasi, di mana tuduhan kafir atau murtad serta ancaman kematian atas nama otoritas agama dan politik kekuasaan belum lagi dikenal atau minimal belum menjadi trend. Pemandangan ini sangat kontras dengan dunia Arab-Islam kontemporer di mana pemikiran liberal dipasung dan dipinggirkan dari mainstream Islam oleh otoritas agama dan rezim politik. Inilah perbedaan mendasar antara dunia Arab-Islam modern (abad ke-19 sampai awal abad ke-20) dengan Arab-Islam kontemporer (sejak 1940-an): kebebasan berpikir. Dengan nada meledek, Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang dituduh murtad dan diusir dari negaranya (kini dia di Belanda), menyebut dunia Arab-Islam dewasa ini sebagai ashr al-takfir (“Era Pengafiran”) sementara masa sebelumnya sebagai ashr al-tafkir (“Era Pemikiran”). Pernyataan Nasr ini tidak berlebihan karena memang banyak para intelektual di dunia Arab, Timur Tengah dan kawasan Islam lain dewasa ini yang mengalami nasib sial: dituduh murtad, kafir, dipaksa cerai sama istri, dideportasi sampai dihukum bunuh hanya karena berpikiran “melawan arus utama” pemikiran Islam.

Inilah masalah mendasar dunia Arab-Islam dewasa ini sehingga meskipun gerakan kebangkitan (harakah al-nahdhah) telah digemakan sejak abad ke-19 tetapi tidak berdampak secara positif bagi kemajuan dunia Arab-Islam. Bahkan sebaliknya, di kawasan-kawasan Islam justru memperlihatkan pemandangan yang mengenaskan: secara politik tidak demokratis, ekonomi hancur, pendidikan dan peradaban terpuruk. Yang lebih menyakitkan adalah para rezim Islam (baik rezim politik maupun agama) turut memberi andil bagi kemerosotan total dunia Arab-Islam itu. Tidak jarang otoritas agama dan rezim politik ini “berselingkuh” untuk mewujudkan agenda politik-keagamaan tertentu meskipun dengan mengorbankan rakyat. Fareed Zakaria, orang New York yang kini menjadi pimpinan majalah terkemuka dunia Newsweek, belakangan menulis sebuah buku bagus berjudul The Future of Freedom yang antara lain memaparkan “kisah pilu” dunia Arab-Islam sehingga gagal membawa rakyat ke alam kemajuan. Kegagalan itu antara lain disebabkan lantaran rezim Arab-Islam kontemporer tidak melanjutkan visi kebebasan yang dulu menjadi identitas Arab-Islam. Wacana pemikiran Arab modern yang sebelumnya sangat kental bernuansa pencerahan (enlightment, al-tanwir) dan pembebasan kultural kemudian bergeser ke model wacana yang berkarakter fundamentalistik, eksklusif dan konservatif terhadap upaya-upaya modernisasi dan rasionalisasi kehidupan masyarakat Arab-Islam.

Hal itu terjadi setelah 1940-an beberapa rezim Islam politik berhasil mengambil alih kekuasaan dan memulai peranan penting dalam pembuatan sejumlah regulasi yang bernuansa konfrontasi dengan produk-produk modernitas dan Barat. Mereka kemudian menawarkan Islam sebagai basis ideologi dan Alqur’an sebagai dasar hukum pemerintahan. Jargon mereka adalah, “al-Islam huwa al-hall”: Islam adalah solusi. Tetapi apa yang terjadi, alih-alih mereka ingin mengangkat citra dan identitas umat Islam dari keterpurukan tetapi justru tindakan ketidakdemokratisan yang mereka terima: hak-hak masyarakat sipil (civil rights) dibatasi secara ketat, kaum perempuan belum juga beranjak dari status lamanya sebagai “pelengkap penderita”, demokratisasi juga dibiarkan jalan di tempat. Semua itu mereka lakukan atas nama “menjalankan syari’at Islam”. Tafsir atas keislaman dimonopoli sedemikian rupa oleh lembaga keagamaan sehingga tidak ada celah atau ruang sedikitpun bagi pemikiran alternatif yang membebaskan. Setiap muncul upaya-upaya penafsiran yang bersifat emansipatoris dan “liberal” segera dienyahkan. Itulah yang kini menimpa An-Na’im, Nasr Hamid, Abdul Karim Soroush, Syahrur, Nawal Sadawi dan lainnya.

Ke depan, untuk membebaskan dunia Islam dari keterpurukan peradaban ini harus diawali dengan pembebasan struktur nalar pemikiran Islam. Wacana keislaman harus dilihat dari aspek visi etis-nya bukan teks-teks verbal yang terdapat dalam tumpukan kitab. Etika kenabian atau spirit profetik yang membebaskan harus kembali ditampilkan ke panggung dunia Islam. Selama ini, wujud Islam lebih menampakkan sisi ritual, mistikal dan ideological ketimbang intelektual dan sosial. Lihatlah jama’ah-jama’ah pengajian atau forum-forum “santapan rohani” lain selalu dibanjiri pengunjung, ibadah haji yang merupakan perpaduan dari kegiatan ritual dan klenik juga selalu diminati umat. Demikian juga aktifitas klenik (mistik)—ziarah misalnya—juga selalu memikat umat Islam. Mereka juga terpesona dengan kampanye “Islam politik” yang bergemuruh meskipun sebetulnya kosong hampa tak bermakna. Padahal, menurut Imam Khomeini, dalam al-Hukumah al-Islamiyah, perbandingan ayat-ayat ritual dan sosial dalam Qur’an adalah satu berbanding seratus! Itu artinya, Islam sebetulnya sangat berpotensi untuk digerakkan sebagai medium kultural guna membebaskan umat Islam dari keterpurukan sosial, intelektual, ekonomi, politik dan peradaban ini.

Tetapi sangat disayangkan rupanya umat Islam belum tergerak sepenuhnya untuk menjadikan Islam sebagai basis perubahan sosial di masyarakat, memerangi korupsi dan kriminalitas kemanusiaan lain dan menegakkan nilai-nilai demokrasi. Mereka masih kerasan berlama-lama duduk bersila memegang tasbih dan mulutnya komat-kamit membaca wirid meskipun di seberang sana banyak umat terkapar karena kelaparan, kebanjiran, atau lantaran kehilangan hak-hak asasi-nya sebagai manusia yang bermartabat!***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:12 AM

Membangkitkan Islam Pacifis

Oleh Sumanto Al Qurthuby


Pacifisme (Latin: pacificus) adalah paham tentang oposisi terhadap perang dan segala bentuk kekerasan sebagai jalan penyelesaian konflik (Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 845). Istilah ini juga merujuk pada pengertian ide dan gerakan nonviolent resistance sebagai bentuk kritik terhadap segala tindakan tirani, despotism, authoritarianism, dll yang dilakukan oleh para penguasa—baik penguasa politik maupun agama. Tidak seperti kaum radikal yang memilih kekerasan sebagai jalan penyelesaian masalah, kelompok pacifists lebih memilih aksi-aksi damai. Meski begitu harap dicatat bahwa pacifism tidak identik dengan quietism—paham serba diam—seperti banyak dituduhkan oleh kelompok anti-pacifisme. Bagi kelompok ini, pacifisme sering diplesetkan “passivisme” (bentuk lain dari quietism, submissiveness, cowardice), yakni paham serba diam atau pasif dalam menghadapi ketidakadilan. Selain itu, kaum pacifis juga dituduh menomersatukan perdamaian (peace) dan menomersekiankan keadilan (justice).

Tuduhan-tuduhan semacam itu—yang kebanyakan disuarakan oleh kaum radikal dan kelompok pendukung perang dan kekerasan—sama sekali tidak berdasar, bias, dan “salah baca” (misreading) atas pengertian dasar pacifisme. Salah satu pemikir dan pendukung pacifisme, Gene Sharp, seorang sarjana senior di Albert Einstein Institution di Boston yang sering dijuluki “the Machiavelli of nonviolence” dan “the Clausewitz of nonviolent warfare” telah memberikan klarifikasi dan penjelasan ilmiah mengenai ide dan gerakan “tanpa-kekerasan” ini dalam buku klasiknya, The Politics of Nonviolent Action. Intinya, pacifisme bukan berarti passivity atau tindakan submissive menghadapi realitas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Pacifisme juga bukan berarti mengabaikan isu keadilan. Kaum pacifis sadar bahwa keadilan adalah ingredient dari perdamaian. Perdamaian tidak bisa dicapai atau minimal susah dicapai jika isu ketidakadilan (injustice) tidak diselesaikan. Bagi mereka perdamaian bukan hanya ditandai absennya perang dan kekerasan tetapi juga hadirnya keadilan. Maka, kelompok ini bekerja pada dua level isu ini—peace and justice—sekaligus melalui jalan apa yang oleh sarjana muslim dan aktifis perdamaian Thailand Chaiwat Satha-Anand (Quader Muheideen) disebut “active nonviolent resistance.

Gerakan Anti-Perang dan Kekerasan

Kelompok pacifisme inilah kebanyakan yang menjadi motor penggerak aksi-aksi melawan “kebijakan” perang, penjajahan, kolonialisme, militerisme dan segala bentuk policy yang menggunakan sarana kekerasan. Di AS misalnya, koalisi kelompok pacifis dari berbagai agama (Kristen, Catholics, Hindu, Buddha, Jainisme, Judaisme, dll) telah menjadi elemen penting dalam setiap aksi melawan kebengalan dan kebijakan ndableg pemerintahan George Bush tentang war on terror, perang Afghanistan, Iraq, Israel-Palestine, nuklir Iran, dll. Kelompok ini, misalnya saja Christian Peacemakers yang merupakan gabungan dari berbagai denominasi Kristen seperti Quakers, Catholics, Anabaptists (Mennonites, Brethrens in Christ, dll), Presbyterians, Methodists, dll, secara aktif menggalang kekuatan melawan kekerasan dan perang melalui berbagai aksi demonstrasi, marches, petisi massa, surat oposisi atau dukungan, group lobbying, vigils, penyebaran leaflets, pamphlets, posters, atau pesan-pesan perdamaian dan anti kekerasan dan perang melalui TV, radio, dll. Dalam tradisi Kristen paham pacifisme ini begitu kuat karena berakar ada sosok Jesus Christ yang jelas-jelas figur anti-kekerasan dan bahkan Jesus memerintahkan pengikutnya untuk mencintai musuh-musuhnya serta mendoakan orang-orang yang menyiksanya. Karena itu penolakan terhadap kekerasan (dengan demikian penegasan terhadap perdamaian), seperti dikatakan John Howard Yoder, salah satu teolog kaum pacifis, merupakan “intrinsic element of Christian profession” (Zimmerman 2007, 16). Maka dalam pandangan kelompok Kristen pacifis ini, orang-orang Kristen yang menjalankan atau mendukung kekerasan (termasuk perang) merupakan bentuk penyelewengan fundamental atas teologi kekristenan. Itulah sebabnya kenapa mereka mengkritik keras kebijakan pemerintahan Bush dan pendukungnya (terutama dari gereja-gereja Kristen konservatif) yang pro-perang.

Tradisi pacifisme juga sangat kuat dalam agama Yahudi (Judaisme). Dalam teks-teks rabbinic misalnya bertebaran ungkapan “Gadol Hashalom”—perdamaian adalah nilai tertinggi. Dalam Hebrew Bible juga banyak dijumpai prinsip-prinsip perdamaian, keadilan serta penegasan anti-kekerasan (misalnya, Jer. 16:5, Ps. 85:11). Prinsip-prinsip inilah, antara lain, yang mendorong gerakan pacifisme dalam Judaisme seperti dilakukan Rabbi Jeremy Milgrom, pendiri Clergy for Peace, direktur Rabbis for Human Rights dan the Israeli Interfaith Association. Rabbi Milgrom adalah mantan tentara Israel yang kemudian bertaubat dan kini aktif di gerakan perdamaian dan hak asasi manusia serta menyeponsori proyek-proyek rekonsiliasi Arab-Yahudi. Tokoh agama dan pemikir Yahudi lain yang aktif di gerakan perdamaian adalah, al, Marc Gopin dari George Mason University dan penulis Holy War, Holy Peace (2002) dan Between Eden and Armageddon: the Future of World Religions, Violence, and Peacemaking (2000), Rabbi Robert Eisen (American University, Washington, DC), dan Peter Ochs (University of Virginia). Marc Gopin dan Peter Ochs, bersama penulis dan sejumlah sarjana dan aktifis Kristen saat ini sedang terlibat proses pembentukan Center for the Studies in the Abrahamic Traditions—sebuah pusat studi dimana para praktisi dan sarjana dari tiga agama Semit ini bekerja sama dalam penelitian, training dan program-program yang berkaitan dengan perdamaian global dan human developments. Para tokoh agama Yahudi ini bersama tokoh lintas-agama sedang gencar melakukan kampanye anti-perang dan terus mendorong proses perdamaian global termasuk Arab-Israel.

Tidak bisa dipungkiri tradisi pacifisme dalam kedua agama ini memang sangat kuat dan mengakar pada konsep-konsep teologi mereka. Karena didorong oleh semangat ajaran-ajaran mereka yang anti perang/kekerasan dan cinta perdamaian inilah, kaum pacifis dari kedua agama ini bersama kelompok pacifis Muslim bekerja sama menciptakan iklim kesejukan terutama bagi ketiga pengikut agama ini seperti dilakukan organisasi Seeds of Peace di Palestine dan Israel. Organisasi ini melibatkan para pengikut Islam, Kristen, dan Yahudi di Arab dan Timur Tengah untuk menyelesaikan konflik panjang mereka dengan jalan menciptakan “space” bagi pengikut ketiga agama ini untuk bertukar pikiran, sharing stories, dan alternatif-alternatif penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Mereka sadar bahwa kekerasan yang terjadi di Arab dan Timur Tengah lebih banyak muatan politik dan ekonomi dari para “oknum politisi” dan “oknum pedagang” ketimbang masalah agama. Dalam banyak hal agama memang merupakan “penumpang” kesekian dari konflik kekerasan.

Pacifisme dalam Islam

Sebagaimana “saudara tua” agama Yahudi dan Kristen, secara konseptual Islam juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi pacifisme. Ajaran tentang perdamaian dan keadilan sangat ditekankan dan berulang kali disebut dalam teks Al-Qur’an. Kata “Islam” sendiri seperti disebutkan dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic selain bermakna “ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi” (terhadap keinginan Tuhan) juga bermakna “perdamaian, keselamatan, keamanan, kesejahteraan”, dst. (Cowan, ed., 1976: 425-426). Doktrin perdamaian ini sangat esensial dalam Islam karena pemahaman ini berakar kuat pada doktrin fundamental Islam, tauhid, yang tidak hanya mengandung pengertian “kesatuan Tuhan” (unity of Godhead) tetapi juga “kesatuan kemanusiaan” (unity of humanity), “kesatuan penciptaan” (unity of creation), dan “kesatuan eksistensi” (unity of existence atau wahdatul wujud). “Barat dan Timur adalah milik Allah,” tegas Al-Qur’an (Q.2:115). Tauhid adalah sebuah “prinsip kesatuan” yang merupakan lahan subur bagi spiritualitas dan keimanan Islam.

Karena prinsip “kesatuan” ini, Islam menggarisbawahi pentingnya pluralitas, harmoni, toleransi, inter-relasi, dll sebagai nilai-nilai fundamental untuk menjaga perdamaian universal antar manusia. Karena prinsip “kesatuan” ini pulalah Islam menegaskan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang “sakral” yang harus dirawat oleh semua penduduk planet ini. Al-Qur’an menyatakan, “…dan barang siapa membunuh seorang manusia maka dia seperti membunuh seluruh manusia dan barang siapa menyelamatkan nyawa seorang manusia maka ia seperti menyelamatkan seluruh kehidupan manusia” (Q. 5:32). Ayat ini sekali lagi menegaskan dimensi sakralitas kehidupan kemanusiaan yang harus dihormati dan dipelihara oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bukan malah merusak dan mengotorinya dengan tindakan pembunuhan, kekerasan, pengrusakan, vandalisme, dsb. Selain berakar kuat pada konsep tauhid, paham perdamaian (baca, pacifisme) dalam Islam juga merupakan penjabaran logis dari salah satu nama-nama indah Tuhan, al-Salam (“Sang Damai”). Konsep tauhid ini mirip dengan ajaran Buddha tentang Dharmakaya yang didefinisikan sebagai: semua hal dan semua yang ada adalah tubuh Buddha. Tidak ada “hal” (object, entitas, konsep, phenomena, etc.) yang eksis dalam realitas karena kosmos ini, meminjam istilah Mary Clark, merupakan “interdependent whole.”

Menyadari substansi perdamaian dalam Islam, sampai hari beliau meninggal, Nabi Muhammad terus melakukan dialog damai dan membangun hubungan yang sehat dengan Yahudi dan Kristen di Arab seperti diriwayatkan oleh para penulis awal biography beliau semisal Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, al-Baladhuri, atau al-Tabari. Gordon Newby dalam A History of Jews of Arabia juga menandaskan hubungan harmonis antara Nabi Muhammad dan komunitas Yahudi. Bukti lain yang cukup monumental adalah pada waktu peristiwa Fathu Makkah di mana Kanjeng Nabi menyerukan perdamaian dan rekonsiliasi dengan para bekas musuhnya. Ketika Mekkah berhasil “ditaklukkan” kaum muslim, Nabi Muhammad juga melarang pembersihan dan pengrusakan simbol-simbol agama Yahudi dan Kristen seperti dituturkan Martin Lings dalam Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, yang didasarkan pada riwayat Waqidi dan Azraqi. Teladan mulia Nabi Muhammad dengan hidup berdampingan dengan Yahudi dan Kristen ini kemudian dilanjutkan oleh kaum muslim generasi awal. Bahkan seperti ditulis Nabia Abbot dalam Studies in Arabic Literary Papyri, kaum muslim pada abad-abad pertama Islam secara reguler membaca Al-Qur’an bersama Torah.

Sebagai bagian “keluarga besar Islam,” sudah seharusnya jika kita (kaum muslim) mencontoh dan melanjutkan perilaku harmonis beliau serta menjalankan pesan-pesan universal tauhid dengan jalan hidup berdampingan secara damai dengan tetangga agama kita, menghargai realitas keberagaman yang dianugerahkan Tuhan, serta membangun dialog dan komunikasi inter dan antar-agama secara positif, sehat dan produktif. Bukan sebaliknya, berteriak-teriak anti non-Muslim atau anti-pluralisme dengan melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, vandalistic, terorisme, dsb. Sungguh jenis perbuatan ini bukan hanya sebuah “immoral situation” untuk meminjam istilah Syeikh Mahmud Schaltut, melainkan juga bentuk penyimpangan serius dari spirit Islam sebagai agama damai!***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•1:12 PM
Dalam Gelap, Karya Itu Lahir

Oleh: Imam Shofwan


SEBUAH balai dengan kasur busa bertengger di pojok ruangan. Rak-rak buku. Lemari duduk dan di atasnya laptop butut. Kursi plastik.

Di dinding tergantung foto orang Arab Pekalongan: Habib Husain, Habib Lutfi, berukuran besar, berderet dengan poster Sarah Azhari dengan dua bekas staples di bagian tengahnya. Ah, benar-benar pengap kamar itu.

Sambil membetulkan kain sarung yang dipakainya, Sumanto, si empunya kamar, mendekati laptop yang dia sebut ‘laptop jangkrik’. “Dengan laptop ini saya menulis tesis saya,” tuturnya.

Tesis inilah yang kemudian menjadi buku yang banyak diperdebatkan: Arus Cina-Islam-Jawa, Membongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI.

Sumanto melacak asal-usul penyebaran Islam di tanah Jawa. Dia menganggap ada yang hilang dalam sejarah masuknya Islam di Jawa. Dia mengumpulkan bukti-bukti dan mendatangi banyak peninggalan Islam di pelosok Jawa.

Ukiran padas di Masjid Kuno Mantingan, Jepara, Menara Masjid Pecinan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, Arsitektur Keraton Cirebon, Konstruksi Masjid Demak, telah dikunjunginya.

Dari perjalanan ini dia membuat kesimpulan mencengengangkan: pada abad ke 15/16 Islam yang masuk ke tanah Jawan berasal dari Cina.

Hal ini bertentangan dengan pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa Islam datang ke Jawa melalui dua Jalur, yaitu Arab dan Gujarat, India.

Dukungan, kritik, dan juga bantahan terhadap hasil risetnya datang dari mana-mana. Namun dia tidak bergeming. “Penulisan tesis ini adalah untuk melawan kemapanan sejarah,” ujarnya pada saya akhir Oktober lalu.

DALAM rumah kecil berdinding anyaman bambu, berlantai tanah, Sumanto dilahirkan. Menjelang subuh, 10 Juli 1975, dengan penerangan lamu petromak, di atas dipan bambu tanpa kasur, dengan bantuan dukun beranak, Daryuni, sang ibu melahirkan untuk kali keempat.

Manggis nama kampungnya, sebuah dusun terpencil di Batang, Jawa Tengah. Sang ayah, tutur Sumanto, adalah seorang petani miskin. Ketiga kakaknya yang telah berkeluarga juga tak jauh berbeda, miskin. Sumanto menuturkan hal ini pada saya lewat surat elektronik akhir Oktober silam. “Untuk bisa terbebas dari kemiskinan, saya harus pintar, saya harus sekolah.”

Jalan terjal naik turun menuju sekolah dasar membentang lebih dari sepuluh kilometer. Setiap hari Sumanto menyusuri jalan itu tanpa teman. “Kebanyakan mereka memilih mencangkul di sawah atau menggembala ternak di hutan daripada sekolah.”

Jiwa memberontak terhadap sesuatu yang dianggap mapan sudah mulai tumbuh pada diri Sumanto kecil. Dia menolak kerja bakti waktu sekolah dasar. “Saya fikir, sekolah dan pelajaran lebih penting,” keluhnya saat itu.

Kebiasaan ‘buruk’ itu terus berlanjut sampai tingkat MTs Walisongo Batang dan MAN I di Pekalongan. “Hampir tidak ada satu guru pun waktu itu yang tidak pernah memarahi saya. Sebabnya ya apalagi kalau bukan kembelingan saya seperti menolak upacara, ngeyel di kelas,” kisahnya lagi. Karena kebiasaan itu salah seorang kiainya waktu mondok di Pekalongan menyematkan “AL Qurtuby” setelah namanya. Yang merupakan sebutan lain Cordova, sebuah simbol kejayaan Islam masa lalu.

Puncaknya tentu saja saat jadi mahasiswa IAIN Walisongo yang sering mengkritik secara vulgar apa saja dan siapa saja yang dianggap tidak benar. Tradisi mempertanyakan kemapanan itu semakin mendapat landasan saat kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Berawal dari majalah kampus Justisia, di sana dia tiga tahun menjabat pemimpin redaksi. Selain itu dia juga menjabat redaktur agama di Nurani Bangsa, koran milik masyarakat Tionghoa di Semarang. Bergelut di dunia pers inilah kemampuan menulis Sumanto terasah. Pergaulan lintas agamanya pun dimulai.

Agustus 2000 dengan segala keterbatasan finansila, selama tujuh tahun akhirnya Sumanto menyelesaikan sarjananya di Fakultas Syari’ah. Dengan modal nekat dan sedikit uang simpanan, Sumanto melanjutkan studi S-2 di UKSW, Salatiga.

Masa-masa sulit karena keterbatasan keuangan yang pernah dan sering menjadi kendala selama dia sekolah sampai kuliah, kembali mendera. Dan kali ini lebih dahsyat. Tugas-tugas paper dan makalah yang menumpuk menyita perhatian dan semua waktunya. “Waktu di IAIN saya punya banyak waktu untuk nulis artikel di koran. Di UKSW nyaris tak bisa melakukan itu lagi,” kenangnya.

Untuk bisa bertahan hidup, dia terpaksa berjualan sepatu, sandal, tas, dan baju. “Saya bekerja sebagai salesman sebuah perusahaan yang berpusat di Bandung,” tutur Sumanto.

Karena beban begitu beratm sempat terpikir olehnya untuk keluar kuliah. “Saya sempat ingin keluar,” ucapnya berat. Proposal tesis yang dia edarkan pun tak kunjung memberi hasil.

Atas saran teman dekatnya, dia menghadap KH Sahal Mahfudh di Kajen Pati, sambil membawa proposal tesis. “Di luar dugaan, Kiai Sahal menanggapi sangat positif tesis saya.”

Kiai Sahal menghubungkan saya dengan Sudhamek (Bos Kacang Garuda) Soewarno M. Seradj (Direktur Research & Development PT Djarum). Oleh Sudhamek, dia dikenalkan dengan Eddie Lembong, ketua umum Perhimpunan Indonesia (Keturunan) Tionghoa (Pehimpunan INTI) yang juga Bos PT Pharos Jakarta.

Pada waktu yang hampir bersamaan, proposalnya juga diterima di Global Ministries The Uniting Churches of Netherlands, Belanda, lewat kerja keras Dr Mesach Krisetya, Presiden Mennonite World Conference (Paris) yang kebetulan menjadi salah satu pembimbing tesis saya. “Dari Global Ministries, saya dapat grant 5000 Uero, sekitar Rp. 40 juta. Dari uang inilah saya melunasi semua SPP,” tuturnya.

Semua dana dimanfaatkan untuk risetnya. Setelah merasa cukup dengan bahan-bahan yang perlu, selama September-Oktober 2002 Sumanto “bertapa” di dalam kamar pengap itu, dia hanya keluar untuk makan. “Gara-gara lembur siang malam menulis tesis ini, notebook (laptop) saya sampai jebol,” ujar Sumanto. Warna layarnya saja sampai berubah dari putih jadi hitam. Jadi, waktu saya menulis laporan dalam kondisi laptop yang antik: layar hitam tulisan putih. “Lucunya, kalau malam terkena lampu, tulisannya tidak kelihatan, karena itu, ngetik harus dalam keadaan gelap. Sungguh indah!” Kenangnya.

Tesis Arus Cina-Islam-Jawa yang telah dibukukan disambut hangat oleh pemerhati sejarah Jawa. Rabu, 19 November 2003, sejumlah tokoh berkumpul di Puri Agung di Hotel Sahid Jaya. Tampak Nurcholish Madjid (Cak Nur), Malik Fajar, Syafi’i Ma’arif, Cecep Syarifuddin, Asvi Warman Adam, Soegeng Sjarjadi, dan Fachry Ali. Bersama 1000 undangan lainnya, mereka menghadiri diskusi dan peluncuran buku karya Sumanto.

Buku Arus Cina-Islam-Jawa, kata Cak Nur, seolah meluruskan sebuah karya sejenis itu yang ada jauh sebelumnya yang ditulis debfab sangat tidak obyektif, parsial dan politis. “Saudara Sumanto Al Qurtuby meluruskan semua itu dan dikaji secara akademis,” kata rektor Universitas Paramadina ini.

Puaskah Sumanto? “Terus terang, saya kurang puas dengan penulisan buku ini,” ungkapnya. Sumanto merasa kurang maksimal menggunakan buku-buku dan sumber yang dia peroleh dari Survey. Dan lebih dari itu, “Saya kurang mempunyai kesempatan mengkritik dan ‘memblejeti’ berbagai buku yang menolak teori Cina dalam islamisasi Jawa.” Semoga tidak bergelap-gelapan lagi.[]

*Naskah ini pernah dimuat pada majalah Syir'ah edisi khusus akhir tahun 2004, tentang; pemuda-pemuda yang berpandangan bersebrangan dengan pandangan umum.

Source: http://bungimam.blogspot.com/2007/11/dalam-gelap-karya-itu-lahir.html
Author: Sumanto Al Qurtuby
•12:27 PM

Dilema Politisasi Agama

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Agama dan demokrasi adalah dua persoalan klasik namun tetap menarik untuk diperdebatkan. Dalam konteks Islam, tema itu telah menyita energi para intelektual Muslim di seluruh penjuru dunia. Dari pemikir fundamentalis konservatif sampai intelektual Muslim liberal-progresif terlibat debat soal itu. Kelompok fundamentalis-konservatif berpendapat bahwa Islam sebagai "paket ilahi" yang sakral harus dipisahkan secara ketat dengan ide demokrasi yang merupakan produk Barat yang profan dan sekuler.

Sementara itu, kalangan liberal-progresif berpandangan bahwa Islam merupakan "produk sejarah" yang tentunya sangat terbatas dengan ruang dan waktu, dan karena itu tidak memadai untuk menjawab persoalan kekinian dan kedisinian.

Perbedaan yang tajam antara kedua kelompok itu sebetulnya bermula dari perbedaan tafsir atas Islam. Bagi kelompok fundamentalis-konservatif, Islam merupakan sebuah agama yang lengkap (kamil), universal ('alami), serba mencakup (syamil) serta bisa diterapkan pada setiap masa dan tempat. Islam adalah sebuah totalitas (kaffah) yang mengklaim serba tahu dan serba mencakup. Singkatnya, Islam adalah jalan hidup yang mengatur perbuatan manusia dari bangun tidur, keluar rumah, masuk kamar mandi, bersetubuh dengan istri, pembagian harta waris hingga persoalan politik kenegaraan.

Pandangan demikian membuat kelompok itu menolak secara tegas produk modernitas dan sekularisme Barat termasuk demokrasi yang dianggapnya hasil dari "produksi kebudayaan setan".

Sikap Apologetik

Pandangan yang apologetik dan inward looking atas Islam itu selain lemah secara metodologis, juga tidak memadai untuk menjawab problem kemanusiaan dan kemodernan. Slogan "Islam adalah solusi" hanya enak didengar di telinga tapi tidak "bunyi" jika sudah berurusan dengan dunia nyata. Propaganda "kaum Islamis" yang memproyeksikan syariat sebagai deus ex machine (baca, obat bagi semua penyakit masyarakat) pada kenyataannya hanyalah hukuman-hukuman kaku yang didasarkan pada sejumlah hukum kuno untuk menumpas apa yang me- reka sebut "musuh-musuh Islam".

Maka, gagasan ideologisasi Islam (termasuk formalisasi syari'at) di mana pun (termasuk Indonesia) tidak hanya utopis tapi juga tirani. Utopis karena dalam sejarah keislaman kontemporer terutama sejak berdirinya Ikhwanul Muslimin tahun 1928 yang getol mengampanyekan ideologi Islamisme di seluruh pelosok dunia Islam dengan syariat Islam sebagai basis utamanya, tidak pernah terealisasi dalam kehidupan politik umat Islam. Kebebasan, persamaan dan keadilan yang dikampanyekan rezim Islam hanyalah isapan jempol. Aplikasi syariat Islam dikatakan tirani karena dalil syariat seringkali hanyalah dalih untuk melakukan penindasan atas nama Islam yang seringkali bertabrakan dengan hak-hak dasar manusia yang paling fundamental seperti kebebasan, equality dan kemerdekaan.

Di sisi lain, ulama fundamentalis terbukti tidak mampu mencapai kesepakatan dalam masalah-masalah paling mendasar mengenai identitas politik dan identitas Islam. Mereka memang dapat menyatukan suara mengenai siapa yang dianggap "aliran sesat, non-Muslim dan musuh Islam", tetapi berselisih tajam mengenai masalah-masalah yang begitu mendasar seperti: apakah Islam itu? Siapa yang bisa disebut Muslim dan apakah hakikat negara Islam? Mereka hanya mengambang dan akhirnya terjengkang ke dalam politik sektarianisme elitis.

Implikasi lebih buruk lagi adalah terjadinya "involusi" dalam sikap dan pikiran yang ditandai dengan terjadinya gerakan pikiran dan sikap yang melingkar-lingkar, tak menentu, di sana-sini mengesankan artikulasi baru namun jika ditilik lebih jauh, artikulasi itu secara kualitatif dan substantif tidak menunjukkan perubahan. Di tengah kerumitan konseptual dan keruwetan operasional itu, maka "politik Islamisasi" konstitusi tak pelak akan memperpanjang daftar kekalutan politik kenegara-an.

Para pendukung politik Islamisasi konstitusi selalu menolak pandangan seperti itu. Mereka mengklaim bahwa Piagam Madinah yang menjadi sandaran utama validitas penegakan konstitusi Islam terbukti (katanya) mampu menghadirkan sebuah tatanan kenegaraan secara egaliter dan berkeadilan bagi seluruh warga Madinah. Klaim itu jelas tidak akurat dan salah alamat, justru dari sudut pandang Islam sendiri. Yang (sengaja) diabaikan di sini adalah fakta bahwa traktat konfederasi itu dibuat ketika Islam belum selesai, belum sempurna sebagai agama akhir zaman. Di samping itu, upaya penegakan "Piagam Madinah" dikotori oleh sejumlah kekerasan terhadap warga Yahudi dari Bani Quraizhah, Qunaiqa dan Bani Nadhir. Karena itu, menjadikan Piagam Madinah sebagai "proyek percontohan" adalah fabrikasi ideologis yang ahistoris.

Implikasi

Politik Islamisasi konstitusi yang begitu marak di sejumlah negara Islam (termasuk Indonesia) paling tidak memiliki tiga implikasi. Pertama, akan makin memperluas dan memperdalam jurang disintegrasi baik internal umat Islam sendiri maupun antar-kolektivitas yang ada dan hidup di negara bersangkutan. Kedua, akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru akibat keharusan watak diskriminatif dalam konstitusi berbasis agama (Islam). Ketiga, politik islamisasi konstitusi juga akan membuka lebar-lebar pintu otoritarianisme penguasa.

Salah satu efek program Islamisasi konstitusi yang tidak diharapkan adalah meningkatnya sektarianisme dan partikularisme di antara berbagai kelompok dan aliran keagamaan yang ada dalam negara. Suasana umum yang ditimbulkan oleh politik Islamisasi konstitusi telah membuka peluang bagi berbagai kelompok untuk menegaskan kembali identitas masing-masing, dan karenanya mempertegas batas antara "kita" dan "mereka".

Strategi Islamisasi melalui penguasaan aparat negara justru bisa menimbulkan dampak negatif yang menyebabkan tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat semakin jauh. Sekali aparat negara dikuasai, agenda berikutnya adalah menerapkan regulasi-regulasi hukum kriminal fiqih, mempertahankan kekuasaan di tengah gempuran oposisi yang tidak loyal, menangani berbagai isu kebijakan yang rumit dan mengurus birokrasi. Tarikan-tarikan geopolitik seperti itu tidak hanya dapat menyita waktu tetapi juga menciptakan musuh dan isolasi.

Bahkan para sahabat Nabi telah memperagakan politik Islamisasi melalui panggung negara dengan amat sempurna mengerikannya. Intrik politik, teror dan kekerasan berdarah-darah harus mereka pilih sebagai pintu tunggal. Hal itu diawali hanya selang dua dasawarsa setelah wafatnya Nabi SAW. Karena itu, fenomena penyebukan (pemenuhan) Islam dengan politik/negara seringkali justru menelikung pihak muslim sendiri. Ajaran-ajaran Islam yang mestinya mengatur kehidupan politik tetapi yang terjadi justru sebaliknya: eksploitasi habis-habisan atas Islam oleh para elite negara dan partai politik. Hasilnya pun mudah diduga, bukannya politik yang diilhami oleh moral yang mewujud di masyarakat akan tetapi politik "hasutan omong kosong" yang menampak dalam panggung negara sehari-hari.

Slogan "agama dan politik dalam Islam adalah tak terpisahkan" digunakan untuk menipu umat Islam agar menerima bahwa alih-alih politik atau negara yang melayani tujuan jangka panjang Islam, Islam justru harus melayani tujuan-tujuan sesaat partai politik.

Penulis sangat merindukan tampilan agama yang manusiawi. Bukan agama yang mempermak pemeluknya sebagai "topeng" tetapi agama yang mampu membimbing ke arah terbentuknya manusia-manusia otentik. Saya ingin manusia berbondong-bondong mendekap erat agamanya dengan tulus, bukan dengan ketakutan.

Source: http://www.suarapembaruan.com/News/2003/02/14/
Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:45 AM

Reformasi Buddha di Taiwan

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Reformasi pemikiran keagamaan tidak hanya terjadi di dalam Islam, Protestan, atau Katolik saja tetapi juga merambah ke agama Buddha. Jamak diketahui kalau agama Buddha selalu dikaitkan dengan wacana “dunia lain” (otherworldliness) dan selalu diidentikan dengan agama yang irasional, statis, tradisional, sceptic, ascetic, philosofis, bias gender, dan sebagainya. Karena wataknya yang “melangit” dan “nirvana oriented,” agama ini juga dianggap tidak peduli dengan hal-hal yang berbau kemanusiaan dan duniawiyah (worldliness). Trademark inilah yang menyebabkan sarjana ternama sekaliber Max Weber dan para pendukungnya berpendirian (berkeyakinan?) kalau etos kapitalisme yang rasional tidak akan pernah bermigrasi ke India dan negara-negara berbasis Buddha (Gerth & Mills (trans.), 1958).

Weber sebetulnya tidak hanya mengkritik agama Buddha tapi juga Hindu, Confucianisme, Islam, Taoisme, Katolik, dan agama Yahudi yang dianggapnya berlawanan dengan etika Protestantisme khususnya Calvinisme yang melahirkan “spirit” kapitalisme modern. Pandangan Weber yang bias ini sudah banyak dikritik sosiolog-anthropolog, al, Bellah (1957), Tambiah (1973), dan Berger (1988). Bellah misalnya dalam studi klasiknya tentang agama Tokugawa mengatakan bahwa di Jepang, Buddhisme dan Konfusianisme terbukti mampu menciptakan “aktivitas ekonomi rasional”: kapitalisme. Klaim etika Konfusianisme yang mampu melahirkan spirit kapitalisme juga dilakukan Lee Kuan Yew di Singapore dan Hu Jintau di China. Selain Singapore dan China, kemajuan ekonomi di Korsel, Taiwan, dan Hong Kong, serta pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan di India (Hindu), Malaysia (Islam), dan beberapa negara berbasis Katolik di Amerika Selatan, Italia dan lain-lain semakin menjukkan kerapuhan tesis Weber.

***

Taiwan merupakan salah satu negara yang menarik untuk dikaji khususnya berkaitan dengan etika Buddhisme, kaptalisme, dan hal-hal duniawiyah lain yang luput dari pengamatan seorang Weber. Menarik karena agama Buddha, sebagai salah satu agama utama di Taiwan selain Taoisme dan folk religions, tampil rasional, elegan, dinamis, realistis, feminis, humanis, liberal, anthroposentris, dan intelektual jauh dari kesan-kesan klasik Buddhisme yang miskin, irasional, unworldly-centric, filosofis, mysoginis, bias gender, “anti dunia” dan sebagainya. Fenomena “Buddha baru” ini setidaknya tampak pada beberapa organisasi utama Buddha di negeri itu seperti Tzu Chi, Fo Guang Shan, dan Dharma Drum Mountain yang memiliki jutaan pengikut dan berpengaruh di berbagai macam negara. Penampilan beberapa organisasi Buddha Mahayana di Taiwan ini mampu mengantarkan citra positif-progresif Buddha di tingkat international.

Tzu Chi didirikan oleh seorang biarawati kharismatik bernama Master Cheng Yen pada tahun 1966. Organisasi yang pada awal berdirinya hanya terdiri atas 30 ibu rumah tangga dan dibangun di atas donasi uang rencehan itu (NT 0.50 per hari), kini Tzu Chi mempunyai pengikut lebih dari lima juta orang umumnya “kaum Hawa,” memiliki cabang di 14 negara, dan mampu mendonasikan sekitar US$ 20 juta per tahun untuk membantu mengurangi kemiskinan, kelaparan, dan korban bencana di berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan reputasi ini, Tzu Chi dikenal sebagai salah satu organisasi charity terbesar di Taiwan yang peduli pada isu-isu kemanusiaan global yang digerakkan oleh kaum perempuan—dan karena itulah di tingkat international, anggota Tzu Chi dikenal sebagai “Ciji Mamas” (Huang & Weller, 1998). Selain peduli pada masalah kemanusiaan, sang pendiri Master Cheng Yen juga dikenal sebagai advokat dan “juru bicara” tentang persamaan hak-hak kaum perempuan dalam agama Buddha terutama mengenai dibolehkannya mereka menjadi pendeta guna melayani umat Buddha. Pemikiran pembaharuan keagamaan dan petuah-petuah hidup Cheng Yen telah direkam dalam buku Still Thoughts.

Organisasi Buddha utama lain di Taiwan adalah Fo Guang Shan, didirikan oleh seorang rahib reformis ternama Master Hsing Yun (Xingyun) pada tahun 1967. Seperti Tzu Chi, Fo Guang Shan juga memiliki jutaan anggota, 3.500 biara, dan mempunyai cabang di lebih dari 30 negara. Karena mengabdikan diri secara total pada isu-isu fundamental kemanusiaan, Fo Guang Shan dikenal luas sebagai “humanistic Buddhism.” Dasar-dasar pemikiran reformasi keagamaan Hsing Yun ditulis dalam bukunya How To Be Fo Kuang Buddhist. Dalam buku ini Hsing Yun mengkritik pemahaman konvensional Buddha yang terlalu menitikberatkan pada “dunia lain” dan “kehidupan akhirat” ketimbang mengurusi masalah-masalah kemanusiaan di dunia saat ini. Selain Tzu Chi dan Fo Guang Shan, organisasi reformis Buddha lain adalah Dharma Drum Mountain yang merupakan kombinasi dari Nung Chan Monastry dan Chung-Hwa Institute of Buddhist Culture. Fokus utama organisasi yang semula didirikan oleh Master Dongchu dan sejak tahun 1978 dipimpin oleh Master Sheng Yen ini adalah pendidikan untuk meningkat kualitas akademik dan intelektual jemaat Buddha khususnya biarawan/biarawati di berbagai bidang keilmuan dan isu lingkungan untuk menciptakan dan mempromosikan “bumi hijau.”

***

Menarik untuk disimak bahwa ketiga kelompok “Buddha baru” di Taiwan modern di atas ini memiliki spirit dan visi sama yaitu mengusung tema “renjian fojiao” (Buddhism in the Human Realm) (sebetulnya masih ada beberapa kelompok Buddha lain di Taiwan yang memiliki visi sejenis seperti Masyarakat Buddha Ling Jiuo Shan dan Biara Chung Tai Chan). “Teologi humanisme” Buddha ini mampu mentransformasikan agama ini ke dalam aktivitas duniawiyah seperti menjalankan bisnis dan kegiatan ekonomi lain serta terlibat aktif dalam menyelesaikan problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, kebodohan, keterbelakangan, dan lain-lain. Dalam tradisi Buddha, visi (“teologi”) ini tentu saja merupakan bentuk transformasi radikal yang sangat fundamental dari Buddha yang “anti-duniawiyah” dan terikat oleh tradisi tekstual menjadi Buddha yang peduli dengan masalah keduniaan dan berpedoman pada makna kontekstualitas tradisi keagamaan. Meminjam istilah Fazlur Rahman, kelompok Buddha kontemporer di Taiwan ini telah mentransformasikan spirit “teocentrisme” ke “anthroposentrisme.”

Perubahan lokus pemikiran ini membawa sejumlah konsekuensi logis berupa reformasi/pembaruan wacana, ajaran, dan doktrin keagamaan tradisional Buddha. Di antara konsep keagamaan utama Buddha traditional yang kemudian diperbarui oleh kaum reformis Buddha Taiwan adalah pemahaman Amitabha sebagai semacam “unworldly Buddha” dan konsep Pure Land sebagai pencerahan/purifikasi pemikiran (purified state of mind). Bagi kelompok pembaru Buddha, konsep Buddha harus dipahami dalam konteks keduniaan di bumi yang real ini (worldly Buddha) bukan di langit yang abstrak. Demikian juga pemahaman tentang Pure Land harus membumi dan memiliki tujuan konkret untuk membersihkan masalah-masalah fundamental kemanusiaan guna mencapai perubahan sosial di dunia (earthly Pure Land) bukan pembersihan pemikiran guna mencapai kedamaian abadi di nirvana. Bagi kaum reformis ini, Pure Land akan menjadi kenyataan jika aneka persoalan sosial-ekonomi yang “mengotori” umat manusia dan dunia bisa dibersihkan dengan tindakan nyata kemanusiaan dan cara-cara sekuler, bukan dengan ritual atau olah spiritual.

Mereka juga menyerukan umat Buddha untuk menjadi/bertindak seperti Boddhisattva yang memiliki tanggung jawab sosial dan moral untuk melakukan perubahan positif di tingkat lokal masing-masing. Konsep daochang yang secara tradisional dipahami sebagai kuil, aula atau tempat khusus meditasi untuk olah spiritual dan wirid keagamaan, oleh kaum reformis istilah daochang dimaknai sebagai semua tempat dimana orang berkerja dan beraktifitas. Tujuan pemahaman ini untuk menanamkan rasa tanggung jawab moral pada diri umat Buddha agar “berjalan lurus,” sadar, mawas diri, dan berhati-hati dimanapun mereka berada tidak hanya saat di kuil. Berkaitan dengan teks-teks keagamaan, kelompok reformis Buddha ini mendasarkan pada sejumlah teks seperti Lotus Sutra (Fahua Jing) yang menekankan pada peranan Boddhisattva dalam menolong orang lain untuk mencapai pencerahan tetapi makna pencerahan ini dimaknai dalam konteks tindakan kemanusiaan yang konkret bukan dalam perspektif filosofis dan ritual. Demikian juga doktrin-doktrin tradisional Buddha seperti dana (pemberian, amal), sila (moralitas), karuna (keharuan), maitri/metta (kebajikan), bhavana (perenungan/meditasi) dan lain-lain (Chakravarti, 1987) selalu diterjemahkan ke dalam konteks lokal dan spirit humanisme.

***

Jika ditelusuri “teologi humanisme” Buddhism in the Human Realm yang disebarluaskan oleh kaum reformis Buddha modern di Taiwan saat ini memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Wawasan “teologi humanisme” ini pertama kali disuarakan oleh sejumlah biarawan reformis ternama China di awal abad ke-20 seperti Yinguang, Taixu, Xuyun, dan Hongyi. Dalam buku Buddhism in Taiwan: Religion and State, 1660-1990, Charles Brewer Jones menyebut keempat tokoh ini sebagai “the greatest monks of the modern period.” Selain keempat tokoh ini, para reformis Buddha modern di Taiwan seperti Cheng Yen (Tzu Chi), Hsing Yun (Fo Guang Shan), dan Sheng Yen (Dharma Drum Mountain), juga dipengaruhi pemikiran revolusioner dan humanis biarawan Yinshun (lahir 1906). Yinshun inilah yang merumuskan visi/teologi Buddhism in the Human Realm (renjian fojiao) yang merupakan modifikasi ide dari Taixu, rensheng fojiao (Buddhism of Human Life).

Pengaruh pemikiran para biarawan reformis di Tawian terjadi terutama sejak 1949 bersamaan dengaan migrasi jutaan kaum nasionalis China (termasuk kaum biarawan) ke pulau itu setelah partai Nasionalis berhasil ditumbangkan rezim komunis pimpinan Mao Zedong. Sejak itu ide-ide reformisme Buddha tersebar di Taiwan melalui beberapa tokoh kunci seperti Li Bingnan, murid utama Yinguang yang meletakkan dasar-dasar reformisme Buddha dan penyadur kitab liturgi reformis, Fomen Bibei Kesongben, sebuah kitab (breviary) yang mendapat pengaruh dan response luas di kuil dan biara Buddha di Tawian. Kitab ini menjadi sangat penting artinya dalam konteks pembaruan Buddha di Taiwan saat ini karena berisi ayat-ayat yang syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, kemodernan, dan pesan mewujudkan kesalehan sosial melalui aksi-aksi solidaritas kemanusiaan global, bukan ayat-ayat konvensional yang berisi tumpukan cerita alam akhirat dan dunia masa lalu yang penuh dengan petuah untuk menggapai kesalehan individual melalui ritus dan wirid keagamaan.***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:38 AM

Kekerasan Rezim Muslim di Sudan

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Suatu saat sejumlah pengungsi Sudan mengunjungi museum Holocaust di Washington, D.C. Di museum ini mereka menyaksikan gunungan sepatu yang dikumpulkan dari para korban pembantaian Nazi yang sadis itu. Mengomentari peristiwa Holocaust yang memakan korban jutaan nyawa manusia di bawah komando si kecil yang kejam Hitler itu, salah seorang pengungsi berkata: “perbedaan antara para korban di Sudan dengan korban Holocaust adalah kami tidak punya sepatu dan tidak seorang pun tahu nama kami.” Berbeda dengan para korban Holocaust (umumnya orang Yahudi dan non-Aryan) yang bersepatu dan disensus sebelum dipaksa kerja dan dibunuh, para korban pembunuhan di Sudan, baik di Sudan Selatan maupun di Darfur, memang tidak bersepatu dan tidak didata terlebih dahulu. Kisah ini dituturkan oleh Dr. William O. Lowrey, seorang aktivis perdamaian Sudan dalam buku yang diedit oleh profesor Harvard Divinity School David Little, Peacemakers in Action: Profiles of Religion in Conflict Resolution.

Menghubungkan peristiwa di Sudan dengan Holocaust di Jerman memang agak dibesar-besarkan tetapi bencana kemanusiaan di negara terluas di Afrika ini memang sudah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Selama lebih dari dua puluh tahun, Sudan dilanda peperangan dan kekerasan yang menyebabkan setidaknya 2 juta nyawa melayang dan lebih dari empat juta jiwa kehilangan tempat tinggal, mengungsi di hutan-hutan, atau kabur ke negara tetangga terutama Chad, Kenya, Ethiopia, dan Central African Republic. Itulah sebabnya Human Rights Watch menyebut Sudan sebagai salah satu negara dengan tingkat kejahatan kemanusiaan terburuk di dunia saat ini (lihat www.hrw.org). Meskipun negara berpenduduk mayoritas Sunni-Islam ini (sekitar 70% dari total 40 juta jiwa) dilanda kekeringan, kelaparan, kekerasan dan peperangan sejak negeri ini bebas dari pemerintah Inggris tahun 1956, anehnya sejauh ini hampir negara-negara berpenduduk muslim di planet ini tidak peduli dengan nasib bangsa Sudan.

Berbeda dengan kekerasan yang terjadi di Palestine, Iraq, Lebanon, Afghanistan, India, Thailand Selatan, Philippine Selatan, dll, yang mendapat response cukup luas dari dunia Muslim internasional, kasus kekerasan, peperangan, dan ketidakadilan di Sudan hampir tenggelam atau memang sengaja dilupakan oleh dunia Islam. Ambil contoh Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Kaum muslim di negeri ini begitu heroik dan bersemangat membela hak-hak rakyat Palestine dari okupasi Israel. Mereka juga sangat keras memprotes dan mengutuk negara-negara non-Muslim yang dianggap campur tangan dan menindas penduduk Muslim di Palestine, Iraq, Afghanistan, Thailand, Philippine, India, dan lainnya, tetapi mereka menutup mata dengan kekerasan, kekejaman, dan ketidakadilan yang dilakukan rezim muslim di Sudan—juga beberapa negara di Afrika Utara dan Timur lain seperti Somalia, Lybia, Ethipia, Mesir, Uganda, dll yang memperlakukan warga non-muslim dan minoritas lain secara tidak adil. Negara-negara Sunni-Arab juga rajin mengkritik rezim Syi’ah Iran tetapi mereka lupa dengan borok-borok di negaranya dan negara-negara yang dikuasai kekuatan Sunni lain termasuk Sudan.

Fenomena ini adalah salah satu contoh dari sikap “standar ganda” yang dilakukan umat beragama seperti pernah disinggung Hugh Goddard. Kekerasan dan ketidakadilan di Palestine, Thailand, Iraq, Mindanao, dan lainnya memang harus dilawan tetapi kekejaman dan kesewenang-wenangan di Sudan dan negara-negara berbasis Islam lain yang melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap warganya juga tidak bisa didiamkan! Sudan adalah contoh nyata dari kekerasan yang dilakukan rezim Muslim baik terhadap non-Muslim di Sudan Selatan maupun terhadap sesama Muslim di Darfur (Sudan Barat). Kekerasan yang terjadi di negeri berpenduduk lebih dari 40 juta ini, meminjam istilah Johan Galtung, merupakan kombinasi dari physical violence seperti perang, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, dll, structural violence yang melibatkan negara dengan segenap perangkat militer-politiknya, dan cultural violence dengan menjadikan, al, agama sebagai basis legitimasi kekerasan. Sudan patut mendapat perhatian global terutama dari dunia Islam karena negeri berbasis Islam ini telah porak-poranda akibat perang, kekerasan, kekeringan, AIDS, dan kelaparan yang memilukan!

Dimanapun peristiwa kekerasan, peperangan, dan konflik komunal lain memiliki akar sejarah yang panjang. Demikian halnya dengan Sudan. Sejarah konflik dan kekerasan di negeri yang berbatasan dengan Mesir ini bisa dibaca dalam buku The History of Sudan: from the Coming of Islam to the Present Day karya Holt & Daly. Disebutkan bahwa peristiwa kekerasan demi kekerasan (violent conflicts) di Sudan telah terjadi jauh sebelum negeri ini merdeka di tahun 1956. Violent conflicts ini berakar kuat pada identitas agama dan etnik selain tentu saja faktor sosial-ekonomi dan perebutan akses sumber-sumber alam yang melimpah seperti minyak, kayu (timber), hydropower dan aneka sumber bahan kerajinan. Identitas agama, kelas sosial, dan etnik juga memiliki kontribusi penting dalam menyulut konflik dan kekerasan di Sudan seperti ditulis Ann Lesch dalam Sudan: Contested National Identities dan Francis Deng dalam buku War of Visions: Conflict of Identities in Sudan.

Dilihat dari segi persebaran etnik/suku, populasi Sudan terdiri atas Arab (39%), Beja (6%), dan suku-suku lokal Afrika (52%). Sementara dari segi agama, dari 40 juta jiwa (sensus 2005), Islam-Sunni menjadi kekuatan mayoritas (70%), sisanya kepercayaan lokal (25%), dan Kristen (5%). Dari aspek kelas sosial, masyarakat Sudan diklasifikasikan ke dalam empat kasta: kelas pertama ditempati warga Arab-Muslim-Sunni yang kebanyakan tinggal di ibukota Sudan, Khartoum. Kelompok yang jumlahnya sekitar 39% inilah yang mengontrol sistem politik dan ekonomi Sudan sejak merdeka. Dengan begitu mereka inilah yang menikmati fasilitas, privileges, dan lezatnya kekuasaan di satu sisi dan yang menjadi sumber utama kekerasan di modern Sudan. Kelas kedua ditempati warga Muslim non-Arab terutama keturunan Afrika dan tinggal di Khartoum (Sudan Utara). Kelas ketiga diduduki non-Muslim tetapi tinggal di Sudan Utara, dan kelas buntut ditempati non-Muslim (Kristen dan kepercayaan lokal) yang tinggal di Sudan Selatan.

Dominasi Arab-Islam-Sunni di Sudan ini sudah terjadi sejak lama. Jauh sebelum Islam memiliki pengaruh di kawasan Afrika Utara, negeri yang kini bernama Sudan ini dihuni oleh penduduk Nubi di Sudan Utara dan berbagai suku di Sudan Selatan. Pengaruh Islam-Arab di Sudan mulai terjadi sejak abad ke-7 ketika penguasa Muslim berhasil menaklukkan Mesir, tetangga Sudan, dan meningkat sejak abad ke-16. Sejak itu terjadi perkawinan silang antara orang Arab dan wanita lokal yang kemudian membentuk identitas budaya baru di Sudan Utara. Baik kaum imigran Arab maupun keluarga baru hasil perkawinan silang ini—mereka mengklaim sebagai “keluarga suci pribumi”—yang di kemudian hari menguasai dan mengontrol Sudan baik secara politik, ekonomi, dan agama—sebuah keserakahan yang mengantarkan pertikaian dan kekerasan panjang antar kelompok agama dan etnik.

Perjanjian damai memang sudah diteken baik di Sudan Selatan maupun di Darfur akan tetapi kekerasan demi kekerasan terus berlanjut karena rezim Khartoum sering mengkhianati perjanjian. Peace Agreement yang ditandatangani pemerintah pusat dengan kubu pemberontak di Sudan Selatan, Sudan People’s Liberation Movement (SPLM) juga ternoda dengan kematian mendadak dan misterius sang pemimpin, Dr. John Garang, pada sebuah kecelakaan helicopter 30 Juli 2005. Kaum pemberontak di Sudan Selatan menuduh rezim Khartoum yang berada di balik pembunuhan itu. Kerusuhan pun kembali meledak yang menyebabkan ribuan orang jadi korban. Situasi politik di selatan juga tidak kunjung mereda karena pemerintah pusat Sudan melanggar klausul perjanjian yang antara lain berisi pembagian jatah 50% hasil minyak bumi yang dieksplorasi di Sudan Selatan untuk kemakmuran warga disana. Minyak memang menjadi andalan sumber kekayaan di Sudan. Negeri ini bisa menghasilkan USD 1,5 milyar per tahun dari minyak (diperkirakan kandungan minyak di Sudan mencapai 1,2 milyar barrels). Tapi celakanya uang hasil minyak itu, selain dikorupsi dan untuk foya-foya para pejabat, dipakai untuk membeli peralatan tempur dari China, Belarus, Rusia dan lainnya untuk menghancurkan warga sipil.

Belum reda masalah di Sudan Selatan, pemerintah Sudan kembali menghadapi masalah serius di Darfur. Kekerasan di Darfur ini meletus sejak Februari 2003. Pelaku penyerbuan, pembunuhan, pembakaran, perampokan dan pemerkosaan atas warga Darfur itu adalah gerombolan milisi dan preman Arab yang bernama Janjaweed dengan dukungan pemerintah pusat yang kebetulan juga dikuasai orang-orang Arab. Pemerintah Sudan merekrut milisi Janjaweed yang berasal dari beberapa etnik Arab nomaden yang migrasi ke Darfur sejak 1980an. Mereka mau direkrut pemerintah Sudan sebagai milisi untuk menghancurkan warga sipil Darfur—meskipun sesama Muslim—dengan harapan nantinya mendapat pekerjaan sebagai tentara atau polisi Sudan. Sebagai bangsa nomaden, ajakan berperang dari pemerintah dianggap sebagai rejeki nomplok dan alasan untuk merampok dan menguasai tanah serta lahan permukiman warga setempat. Di pihak lain, rezim Khartoum tidak mau menggunakan tentara sebab banyak tentara yang berasal dari Darfur. Selain itu, dengan menggunakan tentara sipil, pemerintah bisa berkelit dari tuduhan kejahatan perang yang disponsori negara. Rezim Khartoum memang sering berkilah bahwa kekerasan di Darfur itu adalah kekerasan antar warga sipil bukan kekerasan negara atas sipil.

Rezim Sudan adalah contoh nyata dari konspirasi tentara-pemerintah dan Islam garis keras. Sejak diktator kejam Jendral Ja’far Nimeiri mengkudeta Sudan tahun 1969, dia segera menggandeng kekuatan Islam garis keras Ikhwanul Muslimin untuk mengontrol dan memerintah Sudan di bawah bendera Syari’at Islam. Keputusan itu ditentang keras para tokoh Muslim moderat seperti Muhammad Mahmud Taha, guru Prof. Abdullah Ahmad an-Na’im—sebuah penentangan yang mengakibatkan kematiannya. Kongkalikong penguasa dan Muslim radikal ini terus berlanjut di masa Sadiq al-Mahdi dan Omar Bashir saat ini. Konspirasi ini dibangun berdasarkan kepentingan saling menguntungkan: pihak pemerintah membutuhkan legitimasi agama untuk melanggengkan kekuasaan politik yang diraih dengan cara-cara kotor sementara di pihak kubu Muslim radikal, koalisi dengan pemerintah merupakan kesempatan emas untuk menikmati kekuasaan yang mereka impikan. Akibat persekongkolan ini terjadilah kekerasan yang mengerikan sepanjang sejarah Sudan yang tidak hanya memakan korban orang-orang Kristen dan kepercayaan lokal di Sudan Selatan melainkan juga kaum muslim sendiri yang melawan mainstream Khartoum seperti di Darfur.

Apa yang terjadi di Sudan adalah warning buat pemerintah Indonesia yang sering “main mata” dengan kelompok Islam garis keras. Kasus Sudan juga sebagai bukti untuk kesekian kalinya bahwa aplikasi Syari’at Islam hanyalah akal-akalan dari kelompok “Islam kanan” demi kekuasaan, bukan demi Islam, rakyat, apalagi Tuhan!***

Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:34 AM

“Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Kelompok fundamentalis Muslim bisanya selalu diidentikkan dengan kekerasan, anti-demokrasi, kebebasan sipil, sekularisme, pluralisme, dan lain-lain, serta dituduh menghambat perkembangan civil society dan civic culture. Namun klaim ini tidak selamanya akurat. Beberapa dekade ini ada perkembangan menarik mengenai fenomena fundamentalisme Islam di Arab dan Timur Tengah. Beberapa faksi fundamentalis Muslim di kawasan ini tidak lagi alergi dengan wacana demokrasi, liberalisme, freedom, feminisme, dan berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan civil liberties dan human rights. Sebaliknya, mereka memperjuangkan ide-ide itu ke tataran praktis dengan cara-cara beradab bukan melalui jalan kekerasan seperti kebanyakan kelompok ini lakukan. Bahkan mereka terang-terangan mengkritik kelompok fundamentalis yang masih menggunakan cara-cara kekerasan (pengrusakan, terror, dll) dalam menyampaikan masalah keumatan. Inilah yang saya sebut sebagai “fundamentalis moderat” atau, meminjam istilah Nader Hashemi, “islamis liberal.” Arus baru fundamentalisme Islam ini telah menarik perhatian beberapa sarjana kajian keislaman seperti Gudrun Kramer, Ahmad Mousalli, Carl Brown, Anthony Shadid, Augustus Richard Norton, dan belakangan Asef Bayat, direktur baru ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) di Leiden University.

Dalam buku terbarunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn, Asef Bayat memberi ulasan menarik mengenai fenomena ini. Dia mengatakan bahwa diskusi tentang “Islam sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi” sudah tidak relevan lagi karena dunia Islam, khsusnya Arab dan Timur Tengah, sedang “in the process of democracy.” Kesimpulan Bayat ini didasarkan pada hasil risetnya tentang “post-Islamist” Iran dan Hizb al-Wasath (Partai Tengah/Moderat) di Mesir, di mana menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan perjuangan politik yang dipelopori organisasi mahasiswa, kaum perempuan, akademisi, aktifis, dan bahkan kaum ulama telah memberi kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi, pluralisme, dan liberalisme, serta mendorong pertubuhan civil society di kedua negara. Iran memang dikenal dunia internasional sebagai negara yang melahirkan tokoh-tokoh yang bersuara lantang tentang demokrasi dan kebebasan sipil terutama sejak Imam Khomeini memberlakukan otoritas dan supremasi ulama di atas segela-galanya dan memberangus ekspresi civil liberties. Suara lantang itu tidak hanya muncul dari kelompok aktivis NGO dan kaum intelektual kampus saja tapi juga dari dalam mullah sendiri yang selama ini dikenal konservaif.

Di Mesir, perubahan fundamental juga terjadi di tubuh Hizb al-Wasath, sayap pecahan Ikhwanul Muslimin. Fenomena Hizb al-Wasath ini menarik karena seperti ditunjukkan dalam studi Bayat dan juga Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, kelompok/partai “Islam kanan” ini telah melakukan reformasi mendasar mengenai fondasi keagamaan kepartaian berupa, al, menerima non-Muslim (khususnya Kristen Coptic) dan kaum perempuan dalam struktur politik partai dan calon legislatif, serta bersedia bekerja sama dengan partai non-Islam. Pemandangan ini tentu tidak umum buat partai Islam kanan yang selama ini dikenal memiliki visi keislaman ketat dan konservatif. Dengan perspektif baru kepartaian ini, Hizb al-Wasath menegaskan keberbedaannya dengan mainstream Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang dikenal konservatif dan tidak menghargai kebebasan sipil, anti-demokrasi dan pluralisme. Penegasan keberbedaan ini disampaikan oleh salah satu pendiri Hizb al-Wasath, Essam Sultan, yang mengatakan bahwa partainya berbeda secara fundamental dengan IM dalam hal “keimanan” pada pluralisme, demokrasi, kebebasan berpikir dan berkespresi, serta hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer. Essam Sultan mengklaim bahwa IM, dengan pandangan-pandangan konservatifnya, telah mengisolasi diri dari komunitas luar non-IM, padahal menurutnya kelompok/grup diluar partai harus dijadikan sebagai bagian dari perubahan global. Renaissance bagi masa depan Mesir, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas yang lebih luas termasuk non-Muslim dan kaum perempuan yang selama ini selalu dalam “pojok” sejarah kepolitikan Islam (Shadid, 2002: 262).

Arus baru “fundamentalis moderat” atau “islamis liberal” ini tidak hanya terjadi di Mesir dan Iran saja tetapi di berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah lain seperti Saudi Arabia, Jordan, Syria, Tunisia, dan lainnya seperti ditunjukkan dalam studi Gudrun Kramer, senior research fellow di Stiftung Wissenschaft und Politik di Jerman, dan Ahmad Mousalli, profesor ilmu politik di American University di Beirut. Kedua sarjana ahli kajian Islam ini telah melakukan riset mengenai fenomena kelompok ini dengan mengkaji pemikiran para tokoh muslim “fundamentalis moderat” seperti Rashid Ghannushi (pendiri Hizb al-Nahda di Tunisia), Muhammad ‘Ammara, Muhammad Salim al-‘Awwa, Fahmi Hawaidi, Muhammad Hashim al-Hamidi, dan sebagainya. Al-Hamidi misalnya menegaskan bahwa dunia Arab—dan Islam—harus dibangun berdasarkan sistem politik demokratis dan adil menyangkut partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung kemerdekaan berpikir, kebebasan sipil, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain, bahkan termasuk membolehkan kaum komunis untuk berpartisipasi dalam kepolitikan.

Dalam konteks pemikiran fundamentalis dan rezim Arab-Timur Tengah yang tradisional dan konservatif, wacana yang mereka dengungkan tentu sangat maju dan modern. Mengomentari fenomena perubahan ways of thinking dari kelompok “Islam kanan” ini, Mousalli (dalam Norton, Civil Society in the Middle East, 1995: 118) mengatakan bahwa “para pemikir fundamentalis moderat tentu bukan demokrat liberal Barat tetapi mereka cukup moderat dan demokratis dalam konteks pemerintahan Arab dan Timur Tengah yang dikontrol para pemimpin nasionalis otoriter dan para raja tradisional yang despotik.” Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet juga menandaskan adanya samudra perubahan Islam politik dan “proses pendewasaan” berfikir kelompok “islamis” menyangkut wacana ciivil society, negara/sistem pemerintahan, demokrasi, dan perjuangan tanpa kekerasan.

Tidak semua sarjana dan pengamat berpendapat positif mengenai tren baru “fundamentalis moderat” ini. Ada yang berkomentar sumir dan skeptik. Mereka mempertanyakan apakah kaum “fundamentalis moderat” tulus dalam menyuarakan keyakinan prinsip-prinsip demokrasi atau hanyalah sekedar retorika, taktik dan strategi untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik dalam pemilu, sebagai jalan menuju kekuasaan? Memang banyak kasus bahwa moderatisme dan demokrasi yang mereka wacanakan hanya sebatas wacana tidak pernah menjadi kenyataan. Kasus Amir Arselan di Lebanon atau Hasan Turabi di Sudan adalah contoh nyata bagaimana masalah kebebasan sipil, pluralisme, dan demokrasi yang mereka kampanyekan hanyalah retorika belaka untuk meraup dukungan publik dalam pemilu. Pemilu selesai, janji-janji manis pun selesai: mereka kembali pada “kodratnya” yang anti-demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil, yang menurut mereka tidak dikenal dalam Syari’at Islam.

Tetapi harap juga dicatat bahwa keberhasilan kelompok Islam kanan dalam mengais dukungan rakyat di panggung politik juga tidak lepas dari kegagalan kelompok sekuler-nasionalis Arab dan Timur Tengah dalam menjalankan roda pemerintahan. Palestina dan Mesir adalah contoh terbaik. Hamas pamornya naik karena Fatah dijerat sekandal korupsi disamping terlalu lembek dalam menjalankan negosiasi dengan Israel. Kelompok “Islam kanan” di Mesir yang cukup sukses mendulang suara dalam pemilu juga tidak lepas dari perilaku rezim nasionalis-sekuler Hosni Mubarak yang otoriter, despotik, dan korup.

Terlepas dari motovasi politik apa dibalik munculnya kelompok “fundamentalis moderat” itu, pemikiran dan program-program mereka yang populis dan humanis sebagai “strategi berpolitik” menjadi menarik untuk disimak. Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berfikir, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka tidak lagi menggunakan slogan-slogan retoris syari’at Islam tetapi lebih ke isu-isu menyangkut kebutuhan riil masyarakat (human needs) dan hak-hak dasar mereka (human rights) sebagai warga negara.

Fenomena “fundamentalis moderat” di Timur Tengah ini saya amati bertolak belakang dengan kelompok fundamentalis muslim dan partai-partai berbasis Islam di Indonesia. Tren kaum fundamentalis Islam di negeri ini masih belum berubah dari pola-pola lama. Mereka umumnya masih rajin jualan Syari’at Islam dan isu-isu yang berkaitan dengan “dunia lain.” Mereka bukan berlomba-lomba menciptakan program yang populis-humanis sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya tapi sebaliknya masih menggunakan cara-cara kuno jualan surga dan produk-produk Arab klasik lain seperti hukum potong tangan, memelihara jenggot, bercadar, dll. Pula, tidak seperti fenomena baru kaum “fundamentalis moderat” di Timur Tengah yang menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan rakyat, kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.***