Author: Sumanto Al Qurtuby
•10:34 AM

“Fundamentalis Moderat” di Timur Tengah

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Kelompok fundamentalis Muslim bisanya selalu diidentikkan dengan kekerasan, anti-demokrasi, kebebasan sipil, sekularisme, pluralisme, dan lain-lain, serta dituduh menghambat perkembangan civil society dan civic culture. Namun klaim ini tidak selamanya akurat. Beberapa dekade ini ada perkembangan menarik mengenai fenomena fundamentalisme Islam di Arab dan Timur Tengah. Beberapa faksi fundamentalis Muslim di kawasan ini tidak lagi alergi dengan wacana demokrasi, liberalisme, freedom, feminisme, dan berbagai isu fundamental yang berkaitan dengan civil liberties dan human rights. Sebaliknya, mereka memperjuangkan ide-ide itu ke tataran praktis dengan cara-cara beradab bukan melalui jalan kekerasan seperti kebanyakan kelompok ini lakukan. Bahkan mereka terang-terangan mengkritik kelompok fundamentalis yang masih menggunakan cara-cara kekerasan (pengrusakan, terror, dll) dalam menyampaikan masalah keumatan. Inilah yang saya sebut sebagai “fundamentalis moderat” atau, meminjam istilah Nader Hashemi, “islamis liberal.” Arus baru fundamentalisme Islam ini telah menarik perhatian beberapa sarjana kajian keislaman seperti Gudrun Kramer, Ahmad Mousalli, Carl Brown, Anthony Shadid, Augustus Richard Norton, dan belakangan Asef Bayat, direktur baru ISIM (International Institute for the Study of Islam in the Modern World) di Leiden University.

Dalam buku terbarunya, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn, Asef Bayat memberi ulasan menarik mengenai fenomena ini. Dia mengatakan bahwa diskusi tentang “Islam sesuai atau tidak sesuai dengan demokrasi” sudah tidak relevan lagi karena dunia Islam, khsusnya Arab dan Timur Tengah, sedang “in the process of democracy.” Kesimpulan Bayat ini didasarkan pada hasil risetnya tentang “post-Islamist” Iran dan Hizb al-Wasath (Partai Tengah/Moderat) di Mesir, di mana menurutnya, gerakan-gerakan sosial dan perjuangan politik yang dipelopori organisasi mahasiswa, kaum perempuan, akademisi, aktifis, dan bahkan kaum ulama telah memberi kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi, pluralisme, dan liberalisme, serta mendorong pertubuhan civil society di kedua negara. Iran memang dikenal dunia internasional sebagai negara yang melahirkan tokoh-tokoh yang bersuara lantang tentang demokrasi dan kebebasan sipil terutama sejak Imam Khomeini memberlakukan otoritas dan supremasi ulama di atas segela-galanya dan memberangus ekspresi civil liberties. Suara lantang itu tidak hanya muncul dari kelompok aktivis NGO dan kaum intelektual kampus saja tapi juga dari dalam mullah sendiri yang selama ini dikenal konservaif.

Di Mesir, perubahan fundamental juga terjadi di tubuh Hizb al-Wasath, sayap pecahan Ikhwanul Muslimin. Fenomena Hizb al-Wasath ini menarik karena seperti ditunjukkan dalam studi Bayat dan juga Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet: Despots, Democrats, and the New Politics of Islam, kelompok/partai “Islam kanan” ini telah melakukan reformasi mendasar mengenai fondasi keagamaan kepartaian berupa, al, menerima non-Muslim (khususnya Kristen Coptic) dan kaum perempuan dalam struktur politik partai dan calon legislatif, serta bersedia bekerja sama dengan partai non-Islam. Pemandangan ini tentu tidak umum buat partai Islam kanan yang selama ini dikenal memiliki visi keislaman ketat dan konservatif. Dengan perspektif baru kepartaian ini, Hizb al-Wasath menegaskan keberbedaannya dengan mainstream Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang dikenal konservatif dan tidak menghargai kebebasan sipil, anti-demokrasi dan pluralisme. Penegasan keberbedaan ini disampaikan oleh salah satu pendiri Hizb al-Wasath, Essam Sultan, yang mengatakan bahwa partainya berbeda secara fundamental dengan IM dalam hal “keimanan” pada pluralisme, demokrasi, kebebasan berpikir dan berkespresi, serta hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu kontemporer. Essam Sultan mengklaim bahwa IM, dengan pandangan-pandangan konservatifnya, telah mengisolasi diri dari komunitas luar non-IM, padahal menurutnya kelompok/grup diluar partai harus dijadikan sebagai bagian dari perubahan global. Renaissance bagi masa depan Mesir, menurutnya, tidak akan berhasil tanpa melibatkan komunitas yang lebih luas termasuk non-Muslim dan kaum perempuan yang selama ini selalu dalam “pojok” sejarah kepolitikan Islam (Shadid, 2002: 262).

Arus baru “fundamentalis moderat” atau “islamis liberal” ini tidak hanya terjadi di Mesir dan Iran saja tetapi di berbagai kawasan Arab dan Timur Tengah lain seperti Saudi Arabia, Jordan, Syria, Tunisia, dan lainnya seperti ditunjukkan dalam studi Gudrun Kramer, senior research fellow di Stiftung Wissenschaft und Politik di Jerman, dan Ahmad Mousalli, profesor ilmu politik di American University di Beirut. Kedua sarjana ahli kajian Islam ini telah melakukan riset mengenai fenomena kelompok ini dengan mengkaji pemikiran para tokoh muslim “fundamentalis moderat” seperti Rashid Ghannushi (pendiri Hizb al-Nahda di Tunisia), Muhammad ‘Ammara, Muhammad Salim al-‘Awwa, Fahmi Hawaidi, Muhammad Hashim al-Hamidi, dan sebagainya. Al-Hamidi misalnya menegaskan bahwa dunia Arab—dan Islam—harus dibangun berdasarkan sistem politik demokratis dan adil menyangkut partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung kemerdekaan berpikir, kebebasan sipil, pemberdayaan perempuan, dan lain-lain, bahkan termasuk membolehkan kaum komunis untuk berpartisipasi dalam kepolitikan.

Dalam konteks pemikiran fundamentalis dan rezim Arab-Timur Tengah yang tradisional dan konservatif, wacana yang mereka dengungkan tentu sangat maju dan modern. Mengomentari fenomena perubahan ways of thinking dari kelompok “Islam kanan” ini, Mousalli (dalam Norton, Civil Society in the Middle East, 1995: 118) mengatakan bahwa “para pemikir fundamentalis moderat tentu bukan demokrat liberal Barat tetapi mereka cukup moderat dan demokratis dalam konteks pemerintahan Arab dan Timur Tengah yang dikontrol para pemimpin nasionalis otoriter dan para raja tradisional yang despotik.” Anthony Shadid dalam Legacy of the Prophet juga menandaskan adanya samudra perubahan Islam politik dan “proses pendewasaan” berfikir kelompok “islamis” menyangkut wacana ciivil society, negara/sistem pemerintahan, demokrasi, dan perjuangan tanpa kekerasan.

Tidak semua sarjana dan pengamat berpendapat positif mengenai tren baru “fundamentalis moderat” ini. Ada yang berkomentar sumir dan skeptik. Mereka mempertanyakan apakah kaum “fundamentalis moderat” tulus dalam menyuarakan keyakinan prinsip-prinsip demokrasi atau hanyalah sekedar retorika, taktik dan strategi untuk mendapatkan simpati dan dukungan publik dalam pemilu, sebagai jalan menuju kekuasaan? Memang banyak kasus bahwa moderatisme dan demokrasi yang mereka wacanakan hanya sebatas wacana tidak pernah menjadi kenyataan. Kasus Amir Arselan di Lebanon atau Hasan Turabi di Sudan adalah contoh nyata bagaimana masalah kebebasan sipil, pluralisme, dan demokrasi yang mereka kampanyekan hanyalah retorika belaka untuk meraup dukungan publik dalam pemilu. Pemilu selesai, janji-janji manis pun selesai: mereka kembali pada “kodratnya” yang anti-demokrasi, pluralisme, dan kebebasan sipil, yang menurut mereka tidak dikenal dalam Syari’at Islam.

Tetapi harap juga dicatat bahwa keberhasilan kelompok Islam kanan dalam mengais dukungan rakyat di panggung politik juga tidak lepas dari kegagalan kelompok sekuler-nasionalis Arab dan Timur Tengah dalam menjalankan roda pemerintahan. Palestina dan Mesir adalah contoh terbaik. Hamas pamornya naik karena Fatah dijerat sekandal korupsi disamping terlalu lembek dalam menjalankan negosiasi dengan Israel. Kelompok “Islam kanan” di Mesir yang cukup sukses mendulang suara dalam pemilu juga tidak lepas dari perilaku rezim nasionalis-sekuler Hosni Mubarak yang otoriter, despotik, dan korup.

Terlepas dari motovasi politik apa dibalik munculnya kelompok “fundamentalis moderat” itu, pemikiran dan program-program mereka yang populis dan humanis sebagai “strategi berpolitik” menjadi menarik untuk disimak. Menarik karena dalam meraup simpati rakyat, mereka meninggalkan cara-cara klasik khas Islam fundamentalis yang penuh dengan slogan-slogan beraura agama dan “berbau surga” ke taktik dan strategi simpatik yang penuh dengan visi humanisme dan populisme sesuai dengan kebutuhan masyarakat di tingkat basis seperti ekonomi, keadilan sosial, kesejahteraan, kemerdekaan beraktivitas dan berfikir, hubungan sosial, dan sebagainya. Mereka tidak lagi menggunakan slogan-slogan retoris syari’at Islam tetapi lebih ke isu-isu menyangkut kebutuhan riil masyarakat (human needs) dan hak-hak dasar mereka (human rights) sebagai warga negara.

Fenomena “fundamentalis moderat” di Timur Tengah ini saya amati bertolak belakang dengan kelompok fundamentalis muslim dan partai-partai berbasis Islam di Indonesia. Tren kaum fundamentalis Islam di negeri ini masih belum berubah dari pola-pola lama. Mereka umumnya masih rajin jualan Syari’at Islam dan isu-isu yang berkaitan dengan “dunia lain.” Mereka bukan berlomba-lomba menciptakan program yang populis-humanis sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya tapi sebaliknya masih menggunakan cara-cara kuno jualan surga dan produk-produk Arab klasik lain seperti hukum potong tangan, memelihara jenggot, bercadar, dll. Pula, tidak seperti fenomena baru kaum “fundamentalis moderat” di Timur Tengah yang menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan rakyat, kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.***

This entry was posted on 10:34 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: