Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:45 AM

Reformasi Buddha di Taiwan

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Reformasi pemikiran keagamaan tidak hanya terjadi di dalam Islam, Protestan, atau Katolik saja tetapi juga merambah ke agama Buddha. Jamak diketahui kalau agama Buddha selalu dikaitkan dengan wacana “dunia lain” (otherworldliness) dan selalu diidentikan dengan agama yang irasional, statis, tradisional, sceptic, ascetic, philosofis, bias gender, dan sebagainya. Karena wataknya yang “melangit” dan “nirvana oriented,” agama ini juga dianggap tidak peduli dengan hal-hal yang berbau kemanusiaan dan duniawiyah (worldliness). Trademark inilah yang menyebabkan sarjana ternama sekaliber Max Weber dan para pendukungnya berpendirian (berkeyakinan?) kalau etos kapitalisme yang rasional tidak akan pernah bermigrasi ke India dan negara-negara berbasis Buddha (Gerth & Mills (trans.), 1958).

Weber sebetulnya tidak hanya mengkritik agama Buddha tapi juga Hindu, Confucianisme, Islam, Taoisme, Katolik, dan agama Yahudi yang dianggapnya berlawanan dengan etika Protestantisme khususnya Calvinisme yang melahirkan “spirit” kapitalisme modern. Pandangan Weber yang bias ini sudah banyak dikritik sosiolog-anthropolog, al, Bellah (1957), Tambiah (1973), dan Berger (1988). Bellah misalnya dalam studi klasiknya tentang agama Tokugawa mengatakan bahwa di Jepang, Buddhisme dan Konfusianisme terbukti mampu menciptakan “aktivitas ekonomi rasional”: kapitalisme. Klaim etika Konfusianisme yang mampu melahirkan spirit kapitalisme juga dilakukan Lee Kuan Yew di Singapore dan Hu Jintau di China. Selain Singapore dan China, kemajuan ekonomi di Korsel, Taiwan, dan Hong Kong, serta pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan di India (Hindu), Malaysia (Islam), dan beberapa negara berbasis Katolik di Amerika Selatan, Italia dan lain-lain semakin menjukkan kerapuhan tesis Weber.

***

Taiwan merupakan salah satu negara yang menarik untuk dikaji khususnya berkaitan dengan etika Buddhisme, kaptalisme, dan hal-hal duniawiyah lain yang luput dari pengamatan seorang Weber. Menarik karena agama Buddha, sebagai salah satu agama utama di Taiwan selain Taoisme dan folk religions, tampil rasional, elegan, dinamis, realistis, feminis, humanis, liberal, anthroposentris, dan intelektual jauh dari kesan-kesan klasik Buddhisme yang miskin, irasional, unworldly-centric, filosofis, mysoginis, bias gender, “anti dunia” dan sebagainya. Fenomena “Buddha baru” ini setidaknya tampak pada beberapa organisasi utama Buddha di negeri itu seperti Tzu Chi, Fo Guang Shan, dan Dharma Drum Mountain yang memiliki jutaan pengikut dan berpengaruh di berbagai macam negara. Penampilan beberapa organisasi Buddha Mahayana di Taiwan ini mampu mengantarkan citra positif-progresif Buddha di tingkat international.

Tzu Chi didirikan oleh seorang biarawati kharismatik bernama Master Cheng Yen pada tahun 1966. Organisasi yang pada awal berdirinya hanya terdiri atas 30 ibu rumah tangga dan dibangun di atas donasi uang rencehan itu (NT 0.50 per hari), kini Tzu Chi mempunyai pengikut lebih dari lima juta orang umumnya “kaum Hawa,” memiliki cabang di 14 negara, dan mampu mendonasikan sekitar US$ 20 juta per tahun untuk membantu mengurangi kemiskinan, kelaparan, dan korban bencana di berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan reputasi ini, Tzu Chi dikenal sebagai salah satu organisasi charity terbesar di Taiwan yang peduli pada isu-isu kemanusiaan global yang digerakkan oleh kaum perempuan—dan karena itulah di tingkat international, anggota Tzu Chi dikenal sebagai “Ciji Mamas” (Huang & Weller, 1998). Selain peduli pada masalah kemanusiaan, sang pendiri Master Cheng Yen juga dikenal sebagai advokat dan “juru bicara” tentang persamaan hak-hak kaum perempuan dalam agama Buddha terutama mengenai dibolehkannya mereka menjadi pendeta guna melayani umat Buddha. Pemikiran pembaharuan keagamaan dan petuah-petuah hidup Cheng Yen telah direkam dalam buku Still Thoughts.

Organisasi Buddha utama lain di Taiwan adalah Fo Guang Shan, didirikan oleh seorang rahib reformis ternama Master Hsing Yun (Xingyun) pada tahun 1967. Seperti Tzu Chi, Fo Guang Shan juga memiliki jutaan anggota, 3.500 biara, dan mempunyai cabang di lebih dari 30 negara. Karena mengabdikan diri secara total pada isu-isu fundamental kemanusiaan, Fo Guang Shan dikenal luas sebagai “humanistic Buddhism.” Dasar-dasar pemikiran reformasi keagamaan Hsing Yun ditulis dalam bukunya How To Be Fo Kuang Buddhist. Dalam buku ini Hsing Yun mengkritik pemahaman konvensional Buddha yang terlalu menitikberatkan pada “dunia lain” dan “kehidupan akhirat” ketimbang mengurusi masalah-masalah kemanusiaan di dunia saat ini. Selain Tzu Chi dan Fo Guang Shan, organisasi reformis Buddha lain adalah Dharma Drum Mountain yang merupakan kombinasi dari Nung Chan Monastry dan Chung-Hwa Institute of Buddhist Culture. Fokus utama organisasi yang semula didirikan oleh Master Dongchu dan sejak tahun 1978 dipimpin oleh Master Sheng Yen ini adalah pendidikan untuk meningkat kualitas akademik dan intelektual jemaat Buddha khususnya biarawan/biarawati di berbagai bidang keilmuan dan isu lingkungan untuk menciptakan dan mempromosikan “bumi hijau.”

***

Menarik untuk disimak bahwa ketiga kelompok “Buddha baru” di Taiwan modern di atas ini memiliki spirit dan visi sama yaitu mengusung tema “renjian fojiao” (Buddhism in the Human Realm) (sebetulnya masih ada beberapa kelompok Buddha lain di Taiwan yang memiliki visi sejenis seperti Masyarakat Buddha Ling Jiuo Shan dan Biara Chung Tai Chan). “Teologi humanisme” Buddha ini mampu mentransformasikan agama ini ke dalam aktivitas duniawiyah seperti menjalankan bisnis dan kegiatan ekonomi lain serta terlibat aktif dalam menyelesaikan problem kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, kebodohan, keterbelakangan, dan lain-lain. Dalam tradisi Buddha, visi (“teologi”) ini tentu saja merupakan bentuk transformasi radikal yang sangat fundamental dari Buddha yang “anti-duniawiyah” dan terikat oleh tradisi tekstual menjadi Buddha yang peduli dengan masalah keduniaan dan berpedoman pada makna kontekstualitas tradisi keagamaan. Meminjam istilah Fazlur Rahman, kelompok Buddha kontemporer di Taiwan ini telah mentransformasikan spirit “teocentrisme” ke “anthroposentrisme.”

Perubahan lokus pemikiran ini membawa sejumlah konsekuensi logis berupa reformasi/pembaruan wacana, ajaran, dan doktrin keagamaan tradisional Buddha. Di antara konsep keagamaan utama Buddha traditional yang kemudian diperbarui oleh kaum reformis Buddha Taiwan adalah pemahaman Amitabha sebagai semacam “unworldly Buddha” dan konsep Pure Land sebagai pencerahan/purifikasi pemikiran (purified state of mind). Bagi kelompok pembaru Buddha, konsep Buddha harus dipahami dalam konteks keduniaan di bumi yang real ini (worldly Buddha) bukan di langit yang abstrak. Demikian juga pemahaman tentang Pure Land harus membumi dan memiliki tujuan konkret untuk membersihkan masalah-masalah fundamental kemanusiaan guna mencapai perubahan sosial di dunia (earthly Pure Land) bukan pembersihan pemikiran guna mencapai kedamaian abadi di nirvana. Bagi kaum reformis ini, Pure Land akan menjadi kenyataan jika aneka persoalan sosial-ekonomi yang “mengotori” umat manusia dan dunia bisa dibersihkan dengan tindakan nyata kemanusiaan dan cara-cara sekuler, bukan dengan ritual atau olah spiritual.

Mereka juga menyerukan umat Buddha untuk menjadi/bertindak seperti Boddhisattva yang memiliki tanggung jawab sosial dan moral untuk melakukan perubahan positif di tingkat lokal masing-masing. Konsep daochang yang secara tradisional dipahami sebagai kuil, aula atau tempat khusus meditasi untuk olah spiritual dan wirid keagamaan, oleh kaum reformis istilah daochang dimaknai sebagai semua tempat dimana orang berkerja dan beraktifitas. Tujuan pemahaman ini untuk menanamkan rasa tanggung jawab moral pada diri umat Buddha agar “berjalan lurus,” sadar, mawas diri, dan berhati-hati dimanapun mereka berada tidak hanya saat di kuil. Berkaitan dengan teks-teks keagamaan, kelompok reformis Buddha ini mendasarkan pada sejumlah teks seperti Lotus Sutra (Fahua Jing) yang menekankan pada peranan Boddhisattva dalam menolong orang lain untuk mencapai pencerahan tetapi makna pencerahan ini dimaknai dalam konteks tindakan kemanusiaan yang konkret bukan dalam perspektif filosofis dan ritual. Demikian juga doktrin-doktrin tradisional Buddha seperti dana (pemberian, amal), sila (moralitas), karuna (keharuan), maitri/metta (kebajikan), bhavana (perenungan/meditasi) dan lain-lain (Chakravarti, 1987) selalu diterjemahkan ke dalam konteks lokal dan spirit humanisme.

***

Jika ditelusuri “teologi humanisme” Buddhism in the Human Realm yang disebarluaskan oleh kaum reformis Buddha modern di Taiwan saat ini memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Wawasan “teologi humanisme” ini pertama kali disuarakan oleh sejumlah biarawan reformis ternama China di awal abad ke-20 seperti Yinguang, Taixu, Xuyun, dan Hongyi. Dalam buku Buddhism in Taiwan: Religion and State, 1660-1990, Charles Brewer Jones menyebut keempat tokoh ini sebagai “the greatest monks of the modern period.” Selain keempat tokoh ini, para reformis Buddha modern di Taiwan seperti Cheng Yen (Tzu Chi), Hsing Yun (Fo Guang Shan), dan Sheng Yen (Dharma Drum Mountain), juga dipengaruhi pemikiran revolusioner dan humanis biarawan Yinshun (lahir 1906). Yinshun inilah yang merumuskan visi/teologi Buddhism in the Human Realm (renjian fojiao) yang merupakan modifikasi ide dari Taixu, rensheng fojiao (Buddhism of Human Life).

Pengaruh pemikiran para biarawan reformis di Tawian terjadi terutama sejak 1949 bersamaan dengaan migrasi jutaan kaum nasionalis China (termasuk kaum biarawan) ke pulau itu setelah partai Nasionalis berhasil ditumbangkan rezim komunis pimpinan Mao Zedong. Sejak itu ide-ide reformisme Buddha tersebar di Taiwan melalui beberapa tokoh kunci seperti Li Bingnan, murid utama Yinguang yang meletakkan dasar-dasar reformisme Buddha dan penyadur kitab liturgi reformis, Fomen Bibei Kesongben, sebuah kitab (breviary) yang mendapat pengaruh dan response luas di kuil dan biara Buddha di Tawian. Kitab ini menjadi sangat penting artinya dalam konteks pembaruan Buddha di Taiwan saat ini karena berisi ayat-ayat yang syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, kemodernan, dan pesan mewujudkan kesalehan sosial melalui aksi-aksi solidaritas kemanusiaan global, bukan ayat-ayat konvensional yang berisi tumpukan cerita alam akhirat dan dunia masa lalu yang penuh dengan petuah untuk menggapai kesalehan individual melalui ritus dan wirid keagamaan.***

This entry was posted on 10:45 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: