•10:33 AM
Pesantren Sebagai Agen “Civic Pluralism”
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Jamak diketahui bahwa Indonesia adalah negara plural yang dihuni oleh manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, dan agama. Karena watak Indonesia yang majemuk inilah, Robert W. Hefner, profesor saya di Boston University, menyebutnya sebagai negara yang kaya akan “pluralist endowments” (Hefner 2005: 122). Dari perspektif sosiologis, realitas bangsa Indonesia yang beragam ini bukan sesuatu yang “given” atau sunatullah dalam bahasa kaum santri, tetapi merupakan buah dari proses sosial-budaya yang sangat panjang yang melibatkan berbagai agen atau aktor sejarah dari berbagai suku-bangsa.
Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya yang mendapat sambutan luas dunia akademik, Southeast Asia in the Age of Commerce (dua jilid) mengatakan bahwa interaksi manusia dari berbagai latar belakang agama dan budaya di Indonesia itu sudah berlangsung ribuan tahun jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya di Palembang atau Kerajaan Majapahit di Jawa Timur berdiri. Sudah sekian lamanya, kepulauan Indonesia menjadi, meminjam istilah almarhum Denys Lombard, “carrefour” atau “persimpangan jalan” (crossroads) beragam manusia dari berbagai negara dan bangsa mulai China, Arab, Persia, Mesir, India, Bengali dan seterusnya. Para turis, pedagang, atau bahkan misionaris baik dari “luar negeri” maupun “dalam negeri” sudah terbiasa singgah di pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara yang membentang dari Aceh sampai Maluku.
Karena peran “Nusantara” sebagai carrefour aneka manusia, negeri ini mampu mengembangkan, dalam kalimat Hefner yang meminjam kata-kata Lombard, “a tradition of ethnic hybridity within civilizational commonality to go with the great cultural flow.” Lebih lanjut, proses perjumpaan manusia lintas-budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun ini kemudian menghasilkan corak kebudayaan bangsa Indonesia yang warna-warni (colorful), pluralistik, dan “fuzzy.” Harap kata “kebudayaan” (culture) disini tidak hanya dimaknai sebagai artifak saja tetapi juga “socially distributed knowledge and habits.”
Karena telah terjadi proses “peleburan” demikian lama, agak sulit untuk mencari sesuatu yang “pristine” dari tradisi dan kebudayaan tertentu di Tanah Air. Jenis lembaga dan tradisi keagamaan tertentu yang selama ini diklaim asli “pribumi” dan “unik” (baca, hanya ada di Indonesia) ternyata dijumpai juga di negara-negara lain. Sebut saja model pesantren beserta santrinya. Sebagian sarjana, seperti de Graaf dan Pigeaud, tradisi pesantren berakar kuat pada sistem mandala dan ashrama Hindu pra-Islam. Sementara itu, van Bruinessen menyatakan bahwa sistem pesantren seperti terlihat saat ini adalah umum dijumpai di Mesir dan Mekkah (khususnya model Sawlatiyya dan Darul Islam).
Demikian juga karakteristik dan praktek kaum Muslim “abangan” di Jawa yang ditandai dengan (1) pemujaan terhadap leluhur atau danyang; (2) kepercayaan atas roh dan mahluk halus melalui sacrificial meals sebagai bentuk utama ritual; serta (3) aneka mistisisme yang menekankan kesatuan kekal Tuhan dan manusia, bisa dijumpai di Mesir seperti ditunjukkan dalam buku klasik karya antropolog budaya William Lane, Manners and Customs of the Modern Egyptians (terbit pertama tahun 1836). Karena didorong ingin mendalami lebih jauh kultur masyarakat Mesir yang didominasi oleh etnik Arab ini, Lane kemudian belajar bahasa Arab dan mengadopsi “gaya hidup” Arab. Ia kemudian menerapkan sejenis “participant observation” yang menjadi ciri penelitian antropologis dengan hidup dan bergaul bersama orang-orang Mesir.
Setelah meneliti cukup lama, hasilnya sangat mengejutkan. Karya ini berhasil mendeskripsikan secara detail tata-cara, tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan masyarakat Muslim Mesir mulai tradisi pendidikan dan sistem pemerintahan sampai adat nikah, ritual kelahiran, ritus penguburan dan kematian, musik, tari, dunia megis, pemujaan roh leluhur dlsb persis sebagaimana dipraktekkan kelompok “Islam abangan” Jawa. Ini menunjukkan bahwa ide dan praktek “Islam abangan” berakar kuat pada sejarah dan tradisi Islam itu sendiri, dan bukan bersumber dari Hinduisme, animisme, atau spiritisme pra-Islam seperti dikemukakan sejumlah sarjana dan pengamat Islam Indonesia. Temuan Lane ini merontokkan tesis klasik yang dipelopori Raffles, van Leur, Kern, Kraemer, atau Geertz yang mengatakan bahwa jenis atau varian, sebut saja “Islam abangan” di Jawa khususnya adalah berasal atau warisan dari tradisi keagamaan Hindu-Budha Majapahit.
***
Perjumpaan lintas-budaya masyarakat Indonesia itu tidak hanya melahirkan bentuk tradisi dan kultur yang bersifat majemuk tetapi juga mampu menghasilkan sikap pluralis dan toleran warga di bumi pertiwi ini terhadap berbagai jenis kebudayaan yang berlainan. Seperti dilaporkan oleh para pengembara awal di negeri ini sebut saja Tome Pires (Portugis), Ma Huan (China), Edmund Scott, de Houtman (Belanda), atau Ibnu Batutah (Maghrib), penduduk setempat sudah lama terbiasa bergaul dengan orang luar dan menyerap aneka tradisi dan kebudayaan mereka: makanan, pakaian, musik, seni, sampai pengetahuan dan falsafah hidup. Tapi semua ini bukan berarti bahwa penduduk “pribumi” hanya semata-mata berfungsi sebagai “penerima pasif” bukan “aktor aktif.”
Dalam setiap pertemuan kebudayaan (cultural encounter) selalu terjadi “take” and “give.” Tidak ada istilah “center” yang dominan yang berperan sebagai “produsen budaya” dan “periphery” yang marijinal yang berfungsi sebagai “konsumen budaya.” Di tingkat masyarakat di luar “negara-kerajaan,” semua berlangusung dalam suasana dialog yang sehat, normal, natural, dan peaceful. Bahwa telah terjadi konflik dan ketegangan antara “yang global” dan “yang lokal” adalah fenomena wajar dalam sejarah interaksi antar-manusia, akan tetapi konflik itu—seperti ditunjukkan dalam studi Reid dan Lombard—tidak berubah menjadi konfrontasi dan kekerasan sosial. Respons positif atas pluralitas yang diwariskan para pendahulu bangsa itu kemudian “dilembagakan” oleh para founding fathers bangsa Indonesia dalam bentuk motto nasional yang sangat populer: Bhinneka Tunggal Ika yang bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (unity in diversity). Motto ini jelas merupakan bentuk dari kesadaran global para pendiri bangsa ini atas realitas pluralitas bangsa Indonesia.
Dalam literatur ilmu-ilmu sosial kontemporer, reaksi positif para founding fathers ini bisa disebut sebagai “pluralisme,” yang oleh Diana Eck didefinisikan sebagai “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman atau pluralitas itu. “Pluralism is not the sheer fact of plurality alone, but is active engagement with plurality,” tulis Eck (2003: 191). Prof. Eck menjelaskan panjang-lebar tentang pluralisme ini dalam bukunya yang sangat menarik: Encountering God.
Dalam moto Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna yang begitu dalam berupa kesadaran atas pentingnya menyikapi kemajemukan dalam bingkai “positif-konstruktif,” bukan sebaliknya: “negatif-distruktif” seperti ditunjukkan para kaum militan agama termasuk kalangan Muslim radikal di Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa moto itu tidak semata-mata “temuan instan” dan temporal melainkan hasil dari proses pergumulan pemikiran panjang berdasarkan pada praktek pluralis-toleran para leluhur bangsa Indonesia. Karena itu kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” itu bukan hanya semata-mata “cermin atas” keragaman bangsa akan tetapi juga mengandung sebuah harapan dan idealitas Bangsa Indonesia ke depan.
***
Setidaknya ada empat pendekatan dalam menyikapi fakta pluralitas atau katakanlah “tafsir atas pluralitas” ini:
Pertama adalah eksklusi atau pengucilan diri atas segala sesuatu yang baru dan dianggap asing yang berasal dari luar kelompok dan agamanya. Bagi kaum eksklusif, pengucilan atau “pengurungan diri” merupakan cara efektif untuk mempertahankan atau membentengi tradisi keagamaan dan kebudayaan mereka dari pengaruh unsur-unsur asing. Meskipun mereka bersikap “eksklusif” (hanya mau bergaul dengan kelompoknya sendiri) tetapi bukan berarti mereka bersikap keras terhadap orang dan kelompok lain. Contoh dari bentuk eksklusi ini adalah komunitas Amish dalam tradisi Kristen Amerika. Mereka tinggal jauh dari kota, mengisolasi diri dari keramaian, dan hidup mengelompok dengan cara membentuk “koloni” sendiri. Tidak seperti warga Kristen lain yang “modernis,” mereka menolak memakai mobil, listrik, tv, radio, dan segala jenis produk teknologi modern. Kendaraan sehari-hari mereka adalah delman, sementara alat penerang yang biasa mereka pakai adalah sejenis “lampu sentir” seperti di pedesaan-pedesaan Jawa. Bagi mereka teknologi modern adalah sejenis “bid’ah” yang bisa merusak kemurnian ajaran kekristenan. Selain itu, mereka juga berpandangan bahwa teknologi modern adalah semacam “kenikmatan dunia” yang bisa membuat manusia lalai mengabdi kepada Tuhan.
Kedua, asimilasi atau pandangan yang menyambut dengan baik kelompok luar asal dengan syarat mereka bersedia menanggalkan tradisi dan kebudayaan mereka untuk kemudian “meleburkan diri” ke dalam arus tradisi dan kebudayaan kelompok dominan tertentu. Contoh terbaik tentang ini adalah proses asimilasi terhadap etnis China di Indonesia yang dikampanyekan oleh pemerintah Orde Baru. Contoh lain adalah proses peng-Islam-an penduduk “Kafiristan” di Afghanistan sebelum berubah nama menjadi “Nuristan.” Asimilasi dalam batas tertentu juga terjadi atas warga Shi’ah di beberapa kawasan Arab atau negara-negara yang didominasi Sunni (Pakistan, Afghanistan, dll), atau warga Sunni di daerah yang secara sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan dikontrol oleh Shi’ah seperti Iran.
Ketiga, destruksi, yakni pendekatan menyikapi kemajemukan dan perbedaan dengan sikap kekerasan. Contoh pendekatan destruktif ini adalah seperti apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Arab Saudi dan kelompok-kelompok Islam garis geras “semi-Wahabi” di Indonesia belakangan ini. Atas nama menegakkan Al-Qur’an dan memurnikan ajaran Islam, kaum Muslim “tengil” atau katakanlah “Islam Pentungan” ini dengan bengisnya menghancurkan individu dan kelompok keagamaan tertentu yang mereka anggap telah menyimpang dari “kanon resmi” Islam.
Keempat, adalah pluralisme, yakni sikap atau pandangan positif-empatik terhadap kemajemukan budaya dan agama. Bagi kaum pluralis, perbedaan dan keberagaman itu bukan disikapi dengan sikap sinis dan mata mendelik seperti ditunjukkan kelompok “Islam Pentungan” akan tetapi direspons dengan sikap ramah dalam bingkai persahabatan dan kebersamaan dengan tetap menghargai keunikan, perbedaan, dan kemajemukan masing-masing. Kaum pluralis akan mengatakan: “come as you are, with all your differences......and be yourselves.” Bagi mereka keragaman bukanlah aib sosial yang harus dibasmi dari muka bumi melainkan sebuah potensi yang mampu memperindah sebuah taman dunia. Jika dunia ini diibaratkan sebagai “taman bunga,” kaum pluralis akan membiarkan aneka bunga yang warna-warni itu hidup dalam sebuah taman karena mereka memiliki hak yang sama: yakni hak untuk hidup. Tidak ada bunga yang lebih indah dan unggul dari pada yang lain karena masing-masing memiliki keunikan. Inilah sikap pluralis yang oleh para ilmuwan sosial disebut “civic pluralism,” yakni sebuah kultur publik yang menggaransi persamaan hak setiap warga negara serta berwatak tolerance-in-pluralism.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang pluralistik, maka pluralisme civic adalah jenis “tafsir” terbaik untuk menyikapi kemajemukan etnis, budaya, dan agama negeri ini. Pesantren sebagai kekuatan civil society yang berwatak pluralis dan toleran sudah sepatutnya menjadi agen “civic pluralism” ini untuk menjaga kosmos Indonesia agar tetap damai dan harmonis. Di tengah munculnya sejumlah kelompok keislaman garis keras yang radikal-militan yang hobi-nya melakukan tindakan kekerasan, maka pesantren harus tampil ke depan sebagai “vanguard” gerakan-gerakan keislaman yang bercorak toleran-pluralis demi terciptanya stabilitas bangsa, kehidupan harmoni, perdamain sejati, democratic civility, dan citizenship culture yang menghargai hak-hak setiap warga negara yang hidup di bumi Indonesia, serta bebas dari segala bentuk kekerasan agama yang hanya menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat.***
Boston, 16 Januari 2009.
Sumber: http://www.pondokpesantren.net/
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Jamak diketahui bahwa Indonesia adalah negara plural yang dihuni oleh manusia dari berbagai latar belakang etnik, budaya, dan agama. Karena watak Indonesia yang majemuk inilah, Robert W. Hefner, profesor saya di Boston University, menyebutnya sebagai negara yang kaya akan “pluralist endowments” (Hefner 2005: 122). Dari perspektif sosiologis, realitas bangsa Indonesia yang beragam ini bukan sesuatu yang “given” atau sunatullah dalam bahasa kaum santri, tetapi merupakan buah dari proses sosial-budaya yang sangat panjang yang melibatkan berbagai agen atau aktor sejarah dari berbagai suku-bangsa.
Sejarawan Anthony Reid dalam bukunya yang mendapat sambutan luas dunia akademik, Southeast Asia in the Age of Commerce (dua jilid) mengatakan bahwa interaksi manusia dari berbagai latar belakang agama dan budaya di Indonesia itu sudah berlangsung ribuan tahun jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya di Palembang atau Kerajaan Majapahit di Jawa Timur berdiri. Sudah sekian lamanya, kepulauan Indonesia menjadi, meminjam istilah almarhum Denys Lombard, “carrefour” atau “persimpangan jalan” (crossroads) beragam manusia dari berbagai negara dan bangsa mulai China, Arab, Persia, Mesir, India, Bengali dan seterusnya. Para turis, pedagang, atau bahkan misionaris baik dari “luar negeri” maupun “dalam negeri” sudah terbiasa singgah di pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara yang membentang dari Aceh sampai Maluku.
Karena peran “Nusantara” sebagai carrefour aneka manusia, negeri ini mampu mengembangkan, dalam kalimat Hefner yang meminjam kata-kata Lombard, “a tradition of ethnic hybridity within civilizational commonality to go with the great cultural flow.” Lebih lanjut, proses perjumpaan manusia lintas-budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun ini kemudian menghasilkan corak kebudayaan bangsa Indonesia yang warna-warni (colorful), pluralistik, dan “fuzzy.” Harap kata “kebudayaan” (culture) disini tidak hanya dimaknai sebagai artifak saja tetapi juga “socially distributed knowledge and habits.”
Karena telah terjadi proses “peleburan” demikian lama, agak sulit untuk mencari sesuatu yang “pristine” dari tradisi dan kebudayaan tertentu di Tanah Air. Jenis lembaga dan tradisi keagamaan tertentu yang selama ini diklaim asli “pribumi” dan “unik” (baca, hanya ada di Indonesia) ternyata dijumpai juga di negara-negara lain. Sebut saja model pesantren beserta santrinya. Sebagian sarjana, seperti de Graaf dan Pigeaud, tradisi pesantren berakar kuat pada sistem mandala dan ashrama Hindu pra-Islam. Sementara itu, van Bruinessen menyatakan bahwa sistem pesantren seperti terlihat saat ini adalah umum dijumpai di Mesir dan Mekkah (khususnya model Sawlatiyya dan Darul Islam).
Demikian juga karakteristik dan praktek kaum Muslim “abangan” di Jawa yang ditandai dengan (1) pemujaan terhadap leluhur atau danyang; (2) kepercayaan atas roh dan mahluk halus melalui sacrificial meals sebagai bentuk utama ritual; serta (3) aneka mistisisme yang menekankan kesatuan kekal Tuhan dan manusia, bisa dijumpai di Mesir seperti ditunjukkan dalam buku klasik karya antropolog budaya William Lane, Manners and Customs of the Modern Egyptians (terbit pertama tahun 1836). Karena didorong ingin mendalami lebih jauh kultur masyarakat Mesir yang didominasi oleh etnik Arab ini, Lane kemudian belajar bahasa Arab dan mengadopsi “gaya hidup” Arab. Ia kemudian menerapkan sejenis “participant observation” yang menjadi ciri penelitian antropologis dengan hidup dan bergaul bersama orang-orang Mesir.
Setelah meneliti cukup lama, hasilnya sangat mengejutkan. Karya ini berhasil mendeskripsikan secara detail tata-cara, tradisi, adat-istiadat, dan kebudayaan masyarakat Muslim Mesir mulai tradisi pendidikan dan sistem pemerintahan sampai adat nikah, ritual kelahiran, ritus penguburan dan kematian, musik, tari, dunia megis, pemujaan roh leluhur dlsb persis sebagaimana dipraktekkan kelompok “Islam abangan” Jawa. Ini menunjukkan bahwa ide dan praktek “Islam abangan” berakar kuat pada sejarah dan tradisi Islam itu sendiri, dan bukan bersumber dari Hinduisme, animisme, atau spiritisme pra-Islam seperti dikemukakan sejumlah sarjana dan pengamat Islam Indonesia. Temuan Lane ini merontokkan tesis klasik yang dipelopori Raffles, van Leur, Kern, Kraemer, atau Geertz yang mengatakan bahwa jenis atau varian, sebut saja “Islam abangan” di Jawa khususnya adalah berasal atau warisan dari tradisi keagamaan Hindu-Budha Majapahit.
***
Perjumpaan lintas-budaya masyarakat Indonesia itu tidak hanya melahirkan bentuk tradisi dan kultur yang bersifat majemuk tetapi juga mampu menghasilkan sikap pluralis dan toleran warga di bumi pertiwi ini terhadap berbagai jenis kebudayaan yang berlainan. Seperti dilaporkan oleh para pengembara awal di negeri ini sebut saja Tome Pires (Portugis), Ma Huan (China), Edmund Scott, de Houtman (Belanda), atau Ibnu Batutah (Maghrib), penduduk setempat sudah lama terbiasa bergaul dengan orang luar dan menyerap aneka tradisi dan kebudayaan mereka: makanan, pakaian, musik, seni, sampai pengetahuan dan falsafah hidup. Tapi semua ini bukan berarti bahwa penduduk “pribumi” hanya semata-mata berfungsi sebagai “penerima pasif” bukan “aktor aktif.”
Dalam setiap pertemuan kebudayaan (cultural encounter) selalu terjadi “take” and “give.” Tidak ada istilah “center” yang dominan yang berperan sebagai “produsen budaya” dan “periphery” yang marijinal yang berfungsi sebagai “konsumen budaya.” Di tingkat masyarakat di luar “negara-kerajaan,” semua berlangusung dalam suasana dialog yang sehat, normal, natural, dan peaceful. Bahwa telah terjadi konflik dan ketegangan antara “yang global” dan “yang lokal” adalah fenomena wajar dalam sejarah interaksi antar-manusia, akan tetapi konflik itu—seperti ditunjukkan dalam studi Reid dan Lombard—tidak berubah menjadi konfrontasi dan kekerasan sosial. Respons positif atas pluralitas yang diwariskan para pendahulu bangsa itu kemudian “dilembagakan” oleh para founding fathers bangsa Indonesia dalam bentuk motto nasional yang sangat populer: Bhinneka Tunggal Ika yang bisa diterjemahkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (unity in diversity). Motto ini jelas merupakan bentuk dari kesadaran global para pendiri bangsa ini atas realitas pluralitas bangsa Indonesia.
Dalam literatur ilmu-ilmu sosial kontemporer, reaksi positif para founding fathers ini bisa disebut sebagai “pluralisme,” yang oleh Diana Eck didefinisikan sebagai “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman atau pluralitas itu. “Pluralism is not the sheer fact of plurality alone, but is active engagement with plurality,” tulis Eck (2003: 191). Prof. Eck menjelaskan panjang-lebar tentang pluralisme ini dalam bukunya yang sangat menarik: Encountering God.
Dalam moto Bhinneka Tunggal Ika mengandung makna yang begitu dalam berupa kesadaran atas pentingnya menyikapi kemajemukan dalam bingkai “positif-konstruktif,” bukan sebaliknya: “negatif-distruktif” seperti ditunjukkan para kaum militan agama termasuk kalangan Muslim radikal di Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa moto itu tidak semata-mata “temuan instan” dan temporal melainkan hasil dari proses pergumulan pemikiran panjang berdasarkan pada praktek pluralis-toleran para leluhur bangsa Indonesia. Karena itu kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” itu bukan hanya semata-mata “cermin atas” keragaman bangsa akan tetapi juga mengandung sebuah harapan dan idealitas Bangsa Indonesia ke depan.
***
Setidaknya ada empat pendekatan dalam menyikapi fakta pluralitas atau katakanlah “tafsir atas pluralitas” ini:
Pertama adalah eksklusi atau pengucilan diri atas segala sesuatu yang baru dan dianggap asing yang berasal dari luar kelompok dan agamanya. Bagi kaum eksklusif, pengucilan atau “pengurungan diri” merupakan cara efektif untuk mempertahankan atau membentengi tradisi keagamaan dan kebudayaan mereka dari pengaruh unsur-unsur asing. Meskipun mereka bersikap “eksklusif” (hanya mau bergaul dengan kelompoknya sendiri) tetapi bukan berarti mereka bersikap keras terhadap orang dan kelompok lain. Contoh dari bentuk eksklusi ini adalah komunitas Amish dalam tradisi Kristen Amerika. Mereka tinggal jauh dari kota, mengisolasi diri dari keramaian, dan hidup mengelompok dengan cara membentuk “koloni” sendiri. Tidak seperti warga Kristen lain yang “modernis,” mereka menolak memakai mobil, listrik, tv, radio, dan segala jenis produk teknologi modern. Kendaraan sehari-hari mereka adalah delman, sementara alat penerang yang biasa mereka pakai adalah sejenis “lampu sentir” seperti di pedesaan-pedesaan Jawa. Bagi mereka teknologi modern adalah sejenis “bid’ah” yang bisa merusak kemurnian ajaran kekristenan. Selain itu, mereka juga berpandangan bahwa teknologi modern adalah semacam “kenikmatan dunia” yang bisa membuat manusia lalai mengabdi kepada Tuhan.
Kedua, asimilasi atau pandangan yang menyambut dengan baik kelompok luar asal dengan syarat mereka bersedia menanggalkan tradisi dan kebudayaan mereka untuk kemudian “meleburkan diri” ke dalam arus tradisi dan kebudayaan kelompok dominan tertentu. Contoh terbaik tentang ini adalah proses asimilasi terhadap etnis China di Indonesia yang dikampanyekan oleh pemerintah Orde Baru. Contoh lain adalah proses peng-Islam-an penduduk “Kafiristan” di Afghanistan sebelum berubah nama menjadi “Nuristan.” Asimilasi dalam batas tertentu juga terjadi atas warga Shi’ah di beberapa kawasan Arab atau negara-negara yang didominasi Sunni (Pakistan, Afghanistan, dll), atau warga Sunni di daerah yang secara sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan dikontrol oleh Shi’ah seperti Iran.
Ketiga, destruksi, yakni pendekatan menyikapi kemajemukan dan perbedaan dengan sikap kekerasan. Contoh pendekatan destruktif ini adalah seperti apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Arab Saudi dan kelompok-kelompok Islam garis geras “semi-Wahabi” di Indonesia belakangan ini. Atas nama menegakkan Al-Qur’an dan memurnikan ajaran Islam, kaum Muslim “tengil” atau katakanlah “Islam Pentungan” ini dengan bengisnya menghancurkan individu dan kelompok keagamaan tertentu yang mereka anggap telah menyimpang dari “kanon resmi” Islam.
Keempat, adalah pluralisme, yakni sikap atau pandangan positif-empatik terhadap kemajemukan budaya dan agama. Bagi kaum pluralis, perbedaan dan keberagaman itu bukan disikapi dengan sikap sinis dan mata mendelik seperti ditunjukkan kelompok “Islam Pentungan” akan tetapi direspons dengan sikap ramah dalam bingkai persahabatan dan kebersamaan dengan tetap menghargai keunikan, perbedaan, dan kemajemukan masing-masing. Kaum pluralis akan mengatakan: “come as you are, with all your differences......and be yourselves.” Bagi mereka keragaman bukanlah aib sosial yang harus dibasmi dari muka bumi melainkan sebuah potensi yang mampu memperindah sebuah taman dunia. Jika dunia ini diibaratkan sebagai “taman bunga,” kaum pluralis akan membiarkan aneka bunga yang warna-warni itu hidup dalam sebuah taman karena mereka memiliki hak yang sama: yakni hak untuk hidup. Tidak ada bunga yang lebih indah dan unggul dari pada yang lain karena masing-masing memiliki keunikan. Inilah sikap pluralis yang oleh para ilmuwan sosial disebut “civic pluralism,” yakni sebuah kultur publik yang menggaransi persamaan hak setiap warga negara serta berwatak tolerance-in-pluralism.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang pluralistik, maka pluralisme civic adalah jenis “tafsir” terbaik untuk menyikapi kemajemukan etnis, budaya, dan agama negeri ini. Pesantren sebagai kekuatan civil society yang berwatak pluralis dan toleran sudah sepatutnya menjadi agen “civic pluralism” ini untuk menjaga kosmos Indonesia agar tetap damai dan harmonis. Di tengah munculnya sejumlah kelompok keislaman garis keras yang radikal-militan yang hobi-nya melakukan tindakan kekerasan, maka pesantren harus tampil ke depan sebagai “vanguard” gerakan-gerakan keislaman yang bercorak toleran-pluralis demi terciptanya stabilitas bangsa, kehidupan harmoni, perdamain sejati, democratic civility, dan citizenship culture yang menghargai hak-hak setiap warga negara yang hidup di bumi Indonesia, serta bebas dari segala bentuk kekerasan agama yang hanya menambah kesengsaraan dan penderitaan rakyat.***
Boston, 16 Januari 2009.
Sumber: http://www.pondokpesantren.net/
0 comments: