Antara Taize dan Mopuya:
Makna Perdamaian dan Pluralisme Agama
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Taize, sebuah desa kecil di jantung kota Burgundy, France, dikenal luas sebagai tempat “wisata rohani” atau “oasis spiritual” bagi individu dan komunitas pecinta perdamaian global, kebersamaan hidup, toleransi iman, ketentraman batin, dan pluralisme agama. Di tempat ini tinggal beberapa ratus orang dari berbagai agama, terutama Protestan dan Katolik, dan (masing-masing) hidup damai dan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Setiap orang dari berbagai agama dan tradisi bisa “merayakan” kebebasan iman dan perdamaian di sini. Karena wataknya yang unik, lintas-agama dan budaya, Taize menjadi tempat “jujugan” ribuan orang dari berbagai negara dan agama tiap tahun yang haus akan makna perdamaian dan pluralisme agama.
Didirikan oleh Roger Louis Schutz-Marsauche (pupuler Brother Roger, lahir 1915) pada tahun 1940, Taize pada mulanya didesain sebagai tempat semacam “rekonsiliasi” antara komunitas Protestan dan Katolik. Kita tahu, dua kelompok agama pengikut Jesus ini selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad hidup dalam permusuhan sejak Martin Luther mendeklarasikan 95 Tesis Reformasi yang ditempel di Gereja Wittenberg di akhir abad ke-15 sebagai tanda penabuhan genderang perang melawan Katolik. Tetapi kini, Taize menjadi milik bersama siapa saja dari agama, negara, dan etnik mana saja bisa merayakan kebebasan spiritualitas, berdoa bersama, menyanyikan lagu-lagu “rohani” bersama-sama dalam semangat perdamaian dan tetap menghargai keunikan dan keragaman masing-masing tradisi. Karena jasanya dalam menebarkan perdamaian, toleransi, dan pluralisme, kematian Brother Roger pada tahun 2005 diratapi banyak orang. Pope Benedict XVI menyebutnya sebagai “one of the best-loved Christian leaders of our time.” Sementara Jacques Chirac menggelarinya “one of the most remarkable servants of the values of respect and tolerance,” Gerhard Schroeder menyebutnya sebagai “one of the great contemporary personalities of religious life.”
Sebagaimana Taize yang damai dan pluralis, Mopuya, sebuah dusun terpencil di kecamatan Dumoga Utara, kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara juga memiliki karakter yang kurang lebih sama: damai, toleran, dan pluralis. Desa ini dihuni penduduk dari berbagai agama: Islam, Hindu, Katolik, dan Kristen dari berbagai denominasi. Uniknya mereka membangun tempat ibadah bersama-sama, dan bahkan di desa Mopuya Selatan tempat-tempat ibadah itu dibangun dalam satu komplek. Di komplek ini terdapat Masjid Jami’ al-Muhajirin, Pure Puseh Umat Hindu, Gereja Katolik Santo Yusuf Mopuya, Gereja Pantekosta, Gereja KGPM Sidang Kalvari Mopuya, dan GMIBM PGI Jemaat Immanuel Mopuya (Jawa Pos, 18 Maret 2008). Tidak sebatas itu, komunitas agama di desa ini juga saling merayakan hari-hari besar agama masing-masing dalam semangat penuh kebersamaan dan saling menghargai perbedaan dan keragaman. Karena karakteristiknya yang unik, damai, dan pluralis, desa ini pernah menjadi proyek percontohan atau model toleransi dan pluralisme agama bagi masyarakat internasional. Pada waktu itu, Menteri Tarmizi Taher dan Gubernur EE Mangindaan pernah diundang pemerintah Amerika Serikat untuk presentasi mengenai kehidupan keberagamaan di Indonesia, khusunya komunitas Mopuya.
***
Saya sengaja memaparkan kehidupan keberagamaan komunitas Taize dan Mopuya karena melihat di Indonesia khususnya masalah perdamaian dan pluralisme berbasis agama saat ini sedang dalam tahap memprihatinkan. Banyak umat beragama baik Muslim maupun non-Muslim yang salah baca dalam menilai konsep pluralisme. Kelompok keislaman tertentu di Tanah Air misalnya merasa terancam dengan paham pluralisme yang mereka baca sebagai penegasian kebenaran agama Islam. Bahkan MUI secara serampangan menyamakan pluralisme dengan “sinkretisme”—sebuah pencampur-adukan paham keagamaan, penyamarataan doktrin kebenaran yang secara esensial, menurut mereka, bertentangan dengan Islam sebagai “satu-satunya jalan kebenaran.” Kelompok Kristen konservatif juga menganggap wacana pluralisme sebagai ancaman atas identitas, sendi-sendi dan nilai-nilai kekristenan yang mereka yakini kebenarannya mutlak dari Tuhan, mengancam doktrin evangelisme dan missionarisme, dll, karena itu mereka juga menyerang kelompok Kristen moderat-pluralis dan menganggap mereka telah menyeleweng dari ajaran traditional Kristen.
Kedua kelompok konservatif Kristen dan Islam ini sejauh yang saya tahu telah “salah baca” (misreading) dan salah pengertian (misunderstanding) terhadap konsep dan paham pluralisme. Profesor Diana Eck yang sedang memimpin program “Pluralism Project” dari Harvard Divinity School, memberikan penjelasan menarik mengenai pemahaman pluralisme ini. Menurutnya pluralisme berbeda dengan plurality atau diversity, keragaman. Diversity, kata Eck, adalah pluralitas yang alami, basic, simple, colorful, splendid, dan given sifatnya. Sementara pluralisme adalah sebuah proses pergumulan yang bertujuan menciptakan sebuah masayarakat bersama (common society) yang dibangun atas dasar pluralitas itu. Dia memberi contoh di salah satu negara bagian AS, Maryland, tepatnya di sebuah jalan di Silver Spring terdapat berbagai tempat ibadah yang berdekatan seperti the Vietnamese Catholic church, the Cambodian Buddhist temple, the Ukraine Orthodox church, the Muslim Community Center, the Disciples of Christ church dan the Mongol Mandir Hindu temple. Ini adalah contoh diversity atau plurality tetapi tanpa engagement (baca, dialog intensif atau pergumulan terus-menerus) antara satu komunitas dengan lainnya, kata Eck, maka plurality itu tidak akan menjadi pluralism. Jadi kata kunci dari pluralisme adalah “pergumulan kreatif-intensif” terhadap fakta pluralitas itu. Tidak seperti plurality yang merupakan pemberian atau anugerah Tuhan (given), pluralisme adalah sebuah “prestasi” (achievement) bersama dari kelompok agama dan budaya yang berlainan untuk menciptakan apa yang oleh Eck disebut common society.
Lebih lanjut Eck yang juga penulis buku Encountering God ini memberi empat karakteristik tentang pluralisme. Pertama, pluralisme berbeda dengan keberagaman itu sendiri melainkan (pluralisme) adalah “the energetic engagement with diversity”—atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman. Kedua, pluralisme tidak sekedar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference). Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi “the encounter of commitments.” Dalam paradigma baru pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti dari pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain. Seorang pluralis bukan berarti tidak mengakui eksistensi perbedaan agama sebab perbedaan itu adalah nature (sunatullah) yang tidak bisa diabaikan, akan tetapi perbedaan agama itu dijadikan sebagai sumber bagi hubungan agama yang sehat, sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya melihat perbedaan itu sebagai faktor pemecah (divider) yang mengancam identitas keagamaan dan kebudayaan tertentu. Dalam konteks ini, seorang pluralis akan memandang agama sebagai “unite factor” ketimbang “divide one.” Empat, pluralisme dibangun diatas basis dialog. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan, take and give, criticism and self-criticism. Dialog berarti berbicara sekaligus mendengarkan, dan proses dialog itu harus mengungkapkan common understanding dan fakta-fakta perbedaan dengan sikap hormat dan saling menghargai.
Perlu juga dicatat bahwa dialog berbeda dengan debat. Dalam dialog target yang hendak dicapai adalah mutual understanding bukan saling mengalahkan seperti dalam debat. Tidak ada kalah-menang dalam dialog. Inilah makna ketika Alqur’an menegaskan “bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal” (Q. 49:13). Kalimat “berbangsa-bangsa” dan “bersuku-suku” adalah fakta diversity atau plurality sementara “untuk saling mengenal” (ta’aruf) adalah pemahaman tentang pluralisme tadi. Karena itu fakta pluralitas itu baru bisa dipahami jika kita umat beragama memiliki komitmen untuk berdialog yang merupakan ruh dari pluralisme. Sementara dialog bisa dimengerti sebagai “a way of knowing or understanding.” Dalam kerangka pemikiran ini, pluralisme setingkat lebih tinggi dari toleransi. Dalam toleransi tidak dibutuhkan pengetahuan (knowledge) dan pemahaman (understanding) atas “yang lain” sementara pluralisme mengsyaratkan keduanya. Meskipun toleransi itu baik dan perlu dalam hubungan antar-agama, tetapi tidak cukup kuat sebagai landasan dialog antar-agama. Sebab “budaya toleransi” (culture of tolerance) ini masih rawan dan rapuh untuk disusupi dan diprovokasi pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan agama dan politik.
***
Dalam banyak hal hubungan inter dan antar-agama di Indonesia dan dimanapun saat ini masih berada pada level toleransi ini belum sampai ke tahap pluralisme. Karena itu dibutuhkan usaha keras untuk memecah kebuntuan dan kesalahpahaman antar dan inter umat beragama baik di tingkat elit lebih-lebih di level akar rumput. Program-program seperti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta serta Indonesian Consortium for Religious Studies yang didirikan UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) di Yogyakarta adalah bagian dari usaha intelektual untuk menciptakan kultur pluralisme di Indonesia yang perlu ditiru lembaga akademik lain. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di negeri ini juga perlu ada mata pelajaran cross-cultural or religious understanding yang melibatkan non-Muslim dalam proses pengajaran. Demikian juga perguruan tinggi-perguruan tinggi non-Islam perlu melibatkan para sarjana Muslim dalam proses pengajaran. Keterbukaan menjadi kata kunci sekaligus pra syarat religious encounter yang sehat dan dinamis serta jalan terciptanya perdamaian global antar umat beragama.
Di tingkat akar rumput, komunitas ekumeni Taize dan kelompok agama Mopuya juga bisa dijadikan contoh baik bagaimana agama bisa ditransformasikan sebagai kekuatan penggerak perdamaian, persatuan, toleransi, dan pluralisme, bukan sebagai motor kekerasan, perpecahan, dan anti-pluralisme sebagaimana dilakukan kelompok konservatif dan fundamentalis agama. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, aplikasi paham pluralisme seperti dipaparkan dengan baik oleh Eck dan dipraktekkan dengan tulus oleh masyarakat Taize dan Mopuya adalah wajib ain hukumnya dan menjadi tanggung jawab masing-masing umat beragama.***
Source: Jawa Pos, 27-28 Mei, 2008, cek juga di http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/743/52/
0 comments: