Author: Sumanto Al Qurtuby
•6:26 AM
Pentingnya "Kekuatan Ramah" dalam Pergerakan Islam

[Sumanto Al Qurtuby]


Kekerasan demi kekerasan terus mewarnai kawasan Islam, mulai dari Arab Saudi sampai Indonesia. Teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, sweeping, penculikan, perusakan, dan pengeroyokan, seolah tidak berhenti, bahkan menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Kenyataan ini seolah membenarkan tesis sebagian orang Barat, yang mengatakan dunia Islam adalah "dunia kekerasan" dan barbarisme, dan Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan sekaligus pengekspor kaum teroris-militan (Edward Said, Covering Islam).

Fenomena ini menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, toleran, dan menjunjung tinggi keadaban (civility) menjadi redup, lumer, dan dipertanyakan banyak pihak. Slogan Islam rahmatan lil alamin dan peaceful religion, kalah populer dengan hiruk-pikuk berita kekerasan dan vandalisme yang dilakukan kaum Muslim radikal. Peristiwa kekerasan berbagai kelompok Muslim militan di Indonesia belakangan ini, juga meramaikan headlines koran-koran dan media Barat. Ini menambah daftar panjang tentang "fakta kekerasan dunia Islam."

Memang ada yang tidak fair dalam proses pemberitaan media Barat dan komentar-komentar (sebagian) orientalis, politisi, tokoh agama, sarjana, dan warga Barat umumnya. Ketika kekerasan terjadi di negara-negara berbasis Islam, mereka langsung "tunjuk hidung" dan mengaitkannya dengan "watak dasar" Islam sebagai violent religion (agama kekerasan) dan antipluralisme. Tapi, ketika kekerasan serupa terjadi di kawasan berbasis non-Muslim (misalnya Israel, Irlandia Utara, Eropa Timur, negara-negara bekas Uni Soviet, India, Tiongkok, dan Amerika Latin) mereka tak pernah mengaitkannya dengan agama tertentu. Saat menara kembar World Trade Center dan Pentagon diserang teroris 11 September 2001, banyak warga Barat (khususnya AS) yang berbondong-bondong memborong Alquran guna memeriksa hubungan Islam dan terorisme global.

Para komentator politik dan agama sibuk menguliti akar-akar terorisme Islam. Buku Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji akar-akar sejarah terorisme dan kekerasan di dalam Islam, menjadi rujukan kelompok "anti- Islam" guna menguatkan argumen tentang Islam sebagai violent religion. Buku-buku Angel Rabasa, analis politik di RAND Corporation, khususnya tentang jaringan terorisme global, sangat sering dikutip.

Uniknya, ketika rezim George W Bush membombardir Afghanistan dan Irak, tak ada kaum Muslim yang bergairah membeli Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme.

Faktor Kesenjangan

Beberapa penjelasan bisa dikemukakan untuk membaca fenomena kekerasan di dunia Islam saat ini. Secara sosiologis, aspek kesenjangan sosial (social gaps) yang begitu nyata antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, adalah salah satu faktor. Se- cara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar antara dunia Islam yang kering-kerontang dan dunia Barat yang makmur berlimpah.

Pada aspek kultural, kita juga menyaksikan dominasi budaya Barat yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi faktor penentu dominasi kebudayaan ini. Kawasan Islam yang miskin teknologi harus menjadi pemangsa dan pemamah kebudayaan asing yang diselundupkan lewat TV, film, internet, dan lain-lain.

Sementara itu, dari aspek politik, tampak adanya infiltrasi, dominasi, dan penekan-an AS (sebagai simbol Barat) terhadap dunia ketiga yang mayoritas kawasan Islam.

Inilah yang membuat kelompok multicultural liberal membagi dunia menjadi dua kategori ekstrem, the oppressors yang diwakili Barat-Kristen- Yahudi (terutama AS), dan the victims yang direpresentasikan kaum Muslim. Fakta keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang berpikiran pendek gusar dan panik, sehingga melampiaskannya dengan cara-cara kekerasan.

Dengan kata lain, kekerasan sebetulnya bisa dibaca sebagai cermin kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik dalam menghadapi dominasi, hegemoni, dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar tindakan mereka seolah-olah legal dan sesuai dengan spirit Islam, dipakailah sejumlah teks, doktrin, ajaran, tradisi, sejarah, dan wacana keislaman sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal. Doktrin jihad pun ditafsirkan secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka sebut "musuh- musuh Islam".

Karena itu, retorika kaum fundamentalis Muslim yang sering kita dengar adalah, mereka bertindak demi "membela Tuhan" dan "tegaknya Islam." Konfrontasi dan kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah satu-satunya jalan menunjukkan superioritas, keperkasaan, dan kedigdayaan Islam sebagai agama yang unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya (ya'lu wala yu'la alaih). Sebaliknya, sikap mengutamakan dialog, persuasi, dan gerakan damai (peaceful and nonviolent movements), dianggap sebagai bentuk kepengecutan dan ekspresi inferioritas.

Ini tentu logika yang menggelikan dan apologetik. Jika Islam memang agama yang superior dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, kebudayaan, dan ekonomi? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan, dan menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam yang masuk kelas dunia. Ini tentu masalah sosial yang kompleks.

Kekuatan yang Ramah

Ke depan, umat Islam harus menata diri, berbenah, sambil merumuskan strategi gerakan keislaman yang jitu, cerdas, santun, dialogis, peaceful, dan beradab. Kekerasan hanya akan menambah wajah buram Islam di mata dunia serta memperuncing ketegangan Islam versus non-Islam, serta Timur kontra Barat. Jalan kekerasan hanya melahirkan kekerasan baru, sehingga umat manusia akan terjebak di dalam lingkaran setan kekerasan yang merugikan semua pihak.

Dari perspektif keislaman, tindakan kekerasan juga berlawanan dengan spirit dasar Islam sebagai agama damai. Kata "Islam" dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic, selain bermakna "ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi" (terhadap keinginan Tuhan), juga berarti "perdamaian, keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan" (Cowan, ed. 1976: 425-426). Dengan demikian, tindakan dan jalan kekerasan, selain bertentangan dengan misi dan khittah Islam, juga bukan solusi terbaik untuk mengatasi aneka masalah di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam).

Untuk itu, gerakan Islam perlu mengedepankan pendekatan kekuatan yang ramah (soft power), melalui medium-medium komunikasi budaya, sarana pengetahuan, pendidikan, diplomasi, dan alat-alat politik yang diaktualisasikan dengan cara-cara nirkekerasan dan dialog lintas-peradaban dan kemanusiaan (Nye, Soft Power: the Means To Success in World Politics). Dalam rangka mengaktualisasikan strategi dan pendekatan soft power tadi, sejumlah intelektual Nahdlatul Ulama belum lama ini mendirikan Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (KNU AS-Kanada). KNU AS-Kanada (juga ormas-ormas keislaman sejenis) yang berwawas-an pluralis dan terbuka, diharapkan dapat menjembatani ketegangan dan jurang pemisah antara Islam-Kristen (juga agama lain) dan Timur-Barat. KNU AS-Kanada juga diharapkan menjadi bagian dari organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi menyelesaikan problem keumatan, keislaman, dan kemanusiaan.

Penulis adalah kontributor RePro Jakarta, Mahasiswa Boston University, Amerika Serikat.

Source: http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/25/index.html

This entry was posted on 6:26 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

2 comments:

On August 8, 2008 at 7:35 AM , Air Setitik Team said...

Please visit our updated blog at http://airsetitik.tk or http://airsetitik.co.cc. Look forward to having your share of thoughts.

Air Setitik

 
On August 10, 2016 at 2:36 PM , Unknown said...

Tulisan yang menarik dan inspiratif. Mestinya banyak orang indonesia yang memiliki pemikiran dan kesadaran yang terbuka seperti anda agar negara ini tidak ikut-ikutan menjadi ajang perseteruan sekte agama yang memuakkan itu.