Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:12 AM

Membangkitkan Islam Pacifis

Oleh Sumanto Al Qurthuby


Pacifisme (Latin: pacificus) adalah paham tentang oposisi terhadap perang dan segala bentuk kekerasan sebagai jalan penyelesaian konflik (Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 845). Istilah ini juga merujuk pada pengertian ide dan gerakan nonviolent resistance sebagai bentuk kritik terhadap segala tindakan tirani, despotism, authoritarianism, dll yang dilakukan oleh para penguasa—baik penguasa politik maupun agama. Tidak seperti kaum radikal yang memilih kekerasan sebagai jalan penyelesaian masalah, kelompok pacifists lebih memilih aksi-aksi damai. Meski begitu harap dicatat bahwa pacifism tidak identik dengan quietism—paham serba diam—seperti banyak dituduhkan oleh kelompok anti-pacifisme. Bagi kelompok ini, pacifisme sering diplesetkan “passivisme” (bentuk lain dari quietism, submissiveness, cowardice), yakni paham serba diam atau pasif dalam menghadapi ketidakadilan. Selain itu, kaum pacifis juga dituduh menomersatukan perdamaian (peace) dan menomersekiankan keadilan (justice).

Tuduhan-tuduhan semacam itu—yang kebanyakan disuarakan oleh kaum radikal dan kelompok pendukung perang dan kekerasan—sama sekali tidak berdasar, bias, dan “salah baca” (misreading) atas pengertian dasar pacifisme. Salah satu pemikir dan pendukung pacifisme, Gene Sharp, seorang sarjana senior di Albert Einstein Institution di Boston yang sering dijuluki “the Machiavelli of nonviolence” dan “the Clausewitz of nonviolent warfare” telah memberikan klarifikasi dan penjelasan ilmiah mengenai ide dan gerakan “tanpa-kekerasan” ini dalam buku klasiknya, The Politics of Nonviolent Action. Intinya, pacifisme bukan berarti passivity atau tindakan submissive menghadapi realitas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Pacifisme juga bukan berarti mengabaikan isu keadilan. Kaum pacifis sadar bahwa keadilan adalah ingredient dari perdamaian. Perdamaian tidak bisa dicapai atau minimal susah dicapai jika isu ketidakadilan (injustice) tidak diselesaikan. Bagi mereka perdamaian bukan hanya ditandai absennya perang dan kekerasan tetapi juga hadirnya keadilan. Maka, kelompok ini bekerja pada dua level isu ini—peace and justice—sekaligus melalui jalan apa yang oleh sarjana muslim dan aktifis perdamaian Thailand Chaiwat Satha-Anand (Quader Muheideen) disebut “active nonviolent resistance.

Gerakan Anti-Perang dan Kekerasan

Kelompok pacifisme inilah kebanyakan yang menjadi motor penggerak aksi-aksi melawan “kebijakan” perang, penjajahan, kolonialisme, militerisme dan segala bentuk policy yang menggunakan sarana kekerasan. Di AS misalnya, koalisi kelompok pacifis dari berbagai agama (Kristen, Catholics, Hindu, Buddha, Jainisme, Judaisme, dll) telah menjadi elemen penting dalam setiap aksi melawan kebengalan dan kebijakan ndableg pemerintahan George Bush tentang war on terror, perang Afghanistan, Iraq, Israel-Palestine, nuklir Iran, dll. Kelompok ini, misalnya saja Christian Peacemakers yang merupakan gabungan dari berbagai denominasi Kristen seperti Quakers, Catholics, Anabaptists (Mennonites, Brethrens in Christ, dll), Presbyterians, Methodists, dll, secara aktif menggalang kekuatan melawan kekerasan dan perang melalui berbagai aksi demonstrasi, marches, petisi massa, surat oposisi atau dukungan, group lobbying, vigils, penyebaran leaflets, pamphlets, posters, atau pesan-pesan perdamaian dan anti kekerasan dan perang melalui TV, radio, dll. Dalam tradisi Kristen paham pacifisme ini begitu kuat karena berakar ada sosok Jesus Christ yang jelas-jelas figur anti-kekerasan dan bahkan Jesus memerintahkan pengikutnya untuk mencintai musuh-musuhnya serta mendoakan orang-orang yang menyiksanya. Karena itu penolakan terhadap kekerasan (dengan demikian penegasan terhadap perdamaian), seperti dikatakan John Howard Yoder, salah satu teolog kaum pacifis, merupakan “intrinsic element of Christian profession” (Zimmerman 2007, 16). Maka dalam pandangan kelompok Kristen pacifis ini, orang-orang Kristen yang menjalankan atau mendukung kekerasan (termasuk perang) merupakan bentuk penyelewengan fundamental atas teologi kekristenan. Itulah sebabnya kenapa mereka mengkritik keras kebijakan pemerintahan Bush dan pendukungnya (terutama dari gereja-gereja Kristen konservatif) yang pro-perang.

Tradisi pacifisme juga sangat kuat dalam agama Yahudi (Judaisme). Dalam teks-teks rabbinic misalnya bertebaran ungkapan “Gadol Hashalom”—perdamaian adalah nilai tertinggi. Dalam Hebrew Bible juga banyak dijumpai prinsip-prinsip perdamaian, keadilan serta penegasan anti-kekerasan (misalnya, Jer. 16:5, Ps. 85:11). Prinsip-prinsip inilah, antara lain, yang mendorong gerakan pacifisme dalam Judaisme seperti dilakukan Rabbi Jeremy Milgrom, pendiri Clergy for Peace, direktur Rabbis for Human Rights dan the Israeli Interfaith Association. Rabbi Milgrom adalah mantan tentara Israel yang kemudian bertaubat dan kini aktif di gerakan perdamaian dan hak asasi manusia serta menyeponsori proyek-proyek rekonsiliasi Arab-Yahudi. Tokoh agama dan pemikir Yahudi lain yang aktif di gerakan perdamaian adalah, al, Marc Gopin dari George Mason University dan penulis Holy War, Holy Peace (2002) dan Between Eden and Armageddon: the Future of World Religions, Violence, and Peacemaking (2000), Rabbi Robert Eisen (American University, Washington, DC), dan Peter Ochs (University of Virginia). Marc Gopin dan Peter Ochs, bersama penulis dan sejumlah sarjana dan aktifis Kristen saat ini sedang terlibat proses pembentukan Center for the Studies in the Abrahamic Traditions—sebuah pusat studi dimana para praktisi dan sarjana dari tiga agama Semit ini bekerja sama dalam penelitian, training dan program-program yang berkaitan dengan perdamaian global dan human developments. Para tokoh agama Yahudi ini bersama tokoh lintas-agama sedang gencar melakukan kampanye anti-perang dan terus mendorong proses perdamaian global termasuk Arab-Israel.

Tidak bisa dipungkiri tradisi pacifisme dalam kedua agama ini memang sangat kuat dan mengakar pada konsep-konsep teologi mereka. Karena didorong oleh semangat ajaran-ajaran mereka yang anti perang/kekerasan dan cinta perdamaian inilah, kaum pacifis dari kedua agama ini bersama kelompok pacifis Muslim bekerja sama menciptakan iklim kesejukan terutama bagi ketiga pengikut agama ini seperti dilakukan organisasi Seeds of Peace di Palestine dan Israel. Organisasi ini melibatkan para pengikut Islam, Kristen, dan Yahudi di Arab dan Timur Tengah untuk menyelesaikan konflik panjang mereka dengan jalan menciptakan “space” bagi pengikut ketiga agama ini untuk bertukar pikiran, sharing stories, dan alternatif-alternatif penyelesaian konflik tanpa kekerasan. Mereka sadar bahwa kekerasan yang terjadi di Arab dan Timur Tengah lebih banyak muatan politik dan ekonomi dari para “oknum politisi” dan “oknum pedagang” ketimbang masalah agama. Dalam banyak hal agama memang merupakan “penumpang” kesekian dari konflik kekerasan.

Pacifisme dalam Islam

Sebagaimana “saudara tua” agama Yahudi dan Kristen, secara konseptual Islam juga tidak bisa dilepaskan dari tradisi pacifisme. Ajaran tentang perdamaian dan keadilan sangat ditekankan dan berulang kali disebut dalam teks Al-Qur’an. Kata “Islam” sendiri seperti disebutkan dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic selain bermakna “ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi” (terhadap keinginan Tuhan) juga bermakna “perdamaian, keselamatan, keamanan, kesejahteraan”, dst. (Cowan, ed., 1976: 425-426). Doktrin perdamaian ini sangat esensial dalam Islam karena pemahaman ini berakar kuat pada doktrin fundamental Islam, tauhid, yang tidak hanya mengandung pengertian “kesatuan Tuhan” (unity of Godhead) tetapi juga “kesatuan kemanusiaan” (unity of humanity), “kesatuan penciptaan” (unity of creation), dan “kesatuan eksistensi” (unity of existence atau wahdatul wujud). “Barat dan Timur adalah milik Allah,” tegas Al-Qur’an (Q.2:115). Tauhid adalah sebuah “prinsip kesatuan” yang merupakan lahan subur bagi spiritualitas dan keimanan Islam.

Karena prinsip “kesatuan” ini, Islam menggarisbawahi pentingnya pluralitas, harmoni, toleransi, inter-relasi, dll sebagai nilai-nilai fundamental untuk menjaga perdamaian universal antar manusia. Karena prinsip “kesatuan” ini pulalah Islam menegaskan kehidupan manusia sebagai sesuatu yang “sakral” yang harus dirawat oleh semua penduduk planet ini. Al-Qur’an menyatakan, “…dan barang siapa membunuh seorang manusia maka dia seperti membunuh seluruh manusia dan barang siapa menyelamatkan nyawa seorang manusia maka ia seperti menyelamatkan seluruh kehidupan manusia” (Q. 5:32). Ayat ini sekali lagi menegaskan dimensi sakralitas kehidupan kemanusiaan yang harus dihormati dan dipelihara oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bukan malah merusak dan mengotorinya dengan tindakan pembunuhan, kekerasan, pengrusakan, vandalisme, dsb. Selain berakar kuat pada konsep tauhid, paham perdamaian (baca, pacifisme) dalam Islam juga merupakan penjabaran logis dari salah satu nama-nama indah Tuhan, al-Salam (“Sang Damai”). Konsep tauhid ini mirip dengan ajaran Buddha tentang Dharmakaya yang didefinisikan sebagai: semua hal dan semua yang ada adalah tubuh Buddha. Tidak ada “hal” (object, entitas, konsep, phenomena, etc.) yang eksis dalam realitas karena kosmos ini, meminjam istilah Mary Clark, merupakan “interdependent whole.”

Menyadari substansi perdamaian dalam Islam, sampai hari beliau meninggal, Nabi Muhammad terus melakukan dialog damai dan membangun hubungan yang sehat dengan Yahudi dan Kristen di Arab seperti diriwayatkan oleh para penulis awal biography beliau semisal Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, al-Baladhuri, atau al-Tabari. Gordon Newby dalam A History of Jews of Arabia juga menandaskan hubungan harmonis antara Nabi Muhammad dan komunitas Yahudi. Bukti lain yang cukup monumental adalah pada waktu peristiwa Fathu Makkah di mana Kanjeng Nabi menyerukan perdamaian dan rekonsiliasi dengan para bekas musuhnya. Ketika Mekkah berhasil “ditaklukkan” kaum muslim, Nabi Muhammad juga melarang pembersihan dan pengrusakan simbol-simbol agama Yahudi dan Kristen seperti dituturkan Martin Lings dalam Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, yang didasarkan pada riwayat Waqidi dan Azraqi. Teladan mulia Nabi Muhammad dengan hidup berdampingan dengan Yahudi dan Kristen ini kemudian dilanjutkan oleh kaum muslim generasi awal. Bahkan seperti ditulis Nabia Abbot dalam Studies in Arabic Literary Papyri, kaum muslim pada abad-abad pertama Islam secara reguler membaca Al-Qur’an bersama Torah.

Sebagai bagian “keluarga besar Islam,” sudah seharusnya jika kita (kaum muslim) mencontoh dan melanjutkan perilaku harmonis beliau serta menjalankan pesan-pesan universal tauhid dengan jalan hidup berdampingan secara damai dengan tetangga agama kita, menghargai realitas keberagaman yang dianugerahkan Tuhan, serta membangun dialog dan komunikasi inter dan antar-agama secara positif, sehat dan produktif. Bukan sebaliknya, berteriak-teriak anti non-Muslim atau anti-pluralisme dengan melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, vandalistic, terorisme, dsb. Sungguh jenis perbuatan ini bukan hanya sebuah “immoral situation” untuk meminjam istilah Syeikh Mahmud Schaltut, melainkan juga bentuk penyimpangan serius dari spirit Islam sebagai agama damai!***

This entry was posted on 6:12 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: