Mendesain Kembali Format Dialog Agama
Kompas, Senin, 8 September 2008 Sumanto Al Qurtuby
Salah satu pertanyaan yang selalu menggelisahkan saya selama ini adalah mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana bahkan Pemerintah Indonesia juga sudah memprakarsai pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan, dan kekerasan? Adakah yang salah dalam desain dialog agama selama ini?
Pertanyaan ini penting saya tekankan mengingat relasi antaragama dan kepercayaan di negeri Muslim terbesar di planet ini sedang dalam kondisi mengkhawatirkan yang ditandai dengan munculnya berbagai aksi kekerasan berbasis agama pasca tumbangnya Orde Baru. Istilah kekerasan agama atau kekerasan berbasis agama (religious-based violence) ini tidak hanya mengacu pada pengertian apa yang oleh Johan Galtung disebut direct/physical violence seperti kerusuhan, penyerangan, perusakan, pembakaran, dan lain-lain terhadap pengikut dan properti komunitas agama tertentu saja, tetapi juga cultural violence atau symbolic violence (ini istilah Pierre Bourdieu) berupa pelecehan, stigmatisasi, penghinaan, atau penyesatan terhadap kelompok agama/kepercayaan tertentu.
Seperti ditunjukkan dari hasil riset The Wahid Institute (WI) yang dilakukan dari Juli 2007 sampai Juni 2008, yang kemudian diterbitkan dalam buletin bulanan Monthly Report on Religious Issues, sedikitnya telah terjadi 109 kasus keagamaan di Indonesia yang terbagi dalam enam kategori. Deputi Direktur WI Rumadi yang juga sebagai penanggung jawab riset ini mengelompokkan kasus-kasus kekerasan agama itu ke dalam enam kategori. Keenam kategori itu adalah (1) kasus-kasus terkait kekerasan berbasis agama 39 kasus, (2) kebebasan beragama dan berkeyakinan 28 kasus, (3) kebebasan menjalankan agama dan keyakinan 9 kasus, (4) isu hak sipil warga negara 8 kasus, (5) kebebasan berpikir dan berekspresi 11 kasus, dan (6) terkait isu-isu moralitas 14 kasus” (lihat www.wahidinstitute.org).
Menariknya, masih menurut Rumadi, dalam peristiwa kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan. MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok keagamaan yang terbelah justru menjadi ”polisi agama” yang ikut menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan ”oase spiritual” bagi umat manusia—apa pun agama dan keyakinan mereka seperti dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW—justru ikut menjadi pembakar amarah massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif yang antidialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang ”dihidupi” dari uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri.
Proses komunikasi
Sejumlah fakta di atas tentu saja sangat mengkhawatirkan masa depan hubungan agama-agama dan interfaith dialog di Indonesia padahal dialog agama, seperti dikatakan Richard Solomon, Presiden United States Institute of Peace (USIP), adalah salah satu basis utama bagi terciptanya pembangunan perdamaian abadi (enduring peacebuilding). Dialog agama yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja bukan face-to-face conversations dalam seminar, diskusi, simposium, workshop, lokakarya, atau dalam forum-forum debat publik formal yang melibatkan berbagai kelompok keagamaan, melainkan proses komunikasi yang terus-menerus untuk memahami pemikiran, worldviews, ajaran, pemahaman, sistem kepercayaan, dan filosofi hidup komunitas keagamaan lain (outsiders).
Pada konsep yang paling dasar dan sederhana, arti dialog agama (baik dalam konteks dialog antaragama atau dialog intra-agama) adalah simpel: setiap individu dan kelompok yang berbeda agama atau mazhab pemikiran itu bertemu dalam sebuah ruang atau forum untuk melakukan pembicaraan. Tetapi karakter pertemuan dan tujuan pembicaraan ini tidaklah sesimpel yang kita bayangkan karena syarat dari sebuah dialog agama—seperti dipaparkan Leonard Swidler, profesor dialog antaragama dari Temple University—adalah setiap partisipan harus berniat tulus dan memiliki komitmen kuat untuk mempelajari dan memahami argumen dan perspektif pemikiran keagamaan kelompok lain. Selama syarat ini belum terpenuhi, maka sesungguhnya dialog agama itu tidak pernah terwujud meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog bertebaran di mana-mana.
Lebih lanjut, tujuan dialog adalah untuk meningkatkan pemahaman atas diri dan ”yang lain” bukan sukses argumen melawan yang lain seperti umumnya dalam debat. Semangat yang dicari dalam sebuah dialog adalah common values and strengths yang bisa dijadikan sebagai pedoman bersama atau solusi bersama untuk membangun hubungan keagamaan yang sehat dan saling memahami dalam keberbedaan, dan bukannya kelemahan tiap-tiap kelompok yang kemudian dipakai untuk menyerang balik lawan. Dalam dialog, bertanya adalah untuk meningkatkan pemahaman bukan menjatuhkan lawan seperti umumnya dalam debat.
Jadi dialog berangkat dari komitmen yang tulus setiap individu/kelompok keagamaan untuk menyelesaikan perbedaan dan konflik dengan ”kepala dingin” meskipun hati begitu mendidih. Harap dicatat bahwa materi dalam dialog agama ini tidak hanya mengungkapkan persamaan (similarities) tetapi juga perbedaan (differences) setiap kelompok keagamaan, baik menyangkut nilai, doktrin, tradisi, kultur, teks, simbol, wacana, sejarah, wawasan, dan pemahaman keagamaan dengan dilandasi semangat saling menghargai keunikan dan perbedaan tiap-tiap kelompok keagamaan. Janganlah perbedaan-perbedaan itu ditaruh di dalam laci, diletakkan di bawah meja, dan digembok rapat-rapat karena perbedaan itu bisa menjadi sumber konflik, kekerasan, dan pertikaian.
Banyak praktisi dialog agama yang menganggap perbedaan-perbedaan agama (religious differences) tadi sebagai sesuatu yang tabu dan haram untuk diungkap ke permukaan karena menganggap hal ini bisa menghambat proses relasi antaragama. Sebaliknya, mereka lebih mengapresiasi sisi persamaan-persamaan keagamaan (religious commonalities) karena beranggapan hal ini bisa menjadi perekat, dasar, dan fondasi untuk membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan peaceful. Menjadikan persamaan dan commonalities sebagai basis dialog agama adalah perlu tetapi membicarakan perbedaan, sekali lagi dengan sikap elegan, saling menghargai, dan komitmen yang tulus untuk mencari ”permahaman dari dalam”, juga sangat vital dalam desain dialog agama. Selama ini memang telah dilakukan upaya penyingkapan perbedaan-perbedaan keagamaan dan keberagamaan itu. Akan tetapi, hal itu dilakukan dalam format monolog atau, kalau tidak, ”debat kusir” yang diiringi sikap sinisme dan semangat penuh kebencian untuk menjatuhkan kelompok keagamaan lain di satu sisi dan meneguhkan kebenaran dan superioritas kelompok keagamaannya sendiri di pihak lain. Model dialog semacam ini tentu saja kontra produktif dengan spirit dialog agama itu sendiri.
Perlu juga diketahui bahwa definisi dialog agama bukan hanya terbatas pada perkataan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antarkelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas-agama untuk menangani kemiskinan, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian dan lain sebagainya. Model dialog agama ini oleh Mohamed Abu-Nimer, Direktur Salaam Institute of Peace di Washington DC, disebut sebagai humanity model sementara Leo Swidler seorang sarjana dan praktisi dialog agama menyebutnya sebagai practice model (selanjutnya lihat di David Smock, ed, Interfaith Dialogue and Peacebuilding).
Banyak dialog agama jenis ini yang mampu mentransformasi para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan kemudian menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran, dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah menjadi saling menghargai, mencintai, dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka. Di antara kisah-kisah sukses dialog agama untuk kemanusiaan yang transforming, enlightening, dan inspiring ini dimuat dalam buku yang diedit Prof David Little dari Universitas Harvard, Peacemakers in Action dan juga People Building Peace yang diedit oleh Paul van Tongeren.
Monolog
Sejauh yang saya amati format dialog agama di Indonesia belum menunjukkan perubahan berarti. Memang lembaga-lembaga dialog agama menjamur di mana-mana, dari Jakarta sampai kota-kota kecil kabupaten. Namun, desain lembaga atau forum antaragama itu sebetulnya bersifat monolog karena lembaga/forum interfaith tadi hanya diisi oleh orang-orang yang memiliki pemahaman keagamaan seragam. Sejauh ini belum banyak upaya dilakukan apa yang disebut dialog agama dalam pengertian yang sesungguhnya seperti yang saya paparkan di atas dengan melibatkan ”the others” atau ”out-groups” yang berbeda visi, ideologi, interest, dan tujuan.
Akibatnya, tiap-tiap kelompok agama seperti berada pada dua kutub ekstrem yang berlawanan: ”moderat-progresif” vs ”militan-konservatif”. Dua gerbong kelompok keagamaan ini berjalan dalam rel mereka sendiri dengan agenda, strategi, taktik, cara, motivasi, kepentingan, dan tujuan sendiri-sendiri. Setiap kelompok ini juga mengapresiasi teks, wacana, ajaran, tradisi, dan simbol-simbol keagamaan yang berlainan untuk mendukung gerakan dan aksi-aksi keagamaan yang mereka lakukan. Ke depan, desain dialog agama harus diubah.
Tantangan utama kaum moderat-progresif di Indonesia adalah mendesain kerangka dialog agama yang konstruktif dan produktif dengan melibatkan kelompok militan-konservatif atau radikal-fundamentalis. ”One cannot build a bridge starting in the middle,” seru John Paul Lederach, intelektual dan praktisi perdamaian global, sebagai kritik atas model konvensional dialog dan pembangunan perdamaian berbasis agama (religious peacebuilding) yang hanya melibatkan faksi moderat. Antropolog Cynthia Mahmood yang pernah menulis buku tentang kaum militan Sikh, Fighting for Faith and Nation: Dialog with Sikh Militants, suatu saat mengatakan ”inviting the religious millitant groups in the peace process are fruitful and strategic, particularly when religious identities become main root causes for violent acts” (Science, vol 264: 1018-1019).
Di pihak lain, kelompok militan-konservatif juga harus mau membuka diri untuk terlibat dalam desain dialog agama ini serta menghentikan provokasi-provokasi menyesatkan yang bisa menyakitkan pihak lain dan memicu timbulnya kekerasan. MUI sebagai salah satu institusi keislaman penting di Tanah Air juga sudah saatnya mengubah model monolog yang selama ini diterapkan dalam setiap upaya penyelesaian masalah keagamaan untuk diganti dengan format dialog agama yang membangun dan produktif dalam bingkai keragaman dan semangat untuk mencari solusi konstruktif yang tidak merugikan pihak lain. Sebagai wadah perkumpulan para ulama, sementara ulama sendiri adalah ”waris para nabi” seperti dikatakan dalam sebuah hadis, MUI semestinya menjadikan perilaku Nabi Muhammad SAW yang terbuka, peaceful, toleran, dan pluralis sebagai tauladan, memberikan fatwa-fatwa yang menyejukkan dan menyatukan semua komponen keagamaan, dan bukannya mengeluarkan fatwa-fatwa yang memicu perpecahan dan kekerasan.
Untuk bisa mewujudkan idealisme dialog agama ini memang tidak mudah. Mantan guru saya, seorang sarjana Muslim dan aktivis dialog agama yang juga profesor resolusi konflik dan peace studies di American University, Washington DC, Mohammed Abu-Nimer, jauh-jauh hari mengingatkan bahwa dialog agama adalah ”bisnis yang sangat berbahaya” (Abu-Nimer dalam Smocks, ed, 2002: 15). Akan tetapi, ia buru-buru mengingatkan bahwa dialog agama dalam kerangka (framework) seperti yang saya paparkan di atas adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik kekerasan berbasis agama serta medium untuk membangun terciptanya apa yang oleh Diana Ecks disebut ”satu dunia”, yakni sebuah persepsi tentang semua makhluk ciptaan Tuhan, tak terkecuali manusia—apa pun latar belakang etnis dan agamanya— mempunyai hak hidup yang sama di dunia dan bumi ciptaan Tuhan ini. Konsep ”satu dunia” ini, kata Ecks yang juga profesor di Harvard Divinity School (HDS), baru bisa terwujud jika berdasar pada ”stockpiling of trust through dialogue and the creation of relationships that can sustain both agreements and disagreements”.
Mampukah tiap-tiap kelompok keagamaan dan keislaman di Indonesia mewujudkan desain dialog agama seperti ini?
Sumanto Al Qurtuby Sekjen KNU AS-Kanada dan Mahasiswa PhD di Bidang Cultural Anthropology, Boston University, Massachusetts, United States
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01103538/mendesain.kembali.format.dialog.agama