•11:09 AM
Menyambut Pendirian KNU AS-Kanada
NU, Islam, dan Barat
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Sekjen KNU AS-Kanada
Di Boston, Massachusetts belum lama ini, sejumlah aktivis dan intelektual NU di Amerika Serikat (AS) mendirikan sebuah organisasi bernama Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS). Setelah sejumlah kader NU di Kanada bergabung, organisasi ini kemudian berubah menjadi KNU AS-Kanada. Para kader NU yang terlibat proses pendirian organisasi ini, selain saya sendiri, adalah Achmad Munjid, Ulil Abshar-Abdalla, Achmad Tohe, Prof. Kustim Wibowo, Ph.D., Salahuddin Kafrawi, Ph.D., Mohammad Abdun Nasir, Ahmad Sahal, Ahmad Rafiq, Syamsul Ma’arif, Munajat, Saiful Umam, Dadi Darmadi, dan Hasan Basri. Dalam deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla ini, juga dihadiri sejumlah mahasiswa non-NU dari Indonedia yang sedang studi di area Boston, aktivis perempuan NU dan non-NU, kader muda Muhamamdiyah Sukidi Mulyadi dan tokoh muda “NU kultural,” Jajang Jahroni.
Seperti organisasi ke-NU-an pada umumnya, KNU AS-Kanada juga mengikuti tradisi Sunni-Ash’ari dalam teologi dan empat mazhab dalam fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). Meskipun KNU AS-Kanada ingin mempertahankan tradisi Islam klasik Sunni-Ash’ari dan mazhab empat yang sangat kaya itu tetapi para penggagas dan pendiri organisasi ini menginginkan agar tradisi ini terbuka pada kemungkinan tafsir baru. KNU AS-Kanada juga menggarisbawahi perlunya membuka diri terhadap aliran pemikiran, sekte, dan kemajemukan internal dalam Islam dan masyarakat Muslim dimanapun berada. Sikap keterbukaan ini sebagai sebuah konsekuensi logis atas fakta pluralitas Islam itu sendiri baik dalam pengertian sejarah, tradisi, tafsir, wacana, simbol, doktrin, dan teks-teks keislaman maupun kebudayaan umat Islam (Muslim cultures) yang memang beraneka ragam dan warna-warni.
***
Ada tiga faktor atau masalah mendasar yang menjadi keprihatinan para founding father KNU AS-Kanada yang sekaligus melatarbelakangi terbentuknya ormas ke-NU-an di wilayah Amerika Serikat dan Kanada ini. Ketiga faktor dimaksud menyangkut sejumlah masalah internal NU, keislaman Indonesia, serta relasi Islam-Barat. Ketiga “latar belakang masalah” ini selanjutnya menjadi fokus gerakan KNU AS-Kanada.
Pertama, dari aspek internal NU, KNU AS-Kanada menilai PBNU khususnya dan kelompok struktural NU pada umumnya sekarang ini dipandang tidak berhasil dalam menerjemahkan dan mengtransformasi visi keislaman NU yang tawazun (balance), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan i’tidal (adil) dalam konteks masyarakat modern yang semakin kompleks, plural, dan meng-global. PBNU juga gagal menyikapi realitas kemajemukan keberagamaan masyarakat dewasa ini. Alih-alih ingin bersikap moderat, toleran, dan adil, (sebagian pengurus di) PBNU justru terlibat aktif dalam proses penyesatan dan peminggiran sejumlah kelompok dan aliran keagamaan dan keislaman. Alih-alih ingin mengapresiasi pluralitas keberagamaan, PBNU justru terlibat aktif melarang pluralisme yang diharamkan MUI tanpa mempelajari lebih dalam definisi dan makna pluralisme serta dasar-dasar pengharaman itu. Dan alih-alih ingin menegakkan Islam yang berwawasan moderat dan toleran, PBNU, sekali lagi, ironisnya justru ikut menabuh kendang yang dimainkan kelompok “Muslim” fundamentalis radikal! Sejumlah fakta ini cukuplah dijadikan alasan bahwa PBNU telah mengabaikan spirit, visi, dan “khittah” keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal tadi.
Berangkat dari realitas inilah, KNU AS-Kanada ingin mengembalikan NU ke dalam formasi awal sebagai ormas keagamaan yang berwawasan toleran-pluralis yang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Untuk mewujudkan (kembali) visi dan nilai-nilai keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal ini, KNU AS-Kanada akan mengapresiasi secara kritis kaedah yang juga dipegangi NU selama ini: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Terjemahan bebas teks ini kira-kira: “memelihara tradisi dan warisan lama yang masih baik dan relevan serta menggali kebudayaan baru yang lebih baik dan kontekstual.” Tantangan terbesar buat KNU AS-Kanada tentu saja bagaimana merumuskan kriteria “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah” itu. Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah”?
KNU AS-Kanada menilai PBNU selama ini lebih banyak mengapresiasi hanya pada aspek “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih.” Itupun tidak semua tradisi khazanah Islam klasik diapresiasi secara imbang, fair, dan adil. Banyak sejarah, tradisi, wacana, dan khazanah brilian intelektualisme Islam klasik diabaikan. Pula, PBNU kurang memberikan ruang pada aspek “wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Padahal “kebudayaan baru” inilah yang justru akan memperkaya visi keislaman yang dibangun NU selama ini. Kata “kebudayaan” (culture) yang dimaksud disini adalah “socially distributed knowledge and habits” untuk meminjam istilah Robert Hefner, bukan dalam pengertian produk-produk teknologi. Perkembangan pesat pengetahuan (knowledge), social sciences and humanities, dan aneka “habitual actions” individu, kelompok, dan masyarakat yang semakin rumit dan kompleks dewasa ini tidak direspons secara proporsional dan critical oleh PBNU.
Masalah internal NU lain yang juga turut mendorong proses berdirinya KNU AS-Kanada adalah fakta bahwa PBNU dan sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU (bahkan sampai tingkat kecamatan dan ranting di desa-desa) telah menggunakan institusi ke-NU-an untuk kepentingan politik praktis yang berlawanan dengan spirit “Khittah NU 1926” yang dicetuskan pada Mukmatar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Khittah 1926 ini secara tegas menyatakan NU sebagai “jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah” atau ormas sosial keagamaan bukan parpol (partai politik), orpol (organisasi politik), ataupun supplier partai politik. Tetapi ironisnya, sebagian pengurus NU dari tingkat pusat sampai ranting, rame-rame memperlakukan NU layaknya parpol atau orpol. Tulisan Syamsul Bakri tentang “Khittah 1926 atau Good Bye NU” (Suara Merdeka, 24 July 2008) adalah sangat layak untuk dicermati.
Sejumlah fakta inilah yang membuat para inisiator dan tokoh dibalik “Khittah 1926 Situbondo” seperti Rais Aam KH MA Sahal Mahfudh, Gus Mus, dan Gus Dur geram terhadap ulah sebagian pengurus NU yang besar syahwat politiknya tadi. Karena (sebagian) para pengurus NU ini sibuk berpolitik praktis—meskipun sering kali babak belur seperti kasus cawapres Hasyim Muzadi, cawagub Jateng Muhammad Adnan, dan cawagub Jatim Ali Maschan Moesa—urusan-urusan fundamental ke-NU-an yang justru menjadi “core bussiness” NU seperti masalah keagamaan (diniyah), sosial (mabarat), perekonomian (iqtishadiyyah), dan pendidikan (tarbiyah) menjadi terbengkelai. Aset-aset kultural NU yang melimpah-ruah (seperti potensi kader NU terdidik dan kalangan profesional di dalam dan luar negeri) juga tidak “dikelola” dengan baik bahkan dibiarkan terlantar. Padahal mereka inilah, cepat atau lambat, yang akan memegang kendali roda ke-NU-an di masa datang.
Melihat realtias ke-NU-an dewasa ini yang sudah “salah jalan” di tambah masalah sosial-kemasyarakatan dan kebudayaan yang semakin kompleks, KNU AS-Kanada saat ini sedang merumuskan dan mematangkan sebuah “Khittah Nahdliyah Amrikiyyah” yang diharapkan bisa menjadi sumbangan berarti buat NU dan “guideline” bagi warga NU dalam menyikapi masalah kebangsaan, keislaman, dan ke-NU-an.
***
Kedua, faktor “keislaman Indonesia” yang juga turut memicu proses pendirian KNU AS-Kanada adalah munculnya berbagai kelompok politik dan keagamaan termasuk kelompok keislaman tertentu yang ingin mengganti konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ideologi negara Pancasila, dan Konstitusi UUD 1945. Di tengah bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam pengertian segalanya: budayanya, keberagamaanya, etnik dan sukunya, dst, munculnya kelompok-kelompok eksklusif keislaman yang ingin menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara tentu merupakan ancaman bagi existensi pluralitas Indonesia. Buat KNU AS-Kanada Pancasila sebagai falsafah, ideologi, dan dasar negara bersifat final. KNU AS-Kanada tetap mengapresiasi keragaman kelompok-kelompok politik dan keislaman tersebut sebagai bagian dari dinamika internal umat beragama dalam kerangka demokrasi sepanjang dilakukan dalam konteks NKRI, mentaati konstitusi negara, dan tunduk pada UU dan peraturan yang berlaku yang menjadi acuan hukum berbangsa dan bernegara.
***
Faktor ketiga yang melatarbelakangi sekaligus menjadi fokus KNU AS-Kanada adalah masalah hubungan Islam-Barat.
Jamak diketahui bahwa relasi Islam-Barat sering berlangsung tidak harmonis serta penuh prasangka (prejudice), kecurigaan, dan ketegangan sehingga menimbulkan gap yang cukup serius antara dunia Muslim di satu sisi dan masyarakat Barat di pihak lain. Sikap saling curiga dan syakwasangka itu sendiri sebetulnya selain dipicu oleh sejumlah faktor sosial-politik-ekonomi kontemporer yang sangat kompleks juga memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Dari perspektif dunia Islam, ketegangan dengan “Barat” bermula sejak era kolonialisme ketika “Eropa yang Kristen” menjajah kawasan-kawasan berbasis Islam dari Arab, Timur Tengah, Afrika Utara, sampai Indonesia. Kolonialisme ini tidak semata-mata masalah politik (dominasi kekuasaan, kontrol pemerintahan, dll) dan ekonomi (eksploitasi sumber-sumber perekonomian) tetapi juga masalah agama dan budaya karena kolonialisme membawa sejumlah “penumpang gelap” berupa misionarisme, modernisme, dan westernisme.
Ketika luka-luka lama akibat kolonialisme ini pelan-pelan bisa diobati dengan pendirian negara-negara modern yang merdeka dan otonom atau semi-otonom di berbagai negara berbasis Islam, memori luka lama itu bangkit kembali ketika melihat sejumlah konflik kekerasan yang melibatkan non-Muslim seperti Israel v Palestine atau negara-negara di kawasan Balkan (Serbia, Bosnia-Herzegovina, dll). Ketegangan dan kecurigaan terhadap Barat itu semakin memuncak ketika AS, sebagai simbol utama Barat, sering intervensi urusan negara-negara lain terutama dunia Islam.
Hampir tidak ada negara yang luput dari campur tangan politik AS. Dengan dalih demokrasi dan didukung oleh dana yang kuat, AS selalu terlibat dalam proses-proses kepolitikan internal negara-negara lain termasuk kawasan Islam tentunya. Celakanya, AS selalu menerapkan politik “standar ganda” dalam setiap penyelesaian masalah kepolitikan dengan kawasan Islam. Sikap “standar ganda” AS itu terlihat sangat jelas dalam kasus konflik Israel versus Palestine, penegasian kemenangan Hamas di Palestine maupun Ikhwanul Muslimin di Mesir, penyelesaian konflik di Iraq, penanganan ketegangan di Iran, dan masih banyak lagi. Sejumlah sikap politik AS yang plin-plan ini menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) publik (sebagian) dunia Islam terhadap komitmen demokrasi yang diperjuangkan dan dimotori (pemerintah) AS.
Sementara itu dari sudut pandang Barat, terutama AS, masyarakat Muslim tidak bisa dilepaskan dari sejarah, doktrin, dan wacana keislaman yang bias, tidak egaliter, intolerant, anti-pluralisme, dan mendukung pendirian sistem kekhalifahan yang mengancam eksistensi masyarakat non-Muslim dan sendi-sendi demokrasi serta anti konsep citizenship di mana setiap warga memiliki hak yang sama dalam sebuah sistem kepolitikan. Selain itu ada persepsi yang kuat bahwa umat Islam mudah dibangkitkan untuk melakukan tindakan terorisme dan kekerasan global.
Salah satu organisasi berbasis Islam di AS yang bernama “The Notion of Islam” (NOI) sering dijadikan sebagai rujukan (sebagian) masyarakat AS dari kalangan elit politisi sampai warga biasa tentang “fakta keislaman” yang tidak bisa bersinergi dengan ide-ide dan konsep kewarganegaraan, demokrasi, liberalisme, kebebasan, dan pluralisme yang menjadi “ruh” kebudayaan Barat dan AS. Didirikan oleh Wallace Fard Muhammad pada tahun 1930 di Detroit, Michigan, NOI pada awalnya merupakan organisasi keagamaan yang bertujuan membangkitkan kembali mentalitas dan spiritualitas perempuan dan warga kulit hitam AS dari perilaku diskriminasi kulit putih di satu sisi dan mempromosikan Islam sebagai sistem keagamaan yang membawa perdamaian global. Spirit ini terus dilanjutkan ketika NOI dipimpin oleh tokoh spiritual Muslim AS berpengaruh, Elijah Muhammad (1897-1975), guru Malcolm X yang sangat populer itu. Namun ketika organisasi ini dipegang oleh Louis Farrakhan (lahir 1933) sejak 1973, NOI menjadi kental aura “politik Islam”-nya. Farrakhan-lah tokoh Muslim AS yang gencar menyuarakan sistem kekhalifahan Islam dan menjadikan NOI sebagai “kendaraan” untuk mewujudkan terciptanya “the real notion of Islam” di AS. Sejak itu, tokoh yang waktu lahir bernama Louis Eugene Walcott ini, kemudian dianggap sebagai simbol “Islam garis keras” yang membahayakan sistem kepolitikan AS yang dibangun di atas fondasi demokrasi liberal.
Kecurigaan AS terhadap dunia Islam yang tidak ramah dengan AS ini semakin menguat sejak terjadi insiden yang mengguncang dunia: tragedi 11 September, 2001. Insiden peledakkan gedung WTC dan Pentagon yang menjadi landmark ekonomi dan pertahanan AS ini menyebabkan sedikitnya 3,000 jiwa melayang, sebuah peristiwa yang masih menyisakan trauma mendalam di benak warga AS hingga sekarang ini. Tragedi inilah yang mendorong lahirnya kebijakan politik “war on terror” oleh pemerintah George W. Bush yang menjadikan umat Islam sebagai TO (“target operasi”). Atas nama “war on terror” ini, Bush membombardir Afghanistan, menggempur Iraq, dan menangkap kaum Muslim yang di-stemple teroris lalu dijebloskan dan disiksa di penjara paling mengerikan di jagat ini: Goantanamo.
Sejumlah fakta tadi tentu saja semakin memeruncing hubungan Islam-Barat.
***
Di tengah hubungan dunia Islam dan Barat yang penuh prejudice ini, kehadiran KNU AS-Kanada diharapkan bisa menjembatani ketegangan (bridging gaps) hubungan Islam-Barat sekaligus menjadi dialogue partner yang kritis dan cerdas terhadap Islam dan Barat sekaligus. Bagi KNU AS-Kanada perjumpaan kritis antara Islam dan Barat bersifat memperkaya khazanah keislaman. Kritis terhadap Islam diwujudkan dalam bentuk “cover both sides” atas wacana, tradisi, sejarah, dan praktek-praktek keislaman baik yang dikembangkan kelompok “moderat-progresif” maupun “militant-konservatif.”
Selanjutnya, selain mengapresiasi sisi-sisi positif “kebudayaan Barat” yang manfaatnya telah dirasakan oleh jutaan manusia di planet ini seperti konsep demokrasi, egalitarianisme, freedom, sekularisme, liberalisme, pluralisme, “philantropi-isme”, vulunterisme, dst, sikap kritis terhadap Barat ini akan dilakukan dalam bentuk kritik-konstruktif terhadap empat hal fundamental berikut ini. Pertama kebijakan politik AS yang double standard menyangkut hajat hidup dunia Islam termasuk masalah Palestine-Israel. Dalam hal ini KNU AS-Kanada mengusulkan solusi pembentukan dua negara: Negara National Palestina dan Israel sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik yang just-peace. Kedua, pemaksaan demokrasi lewat cara-cara kekerasan dan perang seperti kasus Iraq dan Afghanistan. Ketiga, ketidakadilan global kapitalisme di mana Barat turut andil dalam proses penciptaan keterbelakangan “dunia ketiga” termasuk dunia Islam. Terkait dengan masalah “ketidakadilan global kapitalisme” ini, KNU AS-Kanada akan terus mengupayakan terciptanya “global in justice” lewat kerja-kerja intelektual dan “soft diplomacy.” Keempat, prejudice yang dilakukan sebagain tokoh agama, orientalis, sarjana, politisi, media, dan warga AS atas wacana, doktrin, tradisi, sejarah, dan praktek cultural umat Islam. Untuk mengatasi masalah prasangka Barat atas Islam ini, KNU AS-Kanada akan terus mengembangkan model “dialog agama” yang sehat, kritis, dan cerdas.
Dialog agama ini memang “bisnis yang sangat berbahaya,” untuk meminjam istilah Mohammed Abu-Nimer dalam buku Interfaith Dialog and Peacebuilding yang diedit David Smock dari United States Institute of Peace (USIP) akan tetapi dialog agama yang kritis-konstruktif dan dilandasi spirit untuk mencari common ground dan mutual understanding ini adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama, kecurigaan dan sejumlah misundertanding Islam-Barat. Dialog agama dalam semangat dan framework seperti ini mampu menjadi medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut “satu dunia,” yakni sebuah persepsi tentang semua mahluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apapun latar belakang etnis dan agamanya—mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep “satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada “stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements.”
Mampukah KNU AS-Kanada mewujudkan idealisme ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.***
NU, Islam, dan Barat
Oleh Sumanto Al Qurtuby
Sekjen KNU AS-Kanada
Di Boston, Massachusetts belum lama ini, sejumlah aktivis dan intelektual NU di Amerika Serikat (AS) mendirikan sebuah organisasi bernama Komunitas Nahdlatul Ulama Amerika Serikat (KNU-AS). Setelah sejumlah kader NU di Kanada bergabung, organisasi ini kemudian berubah menjadi KNU AS-Kanada. Para kader NU yang terlibat proses pendirian organisasi ini, selain saya sendiri, adalah Achmad Munjid, Ulil Abshar-Abdalla, Achmad Tohe, Prof. Kustim Wibowo, Ph.D., Salahuddin Kafrawi, Ph.D., Mohammad Abdun Nasir, Ahmad Sahal, Ahmad Rafiq, Syamsul Ma’arif, Munajat, Saiful Umam, Dadi Darmadi, dan Hasan Basri. Dalam deklarasi yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla ini, juga dihadiri sejumlah mahasiswa non-NU dari Indonedia yang sedang studi di area Boston, aktivis perempuan NU dan non-NU, kader muda Muhamamdiyah Sukidi Mulyadi dan tokoh muda “NU kultural,” Jajang Jahroni.
Seperti organisasi ke-NU-an pada umumnya, KNU AS-Kanada juga mengikuti tradisi Sunni-Ash’ari dalam teologi dan empat mazhab dalam fiqih (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali). Meskipun KNU AS-Kanada ingin mempertahankan tradisi Islam klasik Sunni-Ash’ari dan mazhab empat yang sangat kaya itu tetapi para penggagas dan pendiri organisasi ini menginginkan agar tradisi ini terbuka pada kemungkinan tafsir baru. KNU AS-Kanada juga menggarisbawahi perlunya membuka diri terhadap aliran pemikiran, sekte, dan kemajemukan internal dalam Islam dan masyarakat Muslim dimanapun berada. Sikap keterbukaan ini sebagai sebuah konsekuensi logis atas fakta pluralitas Islam itu sendiri baik dalam pengertian sejarah, tradisi, tafsir, wacana, simbol, doktrin, dan teks-teks keislaman maupun kebudayaan umat Islam (Muslim cultures) yang memang beraneka ragam dan warna-warni.
***
Ada tiga faktor atau masalah mendasar yang menjadi keprihatinan para founding father KNU AS-Kanada yang sekaligus melatarbelakangi terbentuknya ormas ke-NU-an di wilayah Amerika Serikat dan Kanada ini. Ketiga faktor dimaksud menyangkut sejumlah masalah internal NU, keislaman Indonesia, serta relasi Islam-Barat. Ketiga “latar belakang masalah” ini selanjutnya menjadi fokus gerakan KNU AS-Kanada.
Pertama, dari aspek internal NU, KNU AS-Kanada menilai PBNU khususnya dan kelompok struktural NU pada umumnya sekarang ini dipandang tidak berhasil dalam menerjemahkan dan mengtransformasi visi keislaman NU yang tawazun (balance), tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan i’tidal (adil) dalam konteks masyarakat modern yang semakin kompleks, plural, dan meng-global. PBNU juga gagal menyikapi realitas kemajemukan keberagamaan masyarakat dewasa ini. Alih-alih ingin bersikap moderat, toleran, dan adil, (sebagian pengurus di) PBNU justru terlibat aktif dalam proses penyesatan dan peminggiran sejumlah kelompok dan aliran keagamaan dan keislaman. Alih-alih ingin mengapresiasi pluralitas keberagamaan, PBNU justru terlibat aktif melarang pluralisme yang diharamkan MUI tanpa mempelajari lebih dalam definisi dan makna pluralisme serta dasar-dasar pengharaman itu. Dan alih-alih ingin menegakkan Islam yang berwawasan moderat dan toleran, PBNU, sekali lagi, ironisnya justru ikut menabuh kendang yang dimainkan kelompok “Muslim” fundamentalis radikal! Sejumlah fakta ini cukuplah dijadikan alasan bahwa PBNU telah mengabaikan spirit, visi, dan “khittah” keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal tadi.
Berangkat dari realitas inilah, KNU AS-Kanada ingin mengembalikan NU ke dalam formasi awal sebagai ormas keagamaan yang berwawasan toleran-pluralis yang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Untuk mewujudkan (kembali) visi dan nilai-nilai keislaman NU yang tawazun, tasamuh, tawasuth, dan i’tidal ini, KNU AS-Kanada akan mengapresiasi secara kritis kaedah yang juga dipegangi NU selama ini: “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Terjemahan bebas teks ini kira-kira: “memelihara tradisi dan warisan lama yang masih baik dan relevan serta menggali kebudayaan baru yang lebih baik dan kontekstual.” Tantangan terbesar buat KNU AS-Kanada tentu saja bagaimana merumuskan kriteria “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah” itu. Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan “al-qadim al-shalih” dan “al-jadid al-ashlah”?
KNU AS-Kanada menilai PBNU selama ini lebih banyak mengapresiasi hanya pada aspek “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih.” Itupun tidak semua tradisi khazanah Islam klasik diapresiasi secara imbang, fair, dan adil. Banyak sejarah, tradisi, wacana, dan khazanah brilian intelektualisme Islam klasik diabaikan. Pula, PBNU kurang memberikan ruang pada aspek “wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” Padahal “kebudayaan baru” inilah yang justru akan memperkaya visi keislaman yang dibangun NU selama ini. Kata “kebudayaan” (culture) yang dimaksud disini adalah “socially distributed knowledge and habits” untuk meminjam istilah Robert Hefner, bukan dalam pengertian produk-produk teknologi. Perkembangan pesat pengetahuan (knowledge), social sciences and humanities, dan aneka “habitual actions” individu, kelompok, dan masyarakat yang semakin rumit dan kompleks dewasa ini tidak direspons secara proporsional dan critical oleh PBNU.
Masalah internal NU lain yang juga turut mendorong proses berdirinya KNU AS-Kanada adalah fakta bahwa PBNU dan sejumlah pengurus wilayah dan cabang NU (bahkan sampai tingkat kecamatan dan ranting di desa-desa) telah menggunakan institusi ke-NU-an untuk kepentingan politik praktis yang berlawanan dengan spirit “Khittah NU 1926” yang dicetuskan pada Mukmatar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Khittah 1926 ini secara tegas menyatakan NU sebagai “jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah” atau ormas sosial keagamaan bukan parpol (partai politik), orpol (organisasi politik), ataupun supplier partai politik. Tetapi ironisnya, sebagian pengurus NU dari tingkat pusat sampai ranting, rame-rame memperlakukan NU layaknya parpol atau orpol. Tulisan Syamsul Bakri tentang “Khittah 1926 atau Good Bye NU” (Suara Merdeka, 24 July 2008) adalah sangat layak untuk dicermati.
Sejumlah fakta inilah yang membuat para inisiator dan tokoh dibalik “Khittah 1926 Situbondo” seperti Rais Aam KH MA Sahal Mahfudh, Gus Mus, dan Gus Dur geram terhadap ulah sebagian pengurus NU yang besar syahwat politiknya tadi. Karena (sebagian) para pengurus NU ini sibuk berpolitik praktis—meskipun sering kali babak belur seperti kasus cawapres Hasyim Muzadi, cawagub Jateng Muhammad Adnan, dan cawagub Jatim Ali Maschan Moesa—urusan-urusan fundamental ke-NU-an yang justru menjadi “core bussiness” NU seperti masalah keagamaan (diniyah), sosial (mabarat), perekonomian (iqtishadiyyah), dan pendidikan (tarbiyah) menjadi terbengkelai. Aset-aset kultural NU yang melimpah-ruah (seperti potensi kader NU terdidik dan kalangan profesional di dalam dan luar negeri) juga tidak “dikelola” dengan baik bahkan dibiarkan terlantar. Padahal mereka inilah, cepat atau lambat, yang akan memegang kendali roda ke-NU-an di masa datang.
Melihat realtias ke-NU-an dewasa ini yang sudah “salah jalan” di tambah masalah sosial-kemasyarakatan dan kebudayaan yang semakin kompleks, KNU AS-Kanada saat ini sedang merumuskan dan mematangkan sebuah “Khittah Nahdliyah Amrikiyyah” yang diharapkan bisa menjadi sumbangan berarti buat NU dan “guideline” bagi warga NU dalam menyikapi masalah kebangsaan, keislaman, dan ke-NU-an.
***
Kedua, faktor “keislaman Indonesia” yang juga turut memicu proses pendirian KNU AS-Kanada adalah munculnya berbagai kelompok politik dan keagamaan termasuk kelompok keislaman tertentu yang ingin mengganti konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ideologi negara Pancasila, dan Konstitusi UUD 1945. Di tengah bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam pengertian segalanya: budayanya, keberagamaanya, etnik dan sukunya, dst, munculnya kelompok-kelompok eksklusif keislaman yang ingin menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara tentu merupakan ancaman bagi existensi pluralitas Indonesia. Buat KNU AS-Kanada Pancasila sebagai falsafah, ideologi, dan dasar negara bersifat final. KNU AS-Kanada tetap mengapresiasi keragaman kelompok-kelompok politik dan keislaman tersebut sebagai bagian dari dinamika internal umat beragama dalam kerangka demokrasi sepanjang dilakukan dalam konteks NKRI, mentaati konstitusi negara, dan tunduk pada UU dan peraturan yang berlaku yang menjadi acuan hukum berbangsa dan bernegara.
***
Faktor ketiga yang melatarbelakangi sekaligus menjadi fokus KNU AS-Kanada adalah masalah hubungan Islam-Barat.
Jamak diketahui bahwa relasi Islam-Barat sering berlangsung tidak harmonis serta penuh prasangka (prejudice), kecurigaan, dan ketegangan sehingga menimbulkan gap yang cukup serius antara dunia Muslim di satu sisi dan masyarakat Barat di pihak lain. Sikap saling curiga dan syakwasangka itu sendiri sebetulnya selain dipicu oleh sejumlah faktor sosial-politik-ekonomi kontemporer yang sangat kompleks juga memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Dari perspektif dunia Islam, ketegangan dengan “Barat” bermula sejak era kolonialisme ketika “Eropa yang Kristen” menjajah kawasan-kawasan berbasis Islam dari Arab, Timur Tengah, Afrika Utara, sampai Indonesia. Kolonialisme ini tidak semata-mata masalah politik (dominasi kekuasaan, kontrol pemerintahan, dll) dan ekonomi (eksploitasi sumber-sumber perekonomian) tetapi juga masalah agama dan budaya karena kolonialisme membawa sejumlah “penumpang gelap” berupa misionarisme, modernisme, dan westernisme.
Ketika luka-luka lama akibat kolonialisme ini pelan-pelan bisa diobati dengan pendirian negara-negara modern yang merdeka dan otonom atau semi-otonom di berbagai negara berbasis Islam, memori luka lama itu bangkit kembali ketika melihat sejumlah konflik kekerasan yang melibatkan non-Muslim seperti Israel v Palestine atau negara-negara di kawasan Balkan (Serbia, Bosnia-Herzegovina, dll). Ketegangan dan kecurigaan terhadap Barat itu semakin memuncak ketika AS, sebagai simbol utama Barat, sering intervensi urusan negara-negara lain terutama dunia Islam.
Hampir tidak ada negara yang luput dari campur tangan politik AS. Dengan dalih demokrasi dan didukung oleh dana yang kuat, AS selalu terlibat dalam proses-proses kepolitikan internal negara-negara lain termasuk kawasan Islam tentunya. Celakanya, AS selalu menerapkan politik “standar ganda” dalam setiap penyelesaian masalah kepolitikan dengan kawasan Islam. Sikap “standar ganda” AS itu terlihat sangat jelas dalam kasus konflik Israel versus Palestine, penegasian kemenangan Hamas di Palestine maupun Ikhwanul Muslimin di Mesir, penyelesaian konflik di Iraq, penanganan ketegangan di Iran, dan masih banyak lagi. Sejumlah sikap politik AS yang plin-plan ini menimbulkan ketidakpercayaan (mistrust) publik (sebagian) dunia Islam terhadap komitmen demokrasi yang diperjuangkan dan dimotori (pemerintah) AS.
Sementara itu dari sudut pandang Barat, terutama AS, masyarakat Muslim tidak bisa dilepaskan dari sejarah, doktrin, dan wacana keislaman yang bias, tidak egaliter, intolerant, anti-pluralisme, dan mendukung pendirian sistem kekhalifahan yang mengancam eksistensi masyarakat non-Muslim dan sendi-sendi demokrasi serta anti konsep citizenship di mana setiap warga memiliki hak yang sama dalam sebuah sistem kepolitikan. Selain itu ada persepsi yang kuat bahwa umat Islam mudah dibangkitkan untuk melakukan tindakan terorisme dan kekerasan global.
Salah satu organisasi berbasis Islam di AS yang bernama “The Notion of Islam” (NOI) sering dijadikan sebagai rujukan (sebagian) masyarakat AS dari kalangan elit politisi sampai warga biasa tentang “fakta keislaman” yang tidak bisa bersinergi dengan ide-ide dan konsep kewarganegaraan, demokrasi, liberalisme, kebebasan, dan pluralisme yang menjadi “ruh” kebudayaan Barat dan AS. Didirikan oleh Wallace Fard Muhammad pada tahun 1930 di Detroit, Michigan, NOI pada awalnya merupakan organisasi keagamaan yang bertujuan membangkitkan kembali mentalitas dan spiritualitas perempuan dan warga kulit hitam AS dari perilaku diskriminasi kulit putih di satu sisi dan mempromosikan Islam sebagai sistem keagamaan yang membawa perdamaian global. Spirit ini terus dilanjutkan ketika NOI dipimpin oleh tokoh spiritual Muslim AS berpengaruh, Elijah Muhammad (1897-1975), guru Malcolm X yang sangat populer itu. Namun ketika organisasi ini dipegang oleh Louis Farrakhan (lahir 1933) sejak 1973, NOI menjadi kental aura “politik Islam”-nya. Farrakhan-lah tokoh Muslim AS yang gencar menyuarakan sistem kekhalifahan Islam dan menjadikan NOI sebagai “kendaraan” untuk mewujudkan terciptanya “the real notion of Islam” di AS. Sejak itu, tokoh yang waktu lahir bernama Louis Eugene Walcott ini, kemudian dianggap sebagai simbol “Islam garis keras” yang membahayakan sistem kepolitikan AS yang dibangun di atas fondasi demokrasi liberal.
Kecurigaan AS terhadap dunia Islam yang tidak ramah dengan AS ini semakin menguat sejak terjadi insiden yang mengguncang dunia: tragedi 11 September, 2001. Insiden peledakkan gedung WTC dan Pentagon yang menjadi landmark ekonomi dan pertahanan AS ini menyebabkan sedikitnya 3,000 jiwa melayang, sebuah peristiwa yang masih menyisakan trauma mendalam di benak warga AS hingga sekarang ini. Tragedi inilah yang mendorong lahirnya kebijakan politik “war on terror” oleh pemerintah George W. Bush yang menjadikan umat Islam sebagai TO (“target operasi”). Atas nama “war on terror” ini, Bush membombardir Afghanistan, menggempur Iraq, dan menangkap kaum Muslim yang di-stemple teroris lalu dijebloskan dan disiksa di penjara paling mengerikan di jagat ini: Goantanamo.
Sejumlah fakta tadi tentu saja semakin memeruncing hubungan Islam-Barat.
***
Di tengah hubungan dunia Islam dan Barat yang penuh prejudice ini, kehadiran KNU AS-Kanada diharapkan bisa menjembatani ketegangan (bridging gaps) hubungan Islam-Barat sekaligus menjadi dialogue partner yang kritis dan cerdas terhadap Islam dan Barat sekaligus. Bagi KNU AS-Kanada perjumpaan kritis antara Islam dan Barat bersifat memperkaya khazanah keislaman. Kritis terhadap Islam diwujudkan dalam bentuk “cover both sides” atas wacana, tradisi, sejarah, dan praktek-praktek keislaman baik yang dikembangkan kelompok “moderat-progresif” maupun “militant-konservatif.”
Selanjutnya, selain mengapresiasi sisi-sisi positif “kebudayaan Barat” yang manfaatnya telah dirasakan oleh jutaan manusia di planet ini seperti konsep demokrasi, egalitarianisme, freedom, sekularisme, liberalisme, pluralisme, “philantropi-isme”, vulunterisme, dst, sikap kritis terhadap Barat ini akan dilakukan dalam bentuk kritik-konstruktif terhadap empat hal fundamental berikut ini. Pertama kebijakan politik AS yang double standard menyangkut hajat hidup dunia Islam termasuk masalah Palestine-Israel. Dalam hal ini KNU AS-Kanada mengusulkan solusi pembentukan dua negara: Negara National Palestina dan Israel sekaligus sebagai bentuk resolusi konflik yang just-peace. Kedua, pemaksaan demokrasi lewat cara-cara kekerasan dan perang seperti kasus Iraq dan Afghanistan. Ketiga, ketidakadilan global kapitalisme di mana Barat turut andil dalam proses penciptaan keterbelakangan “dunia ketiga” termasuk dunia Islam. Terkait dengan masalah “ketidakadilan global kapitalisme” ini, KNU AS-Kanada akan terus mengupayakan terciptanya “global in justice” lewat kerja-kerja intelektual dan “soft diplomacy.” Keempat, prejudice yang dilakukan sebagain tokoh agama, orientalis, sarjana, politisi, media, dan warga AS atas wacana, doktrin, tradisi, sejarah, dan praktek cultural umat Islam. Untuk mengatasi masalah prasangka Barat atas Islam ini, KNU AS-Kanada akan terus mengembangkan model “dialog agama” yang sehat, kritis, dan cerdas.
Dialog agama ini memang “bisnis yang sangat berbahaya,” untuk meminjam istilah Mohammed Abu-Nimer dalam buku Interfaith Dialog and Peacebuilding yang diedit David Smock dari United States Institute of Peace (USIP) akan tetapi dialog agama yang kritis-konstruktif dan dilandasi spirit untuk mencari common ground dan mutual understanding ini adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama, kecurigaan dan sejumlah misundertanding Islam-Barat. Dialog agama dalam semangat dan framework seperti ini mampu menjadi medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut “satu dunia,” yakni sebuah persepsi tentang semua mahluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apapun latar belakang etnis dan agamanya—mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep “satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada “stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements.”
Mampukah KNU AS-Kanada mewujudkan idealisme ini? Hanya waktu yang akan menjawabnya.***