Author: Sumanto Al Qurtuby
•7:24 AM
Momentum Kebangkitan Dunia Islam

Oleh Sumanto Al Qurtuby


Setiap tahun baru Islam tiba, saya selalu teringat akan kondisi umat Islam yang belum beranjak dari keterbelakangan dan kemunduran. Kata keterbelakangan dan kemunduran ini mengacu pada hampir semua hal: pemikiran, sains, teknologi, ekonomi, kebudayaan, sistem politik dan seterusnya. Dunia Islam masih terpuruk meskipun seruan kebangkitan atau nahdhah dalam istilah Arab sudah digemakan oleh para mentor muslim sejak abad ke-19 ketika dunia Islam sedang berjuang keras membebaskan diri dari kolonialisasi Barat. Kita masih ingat tokoh-tokoh muslim Arab dan Timur Tengah seperti Thahthawi, Tunisi, Kawakibi, Afghani, Abduh, Arselan, Qasim Amin, Roziq, Ridha dan lain-lain yang begitu gigih ingin melepaskan dunia Islam dari keterpurukan dan penjajahan.

Pertanyaan reflektif waktu itu yang ingin dijawab para pioneer kebangkitan Islam—yang hingga kini terus menjadi inspirasi orang-orang Arab dan kaum muslim secara umum—adalah, “Mengapa Barat maju dan dunia Arab-Islam mundur?” Pertanyaan ini menghantui para intelektual Arab sejak Tahthawi dan Tunisi sampai puncaknya Amir Syakib Arselan yang menulis buku khusus berjudul pertanyaan tadi: Limadza Ta’akhkhara al-Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum (“Mengapa Dunia Islam Mundur dan Barat Maju?”). Pertanyaan reflektif ini menghasilkan jawaban yang beragam dari kalangan intelektual Arab-Islam. Afghani “menginstruksikan” pembentukan Pan-Islamisme yang lebih banyak bernuansa politik, Abduh menyerukan “gerakan pemikiran” yang sudah puluhan tahun mandek. Yang agak unik adalah tawaran solusi dari Tahthawi. Meski tidak secara eksplisit menyerukan agar masyarakat Arab-Islam mengikuti pola dan model kehidupan masyarakat Prancis, pesan Tahthawi sangat jelas, yakni bahwa Prancis merupakan sebuah model kehidupan yang sangat ideal bagi dunia Islam.

Lain lagi dengan Qasim Amin. Dia melihat masalah utama dunia Arab-Islam adalah masalah perempuan, maka ia melontarkan isu persamaan gender (gender equality). Dia menulis dua buku khusus tentang ini, yakni Tahrir al-Mar’ah (“Pembebasan Perempuan”) dan Al-Mar’ah al-Jadidah (“Perempuan Baru”). Pada waktu itu—bahkan hingga kini—isu tersebut merupakan hantaman keras bagi kehidupan masyarakat Arab yang patriarkhat dan diskriminatif terhadap perempuan. Menarik untuk dicatat bahwa, dalam mengemukakan argumentasinya, Amin berlindung pada semangat ajaran Islam yang menurutnya sangat menghargai hak-hak kaum perempuan tetapi sayangnya telah dinodai dan dirusak oleh kaum muslim dan budaya serta perilaku bangsa Arab. Karenanya, ia menyerukan bangsa Arab—dan khususnya kaum muslim—harus kembali pada semangat dasar ajaran Islam yang toleran dan menghargai hak-hak kaum perempuan.

Jelasnya apa yang ingin saya sampaikan disini adalah bahwa pertanyaan reflektif di atas telah melahirkan jawaban beraneka ragam: dari solusi yang sifatnya “liberal” seperti Tahthawi atau Qasim Amin dan yang paling fenomenal adalah Ali Abdur Raziq yang menolak negara Islam (sistem khilafah) sebagai solusi mengatasi kemunduran dunia Islam sampai yang “konservatif” seperti Ridha yang meng-endorse khilafah dan Arselan yang terang-terangan menyerukan “ruju’ ila al-nash”, yakni umat Islam harus kembali pada teks suci jika ingin keluar dari belenggu kemunduran. Dinamika pemikiran para tokoh dan intelektual Arab-Islam itu telah ditulis oleh Albert Hourani dalam Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1938. Menariknya adalah meskipun mereka berbeda pandangan yang sangat tajam mengenai solusi konkret mengatasi keterpurukan dunia Islam akan tetapi hampir tidak ada tekanan atau ancaman baik dari otoritas agama maupun rezim politik (penguasa) terhadap pemikiran tertentu. Mereka bebas mengekspresikan pendapat. Bahkan tidak sedikit para intelektual Kristen Arab yang juga turut memberikan kontribusi pemikiran bagi kemajuan dunia Arab seperti Buthrus al-Bustani, Syibli Syumayyil atau Farah Anthun. Karena itulah Hourani menyebut era abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di dunia Arab-Islam sebagai “liberal age”.

Pada kurun liberal ini telah menyuguhkan sebuah pentas wacana, kontestasi, di mana tuduhan kafir atau murtad serta ancaman kematian atas nama otoritas agama dan politik kekuasaan belum lagi dikenal atau minimal belum menjadi trend. Pemandangan ini sangat kontras dengan dunia Arab-Islam kontemporer di mana pemikiran liberal dipasung dan dipinggirkan dari mainstream Islam oleh otoritas agama dan rezim politik. Inilah perbedaan mendasar antara dunia Arab-Islam modern (abad ke-19 sampai awal abad ke-20) dengan Arab-Islam kontemporer (sejak 1940-an): kebebasan berpikir. Dengan nada meledek, Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang dituduh murtad dan diusir dari negaranya (kini dia di Belanda), menyebut dunia Arab-Islam dewasa ini sebagai ashr al-takfir (“Era Pengafiran”) sementara masa sebelumnya sebagai ashr al-tafkir (“Era Pemikiran”). Pernyataan Nasr ini tidak berlebihan karena memang banyak para intelektual di dunia Arab, Timur Tengah dan kawasan Islam lain dewasa ini yang mengalami nasib sial: dituduh murtad, kafir, dipaksa cerai sama istri, dideportasi sampai dihukum bunuh hanya karena berpikiran “melawan arus utama” pemikiran Islam.

Inilah masalah mendasar dunia Arab-Islam dewasa ini sehingga meskipun gerakan kebangkitan (harakah al-nahdhah) telah digemakan sejak abad ke-19 tetapi tidak berdampak secara positif bagi kemajuan dunia Arab-Islam. Bahkan sebaliknya, di kawasan-kawasan Islam justru memperlihatkan pemandangan yang mengenaskan: secara politik tidak demokratis, ekonomi hancur, pendidikan dan peradaban terpuruk. Yang lebih menyakitkan adalah para rezim Islam (baik rezim politik maupun agama) turut memberi andil bagi kemerosotan total dunia Arab-Islam itu. Tidak jarang otoritas agama dan rezim politik ini “berselingkuh” untuk mewujudkan agenda politik-keagamaan tertentu meskipun dengan mengorbankan rakyat. Fareed Zakaria, orang New York yang kini menjadi pimpinan majalah terkemuka dunia Newsweek, belakangan menulis sebuah buku bagus berjudul The Future of Freedom yang antara lain memaparkan “kisah pilu” dunia Arab-Islam sehingga gagal membawa rakyat ke alam kemajuan. Kegagalan itu antara lain disebabkan lantaran rezim Arab-Islam kontemporer tidak melanjutkan visi kebebasan yang dulu menjadi identitas Arab-Islam. Wacana pemikiran Arab modern yang sebelumnya sangat kental bernuansa pencerahan (enlightment, al-tanwir) dan pembebasan kultural kemudian bergeser ke model wacana yang berkarakter fundamentalistik, eksklusif dan konservatif terhadap upaya-upaya modernisasi dan rasionalisasi kehidupan masyarakat Arab-Islam.

Hal itu terjadi setelah 1940-an beberapa rezim Islam politik berhasil mengambil alih kekuasaan dan memulai peranan penting dalam pembuatan sejumlah regulasi yang bernuansa konfrontasi dengan produk-produk modernitas dan Barat. Mereka kemudian menawarkan Islam sebagai basis ideologi dan Alqur’an sebagai dasar hukum pemerintahan. Jargon mereka adalah, “al-Islam huwa al-hall”: Islam adalah solusi. Tetapi apa yang terjadi, alih-alih mereka ingin mengangkat citra dan identitas umat Islam dari keterpurukan tetapi justru tindakan ketidakdemokratisan yang mereka terima: hak-hak masyarakat sipil (civil rights) dibatasi secara ketat, kaum perempuan belum juga beranjak dari status lamanya sebagai “pelengkap penderita”, demokratisasi juga dibiarkan jalan di tempat. Semua itu mereka lakukan atas nama “menjalankan syari’at Islam”. Tafsir atas keislaman dimonopoli sedemikian rupa oleh lembaga keagamaan sehingga tidak ada celah atau ruang sedikitpun bagi pemikiran alternatif yang membebaskan. Setiap muncul upaya-upaya penafsiran yang bersifat emansipatoris dan “liberal” segera dienyahkan. Itulah yang kini menimpa An-Na’im, Nasr Hamid, Abdul Karim Soroush, Syahrur, Nawal Sadawi dan lainnya.

Ke depan, untuk membebaskan dunia Islam dari keterpurukan peradaban ini harus diawali dengan pembebasan struktur nalar pemikiran Islam. Wacana keislaman harus dilihat dari aspek visi etis-nya bukan teks-teks verbal yang terdapat dalam tumpukan kitab. Etika kenabian atau spirit profetik yang membebaskan harus kembali ditampilkan ke panggung dunia Islam. Selama ini, wujud Islam lebih menampakkan sisi ritual, mistikal dan ideological ketimbang intelektual dan sosial. Lihatlah jama’ah-jama’ah pengajian atau forum-forum “santapan rohani” lain selalu dibanjiri pengunjung, ibadah haji yang merupakan perpaduan dari kegiatan ritual dan klenik juga selalu diminati umat. Demikian juga aktifitas klenik (mistik)—ziarah misalnya—juga selalu memikat umat Islam. Mereka juga terpesona dengan kampanye “Islam politik” yang bergemuruh meskipun sebetulnya kosong hampa tak bermakna. Padahal, menurut Imam Khomeini, dalam al-Hukumah al-Islamiyah, perbandingan ayat-ayat ritual dan sosial dalam Qur’an adalah satu berbanding seratus! Itu artinya, Islam sebetulnya sangat berpotensi untuk digerakkan sebagai medium kultural guna membebaskan umat Islam dari keterpurukan sosial, intelektual, ekonomi, politik dan peradaban ini.

Tetapi sangat disayangkan rupanya umat Islam belum tergerak sepenuhnya untuk menjadikan Islam sebagai basis perubahan sosial di masyarakat, memerangi korupsi dan kriminalitas kemanusiaan lain dan menegakkan nilai-nilai demokrasi. Mereka masih kerasan berlama-lama duduk bersila memegang tasbih dan mulutnya komat-kamit membaca wirid meskipun di seberang sana banyak umat terkapar karena kelaparan, kebanjiran, atau lantaran kehilangan hak-hak asasi-nya sebagai manusia yang bermartabat!***

This entry was posted on 7:24 AM and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 comments:

On February 15, 2011 at 11:30 PM , mz arifin said...

kemunduran muslimuun, terutama adalah karena sekitar 70% jamaah masjid2 belum hafal terjemahan faatihah.

muslimuun 'arob dibebani oleh muslimuun a'jam, non 'arob yg mundur ini, pada gilirannya juga ikut mundur.

hal tersebut harus segera diatasi bila mau muslimuun kuat, sejahtera, berwibawa.